Kisah Sawito, Lelaki Blitar yang Ditangkap Kaki Tangan Soeharto Atas Tuduhan Makar

Minggu, 30 Mei 2021 - 05:00 WIB
loading...
Kisah Sawito, Lelaki Blitar yang Ditangkap Kaki Tangan Soeharto Atas Tuduhan Makar
Sawito Kartowibowo (berjas berdasi) saat menjalani persidangan. Foto/Repro
A A A
BLITAR - Kisah itu terjadi dipenghujung tahun 1970-an. Kecintaannya terhadap bangsa ini, membuatnya harus meringkuk di balik terali besi . Ya, Sawito Kartowibowo akhirnya dituduh melakukan tindak subversi , makar, dan hendak merongrong kekuasan Soeharto.



Kala itu Sarwito hanya ingin menyelamatkan bangsa dan negara , dengan menegakkan Pancasila dan UUD 1945. Nilai Pancasila di mata Sawito semakin terpinggirkan. Kemakmuran memang berkembang. Di tangan rezim Soeharto, ekonomi Indonesia tumbuh. Setidaknya tumbuh lebih baik dibanding orde lama. Namun keadilan tidak ikut menyertai.

Keruwetan-keruwetan di masyarakat terjadi di mana-mana. Tepat 6 Oktober 1977. Di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, Sawito didudukkan di atas kursi pesakitan. Pegawai Negeri Sipil (PNS) Departemen Pertanian itu, diadili . Namun ia tidak diam.

Di depan Ketua Majelis Hakim, Muhammad Sumadiyono, dan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Mapigau, Sawito menyangkal semua dakwaan . "Tuduhan melakukan subversipun omong kosong belaka. Tidak ada stagnasi ekonomi dalam bentuk apapun yang saya lakukan," kata Sawito dalam eksepsinya.



Sawito ditangkap usai menerbitkan petisi "Menuju ke Keselamatan" yang berisi lima dokumen pernyataan. Salah satu yang menggegerkan adalah pernyataan "Mundur untuk Maju Lebih Sempurna". Isinya mendesak Presiden Soeharto meletakkan jabatan.

Soeharto dianggap gagal total menjalankan pemerintahan. Presiden kedua Republik Indonesia itu diminta melimpahkan kedudukan dan tugasnya kepada Mohammad Hatta. Dalam dokumen pernyataan "Pemberian Maaf Kepada Bung Karno", Soeharto juga diminta meminta maaf kepada Bung Karno.

Yang menghebohkan, dalam dokumen yang lantas tersebar luas itu, terdapat nama Proklamator RI, Moh. Hatta sebagai pembuat pernyataan. Hatta juga membubuhkan tanda tangan. Kemudian tanda tangan dan nama Prof Dr Buya Hamka selaku Ketua Majelis Islam Indonesia.

Juga Kardinal Yustinus Darmoyuwono selaku Ketua MAWI, Raden Said Tjokrodiatmodjo selaku Ketua Sekretariat Kerja Sama Kepercayaan Indonesia, TB Simatupang selaku Ketua Dewan Gereja-gereja se Indonesia, Drs Singgih, dan Sawito Kartowibowo sendiri.



Penandatangan berlangsung di Bogor, hari Selasa Kliwon, 7 September 1976. Dalam buku "Sawito, ratu adil , guruji, tertuduh", Sumi Narto menuliskan, Sawito tidak merasa telah berbuat jahat. Tidak ada gerakan yang menganggu ketertiban umum. Tidak ada makar dengan aksi bersenjata .

"Tak ada sebutir pelurupun yang meletus. Bahkan tak ada air teh yang tumpah dari cawan," tambah Sawito dengan tersenyum saat menyampaikan eksepsi di pengadilan. Sawito Kartowibowo berasal dari Blitar. Lahir tahun 1932 di wilayah Sananwetan, salah satu Kecamatan di Kota Blitar.

