10 Contoh Legenda Nusantara, dari Kisah Sangkuriang hingga Cerita Empat Raja Papua
loading...
A
A
A
LEGENDA nusantara ini dapat dijadikan dongeng untuk anak-anak atau sebagai pengetahuan tentang legenda rakyat di suatu daerah. Pada dasarnya legenda ini adalah jenis cerita rakyat yang bertujuan untuk mengajarkan budaya atau nilai sosial.
Legenda yang kerap berhubungan dengan peristiwa sejarah ini kebanyakan berkaitan dengan asal usul terjadinya kenampakan alam. Umumnya, setiap daerah di Indonesia memiliki cerita legenda masing-masing.
Meskipun kebanyakan contoh legenda nusantara ini dipercaya sebagai mitos, nilai sosial dan budaya yang ada di dalamnya tentu dapat dipetik atau dilestarikan.
Terdapat sepasang dewa dan dewi khayangan yang dihukum menjadi hewan dan menjalani masa hukumannya di bumi. Sang dewa menjelma menjadi anjing yang bernama Tumang, dan sang dewi menjadi babi hutan bernama Wayung Hyang.
Suatu ketika, Wayung Hyang yang merasa kepanasan melihat ada air yang tertampung di pohon keladi dan langsung meminumnya. Setelah meminum air tersebut, babi hutan Wayung Hyang pun mengandung dan melahirkan seorang anak perempuan.
Raja Sungging Perbangkara yang mengetahui hal ini membawa bayi tersebut dan membesarkannya di istana. Ia menamainya Dayang Sumbi.
Dayang Sumbi tumbuh menjadi gadis yang sangat cantik. Para raja, pangeran, dan bangsawan semuanya saling berperang memperebutkan Dayang Sumbi. Melihat kejadian tersebut, Dayang Sumbi meminta izin ayahnya untuk mengasingkan diri.
Selama di pengasingan, Dayang Sumbi mengisi hari-harinya dengan menenun. Suatu hari saat sedang asyik menenun, peralatannya ada yang terjatuh. Karena malas mengambil, ia berjanji kepada dirinya sendiri bahwa siapapun yang mengambilkan peralatan itu akan ia nikahi jika seorang pria, dan akan dijadikan saudara jika seorang wanita.
Tidak lama kemudian, Tumang menghampirinya membawakan peralatan tersebut. Karena harus menepati janji, Dayang Sumbi pun menikahi Tumang. Dari pernikahannya, ia melahirkan seorang anak laki-laki yang dinamai Sangkuriang.
Pada suatu hari, Sangkuriang diminta ibunya untuk berburu kijang karena Dayang Sumbi ingin memakan hati kijang. Sangkuriang pun pergi berburu bersama Tumang. Tidak lama kemudian, Sangkuriang melihat seekor babi hutan dan segera meminta Tumang untuk mengejarnya.
Tumang yang biasanya semangat, saat itu tidak mau menuruti perkataan Sangkuriang. Tumang mengenali babi hutan itu, Wayung Hyang. Sangkuriang pun menjadi marah kepada Tumang karena tidak mendengarkannya. Sangkuriang lalu membunuh Tumang, mengambil hatinya, dan membawanya kepada Dayang Sumbi untuk dimasak dan dimakan.
Setelah ibunya mencari-cari Tumang, Sangkuriang akhirnya mengakui perbuatannya. Dayang Sumbi yang sangat marah memukul kepala Sangkuriang hingga berdarah. Sangkuriang pun menjadi marah dan sakit hati karena ibunya lebih menyayangi Tumang dari dirinya. Ia lalu kabur dan mengembara sendiri.
Bertahun-tahun terlewati, Sangkuriang tumbuh menjadi pemuda yang gagah dan sakti karena terus berguru kepada orang-orang sakti yang ia temui selama mengembara. Dalam perjalanannya, tanpa sadar ia kembali ke tempat kelahirannya. Di hutan ia terpesona pada kecantikan seorang gadis tanpa menyadari bahwa itu adalah ibunya.
Dayang Sumbi yang juga tidak menyadari bahwa pemuda gagah itu adalah anaknya, membalas cinta Sangkuriang. Keduanya jatuh cinta dan berencana untuk menikah.
Sebelum menikah, Sangkuriang berniat untuk pergi berburu. Dayang Sumbi pun membantunya mengenakan ikat kepala. Saat itu, Dayang Sumbi lalu melihat bekas luka pukulannya dulu dan langsung mengenali Sangkuriang.
Dayang Sumbi menceritakan siapa dirinya kepada Sangkuriang dan menolak untuk diperistri anaknya sendiri. Sangkuriang yang dibutakan oleh hawa nafsu tidak percaya pada cerita itu dan tetap berniat meminang Dayang Sumbi.
