Kisah Sawito, Lelaki Blitar yang Ditangkap Kaki Tangan Soeharto Atas Tuduhan Makar
loading...
A
A
A
BLITAR - Kisah itu terjadi dipenghujung tahun 1970-an. Kecintaannya terhadap bangsa ini, membuatnya harus meringkuk di balik terali besi . Ya, Sawito Kartowibowo akhirnya dituduh melakukan tindak subversi , makar, dan hendak merongrong kekuasan Soeharto.
Kala itu Sarwito hanya ingin menyelamatkan bangsa dan negara , dengan menegakkan Pancasila dan UUD 1945. Nilai Pancasila di mata Sawito semakin terpinggirkan. Kemakmuran memang berkembang. Di tangan rezim Soeharto, ekonomi Indonesia tumbuh. Setidaknya tumbuh lebih baik dibanding orde lama. Namun keadilan tidak ikut menyertai.
Keruwetan-keruwetan di masyarakat terjadi di mana-mana. Tepat 6 Oktober 1977. Di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, Sawito didudukkan di atas kursi pesakitan. Pegawai Negeri Sipil (PNS) Departemen Pertanian itu, diadili . Namun ia tidak diam.
Di depan Ketua Majelis Hakim, Muhammad Sumadiyono, dan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Mapigau, Sawito menyangkal semua dakwaan . "Tuduhan melakukan subversipun omong kosong belaka. Tidak ada stagnasi ekonomi dalam bentuk apapun yang saya lakukan," kata Sawito dalam eksepsinya.
Sawito ditangkap usai menerbitkan petisi "Menuju ke Keselamatan" yang berisi lima dokumen pernyataan. Salah satu yang menggegerkan adalah pernyataan "Mundur untuk Maju Lebih Sempurna". Isinya mendesak Presiden Soeharto meletakkan jabatan.
Soeharto dianggap gagal total menjalankan pemerintahan. Presiden kedua Republik Indonesia itu diminta melimpahkan kedudukan dan tugasnya kepada Mohammad Hatta. Dalam dokumen pernyataan "Pemberian Maaf Kepada Bung Karno", Soeharto juga diminta meminta maaf kepada Bung Karno.
Yang menghebohkan, dalam dokumen yang lantas tersebar luas itu, terdapat nama Proklamator RI, Moh. Hatta sebagai pembuat pernyataan. Hatta juga membubuhkan tanda tangan. Kemudian tanda tangan dan nama Prof Dr Buya Hamka selaku Ketua Majelis Islam Indonesia.
Juga Kardinal Yustinus Darmoyuwono selaku Ketua MAWI, Raden Said Tjokrodiatmodjo selaku Ketua Sekretariat Kerja Sama Kepercayaan Indonesia, TB Simatupang selaku Ketua Dewan Gereja-gereja se Indonesia, Drs Singgih, dan Sawito Kartowibowo sendiri.
Kala itu Sarwito hanya ingin menyelamatkan bangsa dan negara , dengan menegakkan Pancasila dan UUD 1945. Nilai Pancasila di mata Sawito semakin terpinggirkan. Kemakmuran memang berkembang. Di tangan rezim Soeharto, ekonomi Indonesia tumbuh. Setidaknya tumbuh lebih baik dibanding orde lama. Namun keadilan tidak ikut menyertai.
Keruwetan-keruwetan di masyarakat terjadi di mana-mana. Tepat 6 Oktober 1977. Di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, Sawito didudukkan di atas kursi pesakitan. Pegawai Negeri Sipil (PNS) Departemen Pertanian itu, diadili . Namun ia tidak diam.
Di depan Ketua Majelis Hakim, Muhammad Sumadiyono, dan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Mapigau, Sawito menyangkal semua dakwaan . "Tuduhan melakukan subversipun omong kosong belaka. Tidak ada stagnasi ekonomi dalam bentuk apapun yang saya lakukan," kata Sawito dalam eksepsinya.
Sawito ditangkap usai menerbitkan petisi "Menuju ke Keselamatan" yang berisi lima dokumen pernyataan. Salah satu yang menggegerkan adalah pernyataan "Mundur untuk Maju Lebih Sempurna". Isinya mendesak Presiden Soeharto meletakkan jabatan.
Soeharto dianggap gagal total menjalankan pemerintahan. Presiden kedua Republik Indonesia itu diminta melimpahkan kedudukan dan tugasnya kepada Mohammad Hatta. Dalam dokumen pernyataan "Pemberian Maaf Kepada Bung Karno", Soeharto juga diminta meminta maaf kepada Bung Karno.
Yang menghebohkan, dalam dokumen yang lantas tersebar luas itu, terdapat nama Proklamator RI, Moh. Hatta sebagai pembuat pernyataan. Hatta juga membubuhkan tanda tangan. Kemudian tanda tangan dan nama Prof Dr Buya Hamka selaku Ketua Majelis Islam Indonesia.
Juga Kardinal Yustinus Darmoyuwono selaku Ketua MAWI, Raden Said Tjokrodiatmodjo selaku Ketua Sekretariat Kerja Sama Kepercayaan Indonesia, TB Simatupang selaku Ketua Dewan Gereja-gereja se Indonesia, Drs Singgih, dan Sawito Kartowibowo sendiri.