Ia disebut masih ada ikatan darah dengan Bung Karno. Raden Hardjodikromo kakek Bung Karno dari garis ayah, yakni Raden Soekemi Sastrodihardjo, adalah saudara kandung kakek Sawito. Hardjodikromo bertempat tinggal di Kabupaten Tulungagung.

Hardjodikromo beserta istri dan pembantunya yang bernama Sarinah, pernah mengasuh Bung Karno saat putra sang fajar masih berusia kanak-kanak. Soal pertalian darah itu SK Trimurti, Menaker Pertama Indonesia turut angkat bicara.



Di sebuah artikel yang ditulisnya, istri Sayuti Melik yang berlatar jurnalis tersebut mengatakan, Sawito Kartowibowo satu embah buyut dengan Bung Karno. "Embah Sawito adalah kakak sulung embah Bung Karno".

Sawito secara fisik dianggap tidak begitu memikat. Tinggi tubuhnya 168 cm. Saat diadili bobotnya 68 kg. Meski berdaya tarik fisik kurang menonjol, ia memiliki kemampuan persuasif . Sawito bisa membuat orang lain mengikuti kemauannya.

SK Trimurti menyebut tabiat Sawito ujas-ujus atau kaduk wani kurang deduga (Hanya asal berani kurang mengingat kesopanan). Rahayu Yusuf, rekan kerja Sawito di Balai Penyelidikan Karet Rakyat Bogor yang mengenal Sawito sejak 1957, mengatakan rekannya tidak punya perasaan rendah diri .



Sikap Sawito selalu ramah dan bersahabat dengan siapa saja. Suaranya keras dan lantang. "Walaupun baru kenal beberapa hari sudah merasa seolah-olah kenal bertahun-tahun". Terbitnya dokumen pernyataan bersama atau petisi yang menyeretnya pada tuduhan subversif dan makar, juga tidak lepas dari keberanian Sawito.

Sebelum diadili, pada 14 September 1976 Sawito lebih dulu ditahan. Mensesneg Sudharmono yang kelak menjadi Wakil Presiden mendampingi Presiden Soeharto menyatakan: pemerintah berkesimpulan sudah terang ada usaha gelap ingin menggulingkan Presiden Soeharto dengan cara inkonstitusional.

Jaksa Agung Ali Said menambahkan, telah diambil langkah pengamanan dengan mengadakan penangkapan . Karena dianggap terlibat "Gerakan Sawito", tiga orang lain, yakni Drs Singgih, Mr Sudjono dan Karna Radjasa ikut dibui. Penangkapan Sawito berlangsung di rumahnya, Jalan Tampomas No. 8, Bogor, Jawa Barat.



Saat digerebek , pengajar Orhiba (Olah Raga Hidup Baru), yakni kegiatan yang melanda kehidupan masyarakat saat itu, sedang tidur. Orhiba sejenis senam sehat macam taichi. Anggotanya ada sejumlah bekas pejabat. Termasuk Kapolri pertama Indonesia Soekanto Tjokrodiatmodjo, dan Mr Sudjono bekas diplomat Indonesia era Soekarno.

Sebelum mengeksekusi petugas memperlihatkan selembar surat penangkapan . Namun Sawito seolah masih tidak percaya. "Lho kok saya ditangkap to mas?," tanya Sawito seperti tertulis dalam buku "Sawito, ratu adil, guruji, tertuduh".

Sejak tahun 1967 Sawito dinonaktifkan dari Departemen Pertanian. Sejak itu ia aktif di Orhiba, namun lebih menggemari bidang kebatinan. Mendalami kebatinan , termasuk mengejar wahyu dan wangsit menjadi bagian penting dari gerakan spiritual yang sedang ia rancang.



Sawito menempuh laku Lelono Broto . Berkelana sambil bertapa. Membersihkan rohani. Menguatkan rohani. Berburu "Wahyu Cokroningrat". Wahyu dari sang maha kuasa yang diyakini diberikan kepada pemimpin tanah Jawa berikutnya. Seluruh tempat keramat, petilasan, pepundan di Jawa yang pernah didatangi Soeharto dan diyakini memberi kekuatan, Sawito datangi.