Melihat kegigihan Sangkuriang, Dayang Sumbi akhirnya memberikan syarat pernikahan yang dianggap mustahil. Ia meminta Sangkuriang membendung Sungai Citarum dan membangun sebuah kapal yang besar hanya dalam waktu satu malam. Jika berhasil, maka barulah ia akan menikahi Sangkuriang.
Sangkuriang menyanggupi permintaan Dayang Sumbi. Dengan kesaktiannya, ia memanggil makhluk halus untuk membantunya bekerja. Ketika Dayang Sumbi melihat bahwa Sangkuriang hampir berhasil, ia kembali berdoa kepada dewa meminta pertolongan.
Dayang Sumbi lalu menebarkan kain putih dan memaksa ayam jantan berkokok. Makhluk halus yang mengira hari sudah pagi meninggalkan pekerjaan mereka.
Merasa sudah dicurangi membuat Sangkuriang marah besar. Sangkuriang menendang kapal besar yang sudah dibuatnya sehingga jatuh tertelungkup. Kapal besar ini kemudian menjelma menjadi sebuah gunung, Gunung Tangkuban Perahu yang berarti perahu yang tertelungkup.
Karena takut akan kemarahan Sangkuriang, Dayang Sumbi terus berlari dan akhirnya menghilang di Gunung Putri. Sangkuriang yang tidak berhasil menemukan Dayang Sumbi akhirnya menghilang ke alam gaib.
Ada seorang petani kebun bernama Toba. Setiap hari, Toba bekerja dengan giat di ladangnya. Menanam, mengurusi ladang, serta memanen. Di sela-sela atau di akhir kegiatan berladang, Toba tak jarang pergi ke sungai.
Ketika sedang mencari ikan anehnya, tak satupun ikan yang berhasil dia dapatkan. Sambil menunggu keajaiban, ia berangan, seandainya ia memiliki istri, pastilah ia tak perlu susah payah menunggu tangkapan ikan seperti ini. Toba membayangkan betapa senangnya jika ada seorang istri di rumahnya, yang menyambut ia pulang berladang dan menyiapkan hidangan untuk dinikmati bersama.
Lalu kail yang tadinya bergeming tiba-tiba bergoyang. Toba pun kaget. Ia buru-buru menarik pancingnya. Seekor ikan mas yang besar terangkut di kailnya. Sepanjang perjalanan pulang, Toba kegirangan. Ia membayangkan betapa nikmatnya santapannya hari itu. Seekor ikan besar siap diolah menjadi makanan yang lezat.
Toba menyimpan ikan tangkapannya baik-baik di dapur sementara dia mempersiapkan hal lainnya. Namun betapa terkejutnya Toba, ketika ia kembali ke dapur, ikannya sudah tidak ada. Lebih mengejutkan lagi ketika ada sosok seorang perempuan yang begitu menawan.
Perempuan itu berterima kasih pada Toba. Masih terkejut, Toba berusaha bertanya siapa perempuan itu dan mengapa ia ada di rumahnya. Perempuan itu mengaku bahwa dirinya adalah seorang putri yang dikutuk dewa menjadi seekor ikan yang diselamatkan dari sungai oleh Toba.
Sang putri merasa berhutang budi pada Toba. Sebagai wujud rasa terima kasihnya, sang putri bersedia menjadi istri Toba. Namun ada satu syarat bagi Toba sebelum menjadikannya istri, yaitu merahasiakan asal-usul sang putri dari seekor ikan. Toba tidak keberatan. Lantas keduanya pun menjadi sepasang suami istri.
Waktu berjalan dan sepasang suami istri ini akhirnya dikaruniai seorang anak laki-laki. Anak itu diberi nama Samosir. Samosir menjadi kebanggaan sang ayah terutama sang ibu yang sangat mencintainya.
Namun berbeda dengan sang ayah yang amat rajin dan giat bekerja, Samosir tumbuh menjadi anak pembangkang. Tak jarang kedua orang tuanya dibuat pusing karena tingkah lakunya. Bukan cuma itu, konon nafsu makannya pun juga luar biasa besar. Bahkan sang ayah harus semakin giat berladang demi mencukupi kebutuhan makan anaknya yang luar biasa besar. Sayangnya, Samosir enggan membantu atau bahkan sekadar menemani ayahnya berladang.
Namun berbeda dengan sang ayah yang amat rajin dan giat Saking besarnya cinta Toba pada anaknya, ia sama sekali tak pernah mengeluh. Toba tetaplah seorang pekerja keras yang giat dan rajin. Setiap hari ia pergi ke ladang seharian demi membahagiakan keluarga kecilnya.
