10 Contoh Legenda Nusantara, dari Kisah Sangkuriang hingga Cerita Empat Raja Papua
Selasa, 03 September 2024 - 14:55 WIB
Sewaktu menghadapi Empu Baradah, kedua belaha telapak tangan Calon Arang menyemburkan jilatan api, begitu juga kedua matanya. Empu Baradah menghadapinya dengan tenang. Ia segera membaca sebuah mantra untuk mengembalikan jilatan dan semburan api ke tubuh Calon Arang.
Karena Kitab Sihir sudah tidak ada padanya, tubuh Calon Arang pun hancur menjadi abu dan tertiup angin kencang menuju ke Laut Selatan. Sejak itu, Desa Girah menjadi aman tenteram seperti sedia kala.
Dahulu, ada cerita tentang sepasang suami istri di tanah Papua yang menanti-nantikan kehadiran anak. Meski tak kunjung diberi, keduanya tetap berdoa pada Tuhan setiap siang dan malam.
Suatu hari, suami istri tersebut pergi ke hutan untuk mencari kayu dan menjadikannya kayu bakar. Keduanya harus bergegas mencari sebelum musim hujan datang karena kayu-kayu di hutan akan menjadi basah dan tidak bisa dibakar. Namun sayang, persediaan kayu yang mereka dapatkan di hari itu masih sangat sedikit untuk menghadapi musim hujan.
Diterpa kelelahan, suami dan istri ini kemudian beristirahat sejenak di tepi sungai yang bernama Sungai Waikeo. Ketika tengah beristirahat, mata sang suami tertuju pada sebuah lubang besar di sisi lain tepi sungai. Sang suami pun mendekati lubang tersebut dan terkejut ketika menemukan enam butir telur besar.
Sang suami memanggil istrinya yang tidak kalah terkejut. Keduanya lantas sepakat membawa pulang telur-telur tersebut. Mereka berpikir bahwa telur-telur ini mungkin bisa dijadikan persediaan makanan untuk dimasak di kemudian hari. Setibanya di rumah, telur-telur tersebut pun disimpan dengan baik.
Keesokan harinya, kejutan lain menyambut suami istri tersebut. Ketika hendak menyiapkan hidangan, telur-telur tersebut justru menetas. Bukannya menetas menjadi unggas atau hewan lain, melainkan menjadi anak manusia.
Dari enam butir telur, empat menetas menjadi anak laki-laki, satu orang anak perempuan, dan yang satu lagi mengeras menjadi sebuah batu. Lima orang anak muncul dalam balutan kain putih yang bersinar. Tatkala, inilah pertanda bahwa mereka diturunkan dari kayangan. Suami istri ini amat senang mendapati anak-anak tersebut dan merasa doanya telah dikabulkan Tuhan. Mereka pun berjanji kepada Tuhan untuk merawat dan membesarkan anak-anak mereka dengan baik. Keempat anak laki-laki diberi nama War, Betani, Dohar, dan Mohamad. Sementara, sang anak perempuan diberi nama Pintolee.
Waktu berlalu, kelima anak tersebut semakin beranjak besar. War, Betani, Dohar, Mohamad, dan Pintolee dikenal sebagai anak-anak yang rajin bekerja dan berbakti. Semakin dewasa, kelimanya semakin giat membantu kedua orang tuanya agar tidak perlu bekerja dengan susah payah. Lahan pertanian yang mereka kerjakan menjadi makmur dan berkembang sampai ke empat pulau besar di sekitar Teluk Kabui. Oleh karena itu, bukan hanya kedua orang tuanya, masyarakat desa dan sekitarnya turut mengagumi kebaikan anak-anak ini.
Karena Kitab Sihir sudah tidak ada padanya, tubuh Calon Arang pun hancur menjadi abu dan tertiup angin kencang menuju ke Laut Selatan. Sejak itu, Desa Girah menjadi aman tenteram seperti sedia kala.
10. Legenda Empat Raja
Dahulu, ada cerita tentang sepasang suami istri di tanah Papua yang menanti-nantikan kehadiran anak. Meski tak kunjung diberi, keduanya tetap berdoa pada Tuhan setiap siang dan malam.
Suatu hari, suami istri tersebut pergi ke hutan untuk mencari kayu dan menjadikannya kayu bakar. Keduanya harus bergegas mencari sebelum musim hujan datang karena kayu-kayu di hutan akan menjadi basah dan tidak bisa dibakar. Namun sayang, persediaan kayu yang mereka dapatkan di hari itu masih sangat sedikit untuk menghadapi musim hujan.
Diterpa kelelahan, suami dan istri ini kemudian beristirahat sejenak di tepi sungai yang bernama Sungai Waikeo. Ketika tengah beristirahat, mata sang suami tertuju pada sebuah lubang besar di sisi lain tepi sungai. Sang suami pun mendekati lubang tersebut dan terkejut ketika menemukan enam butir telur besar.
Sang suami memanggil istrinya yang tidak kalah terkejut. Keduanya lantas sepakat membawa pulang telur-telur tersebut. Mereka berpikir bahwa telur-telur ini mungkin bisa dijadikan persediaan makanan untuk dimasak di kemudian hari. Setibanya di rumah, telur-telur tersebut pun disimpan dengan baik.
Keesokan harinya, kejutan lain menyambut suami istri tersebut. Ketika hendak menyiapkan hidangan, telur-telur tersebut justru menetas. Bukannya menetas menjadi unggas atau hewan lain, melainkan menjadi anak manusia.
Dari enam butir telur, empat menetas menjadi anak laki-laki, satu orang anak perempuan, dan yang satu lagi mengeras menjadi sebuah batu. Lima orang anak muncul dalam balutan kain putih yang bersinar. Tatkala, inilah pertanda bahwa mereka diturunkan dari kayangan. Suami istri ini amat senang mendapati anak-anak tersebut dan merasa doanya telah dikabulkan Tuhan. Mereka pun berjanji kepada Tuhan untuk merawat dan membesarkan anak-anak mereka dengan baik. Keempat anak laki-laki diberi nama War, Betani, Dohar, dan Mohamad. Sementara, sang anak perempuan diberi nama Pintolee.
Waktu berlalu, kelima anak tersebut semakin beranjak besar. War, Betani, Dohar, Mohamad, dan Pintolee dikenal sebagai anak-anak yang rajin bekerja dan berbakti. Semakin dewasa, kelimanya semakin giat membantu kedua orang tuanya agar tidak perlu bekerja dengan susah payah. Lahan pertanian yang mereka kerjakan menjadi makmur dan berkembang sampai ke empat pulau besar di sekitar Teluk Kabui. Oleh karena itu, bukan hanya kedua orang tuanya, masyarakat desa dan sekitarnya turut mengagumi kebaikan anak-anak ini.
tulis komentar anda