Gunung Tidar Magelang. Gunung yang diyakini sebagai tempat Syech Subakir , yakni seorang waliyullah atau Wali Songo angkatan pertama (Sebelum Wali Songo era Sunan Ampel Cs), menanam tumbal tanah Jawa. Sawito juga naik ke puncak Candi Borobudur. Bersemedi di Mancingan. Tempat yang berada di sebelah Selatan Kali Opak, namun masih di sisi utara Parangtritis Yogyakarta.

Panembahan Senopati sebelum mendirikan Kerajaan Mataram di Alas Metaok, konon pernah bersemedi di Mancingan. Lelono Broto Sawito yang diiringi pengikutnya berlanjut ke Masjid Demak. Sawito bersembahyang di pengimaman yang diyakini tempat jasad Syech Siti Jenar dimakamkan. Perjalanan spiritualnya ia lanjutkan ke makam Sunan Kalijaga di Kadilangu.



Di puncak Rahtawu, yakni lereng Gunung Muria yang masuk wilayah Kudus, dalam semedinya Sawito mendapat bisikan gaib . "Ananda kamu akan memegang pucuk pimpinan negara yang adil," tulis Sumi Narto dalam buku "Sawito, ratu adil, guruji, tertuduh". Saat masih berjuluk Brandal Lokajaya, Sunan Kalijaga konon juga bersemedi di Rahtawu. Begitu juga dengan Bung Karno.

Di Gunung Sapto Renggo yang berada di sebelah Timur laut Rahtawu, Sawito diyakini menerima wangsit sekaligus kejatuhan tiga wahyu. Sawito terpilih sebagai pendeta, raja dan tentara sekaligus. Seorang Ratu Adil sekaligus Guruji atau penguasa jagad raya.

Sore hari 20 Juli 1972. Rombongan Sawito yang datang dari Gunung Muria tiba di hutan Ketonggo yang berada di lereng Gunung Lawu, wilayah Kabupaten Ngawi. Sawito dan pengikutnya bersemedi di dekat sungai Ketonggo (Anak bengawan Madiun), di tempat Tugu Manik Kencono (Ada yang menyebut Tugu Manik Kumolo) atau batu alam putih berada.



Ketonggo oleh para pelaku kebatinan diyakini sebagai pusat ibu kota. Ada lambang yang disebut Prabu Joyoboyo Kediri sebagai "Tunjung Putih Semune Pudak Sinumpet". Di saat Indonesia kehilangan arah, selalu ada Tunjung Putih Semune Pudak Sinumpet. Akan muncul raja berhati bersih yang disimbolkan Tunjung Putih dari orang yang sama sekali tidak terduga (Pudak Sinumpet). Dan manusia terpilih itu diyakini Sawito.

Dari hutan Ketonggo ritual Lelono Broto secara marathon berlanjut ke Simo, lereng Gunung Lawu , sekitar 12 Km sebelah Utara Magetan. Kemudian ke Karang Gupito yang berjarak beberapa kilometer dari Simo. Saat itu 23 Juli 1972. Pada Kamis Pahing 27 Juli 1972, rombongan Sawito tiba di Desa Ranu Darungan, dan menginap di pinggir danau.

Sawito bersemedi di lereng Gunung Semeru atau Mahameru, Jawa Timur. Tanggal 21 Desember 1972. Laku Lelono Broto rombongan Sawito berlanjut ke Situ Penjalu, yang berada di Ciamis, Jawa Barat. Mereka mengklaim telah berkomunikasi secara gaib dengan Prabu Cakradewa, cucu Jayabaya.