Suatu hari, Samosir diminta bantuan oleh ibunya. Di tengah hari yang terik, sang ibu meminta tolong pada Samosir untuk mengantar makan siang ayahnya ke ladang. Tentu saja Samosir tak langsung menurutinya. Sambil bersungut-sungut, ia terpaksa mengiyakan permintaan ibunya.
Sepanjang jalan ia tak berhenti mengeluh. Sambil bermalas-malasan dan berlama-lama di jalan, Samosir merasa kelaparan. Ia membayangkan terus masakan ibunya yang nikmat. Apalagi makanan yang ada di tangannya itu. Dari aromanya saja ia sudah bisa membayangkan kenikmatannya.
Bukannya lekas-lekas diantar ke ayahnya, Samosir malah bolak-balik mengintip bekal makan siang ayahnya. Sampai akhirnya ia tergoda untuk memakannya. Buru-buru ia menghampiri anaknya yang membawa makan siang. Namun betapa terkejutnya Toba ketika membuka bungkusan makan siangnya. Bungkusan itu kosong dan tak nampak sesuap pun nasi untuk ia makan.
Toba langsung menghardik Samosir dengan mempertanyakan kemana makanan untuknya. Samosir mengaku bahwa dirinya tak kuasa menahan lapar di jalan. Amarahnya membuat Toba kelewat melontarkan umpatan pada Samosir. “Dasar anak ikan!” begitu teriaknya pada Samosir.
Rasa jengkel, kesal, dan luapan emosi Toba membuatnya tak sadar bahwa dia sudah mengingkari janjinya pada sang istri. Diiringi tangis dan kesedihan ia cepat-cepat lari menuju rumahnya. Setibanya di rumah, ibunya pun kaget mendapati anaknya menangis. Samosir langsung memeluk sang ibu dan mengadukan perkataan ayahnya.
Betapa kaget dan sedihnya sang ibu melihat perasaan anaknya terluka oleh perkataan ayahnya sendiri. Ditambah perkataan Toba pada sang anak juga melukai hatinya sebagai istri. Toba telah mengingkari janjinya sebelum menjadikannya istri yakni mengungkap asal-usulnya dari seekor ikan. Dalam rasa marah, sedih, dan kecewa, ia pergi bersama sang anak dari rumah.
Toba yang menyadari ucapannya bergegas pulang dari ladang menuju rumahnya. Namun ia terlambat, sang istri dan anaknya sudah tidak ada di rumah. Saat itu, langit pun diliputi awan gelap. Gemuruh terdengar dari seluruh penjuru. Seakan alam ikut marah karena Toba mengingkari janjinya. Ia berlari tanpa arah. Ke sana-sini ia berusaha mencari istri dan anaknya.
Toba tak berhasil mendapati istri dan anaknya. Keduanya menghilang tanpa jejak. Sementara itu, sang putri yang pergi bersama Samosir, sang anak, sudah mengetahui akan terjadi bencana besar seketika itu juga. Dari langkah-langkah kakinya di tanah yang dipijak, perlahan-lahan keluar air terus-menerus. Sambil terus pergi menjauh, ia berusaha menyelamatkan sang anak. Ia menyuruh Samosir untuk pergi ke daratan paling tinggi di desa itu. Keduanya berpisah dalam rasa sedih yang teramat dalam.
Sang putri terus berlari tapi air terus keluar dari tanah yang iya pijak hingga akhirnya memenuhi seluruh penjuru desa. Air tak terbendung lagi. Dengan cepat seluruh desa tenggelam. Sang putri kembali menjadi ikan. Saking besarnya luapan air, daratan luas tersebut berubah menjadi danau. Danau itulah yang kini kita kenal sebagai Danau Toba. Dataran tinggi yang berhasil menjadi tempat Samosir menyelamatkan diri lantas menjadi Pulau Samosir.
Dikisahkan di suatu desa di Pulau Bali. Pada suatu waktu, hiduplah sepasang suami istri yang rukun dan berkecukupan. Namun, kebahagiaan kurang lengkap mereka rasakan. Bertahun-tahun menikah, mereka belum juga dikaruniai keturunan. Setiap hari, mereka tak henti berdoa kepada Sang Hyang Widhi Wasa (sebutan untuk Tuhan dalam agama Hindu) agar diberi seorang anak. Hingga suatu hari, doa mereka didengar. Sang istri mengandung dan melahirkan seorang bayi laki-laki.
Bayi itu ternyata istimewa, karena pertumbuhannya yang sangat cepat. Meski masih bayi, porsi makannya menyerupai orang dewasa. Sampai kebutuhan pangannya turut ditanggung warga desa. Lama-kelamaan, besar tubuhnya melebihi ukuran orang dewasa. Lantas, orang-orang memanggilnya dengan sebutan Kebo Iwa yang berarti “paman kerbau.”