Jauh sebelum dituduh makar, Sawito menikah dengan Nuning Srinugrahaningsih, mahasiswi Fakultas Pedagogi UGM. Nuning putri RM Panji Trisirah. Proses lamaran yang berlangsung sempat mengejutkan Panji Trisirah. Sebab dari Blitar Sawito membawa keris pusaka Kiai Slamet.

Kiai Slamet merupakan pusaka milik Pakubuwono X yang sudah lama diyakini lenyap secara gaib. Keris itu ternyata disimpan secara turun-temurun oleh keluarga Sawito. "Panji Trisirah langsung percaya bahwa memang Sawito adalah pemimpin yang ditunggu," tulis Seno Joko Suyono dalam kisah Kuil di Dasar Laut.

Tidak heran selama laku Lelono Broto, istri Sawito dan Panji Trisirah selalu ikut mengiringi. Panji Trisirah sendiri memiliki hubungan dekat dengan para guru spiritual Soeharto. Raden Panji Soedijat Prawirokoesoemo atau Romo Dijat asal Klaten. Romo Prapongso atau Romo Marto asal Yogyakarta. Kemudian Romo Budi .



Soal politik dan negara Soeharto selalu berkonsultasi dengan Romo Dijat. Soal kemasyarakan, ia menanti pendapat Romo Marto. Romo Budi didengar suaranya untuk urusan pribadi dan rumah tangga. Ketiga guru spiritual ini selalu berkoordinasi dengan Soedjono Hoemardani.

Yakni seorang tentara bekas asisten pribadi sekaligus sahabat Soeharto yang mendalami kabatinan . Sawito yang memburu Wahyu Cokroningrat dengan laku Lelono Brotonya dianggap tengah menyiapkan langkah "kudeta spiritual".

Seluruh laku Lelono Broto Sawito diungkap di depan persidangan . JPU Mapigau menuduh Sawito telah melakukan lima tindak pidana kejahatan. Yakni subversi, makar, mencoba menggantikan Kepala Negara RI secara tidak sah, pemalsuan surat dan pencemaran nama baik.

Sawito dituduh menyiapkan gerakan mulai tahun 1972 hingga 1976. Sementara permohonan Sawito dihadirkannya sejumlah saksi, mulai Presiden Soeharto, Jaksa Agung Ali Said, Adam Malik, Kepala Bakin Yoga Sugama, Letjen Ali Moertopo, Bung Hatta, SK Trimurti, JenPol Hoegeng Imam Santoso, Uskup Bogor Harsono, hingga Sigit Soeharto (putra Soeharto), ditolak majelis hakim.



Protesnya terhadap tata cara sidang yang langsung memeriksa terdakwa tanpa lebih dulu memeriksa para saksi, juga tidak digubris. Bung Hatta sendiri telah berkirim surat ke Presiden Soeharto , mengklarifikasi terkait nama dan tanda tangannnya yang muncul dalam petisi Sawito. Mengenai pemerintahan maupun ketatanegaraan Hatta menegaskan selalu menginginkan cara demokratis dan konsitusional.

Posisi Sawito yang dibela pendekar hukum Yap Thiam Hien bersama empat kuasa hukum lain secara probono (gratis), terjepit. Melalui media massa sejumlah politisi dari Partai Golkar, PPP dan PDI juga menyudutkannya. Tanggal 18 Juli 1978. Dalam persidangan yang ke-28 atau terakhir, majelis hakim menjatuhkan vonis delapan tahun penjara dipotong masa tahanan.

Sawito Kartowibowo juga diwajibkan membayar ongkos perkara. Laki-laki asal Blitar itu langsung menyatakan naik banding. Ia menolak putusan majelis hakim. Dalam buku "Sawito, ratu adil, guruji, tertuduh", Sumi Narto menuliskan, "Tatkala sidang ditutup dan dinyatakan telah selesai, pengunjung banyak yang menyalami Sawito. Mereka berebutan dan disambut oleh Sawito dengan tertawa-tawa"
(eyt)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.4956 seconds (0.1#10.140)