Selain nafsu makannya, Kebo Iwa juga terkenal akan sifatnya yang pemarah. Jika keinginannya tidak terpenuhi, Kebo Iwa akan merusak lingkungan sekitarnya. Kebo Iwa bisa menghancurkan rumah warga, bahkan tak segan merusak pura ketika merasa makanannya kurang. Tentu saja hal ini semakin meresahkan warga desa.
Meski begitu, Kebo Iwa sebetulnya dapat diandalkan. Karena tubuh dan tenaganya yang besar, Kebo Iwa kerap dimintai pertolongan untuk mengangkut batu, meratakan tanah, memindahkan bangunan, membendung sungai, hingga menggali sumur. Semua itu Kebo Iwa kerjakan karena imbalan yang disiapkan warga desa baginya, yaitu makanan yang berlimpah.
Suatu hari, warga menemui Kebo Iwa yang sedang asyik menyantap makanan yang disiapkan untuknya. Para warga menyampaikan keluh kesah mereka, bahwa banyak rumah warga yang rusak akibat ulah Kebo Iwa ketika mengamuk. Kebo Iwa bersikeras bahwa itu terjadi karena kesalahan penduduk desa yang tidak memberi makanan yang cukup untuknya.
Warga desa berkata bahwa kekurangan makanan itu terjadi karena gagal panen akibat air yang tidak lagi tersedia di musim kemarau yang berkepanjangan. Tetapi, jika Kebo Iwa bisa membuatkan sumur yang besar, pertanian akan kembali subur. Air dari sumur itu akan digunakan warga untuk mengairi sawah-sawah dan lahan pertanian, sehingga tak ada lagi gagal panen dan bahan pangan berkecukupan. Jika sanggup membuatkan sumur besar tersebut, warga meyakinkan Kebo Iwa bahwa mereka akan memberinya makanan seberapa pun banyaknya.
Membuat sumur adalah hal kecil bagi Kebo Iwa. Ia pun menyetujuinya, bahkan semakin semangat mendengar permintaan tolong penduduk desa. Ia tidak sabar membayangkan betapa puas dirinya dengan makanan yang berlimpah.
Setelah bekerja, Kebo Iwa akhirnya kelelahan dan beristirahat untuk makan. Warga rupanya sudah menyiapkan makanan yang banyak bagi Kebo Iwa, dan hal itu membuatnya sangat senang. Tidak menunggu lama, Kebo Iwa langsung menyantap seluruh makanan di depannya. Kekenyangan, Kebo Iwa mengantuk luar biasa dan tertidur pulas hingga mendengkur di dalam sumur hasil galiannya.
Tidurnya Kebo Iwa adalah waktu yang ditunggu-tunggu warga desa untuk menjalankan siasat yang telah disiapkan. Kepala desa memerintahkan warga untuk melempar batu-batu kapur besar yang sudah disiapkan ke dalam galian sumur Kebo Iwa. Ketika warga beramai-ramai melemparkan batu ke lubang tersebut, Kebo Iwa tetap tertidur nyenyak dan tidak menyadari hal yang dilakukan warga.
Air dari dalam tanah terus keluar mengisi galian sumur. Batu-batu kapur pun semakin memenuhi galian tersebut. Kebo Iwa yang tertidur di dalamnya sontak tersedak dan terkejut menyadari hal yang terjadi. Malang, ketika Kebo Iwa bangun semuanya sudah terlambat. Rasa kenyang ditambah air dan bebatuan yang memenuhi galian sumur membuatnya tidak sanggup keluar dari sumur dan menyelamatkan diri. Kebo Iwa menjadi tidak berdaya dan akhirnya mati terkubur di dalam galiannya sendiri.
Celakanya, air dari dalam galian terus-menerus keluar sampai meluap dan membanjiri desa dan area sekitar. Akibat banjir, warga akhirnya kehilangan harta benda, sawah, ladang, hewan ternak, dan rumah. Semua terburu-buru mengungsi ke tempat yang lebih tinggi tanpa dapat menyelamatkan banyak barang.
Beberapa desa yang tenggelam itu kemudian membentuk sebuah danau besar. Danau itu kini dikenal dengan nama Danau Batur. Timbunan tanah hasil galian Kebo Iwa yang menumpuk kemudian membentuk sebuah gunung yang sekarang dikenal dengan nama Gunung Batur.
Alkisah ada seorang petani yang tinggal sendirian di Pulau Sumba. Ia rajin merawat kebunnya hingga sehat nan subur. Betapa kagetnya petani saat suatu pagi menemukan kebun kesayangannya porak-poranda. Setelah ditelusuri, ia menemukan jejak babi hutan, meski rasanya tak mungkin karena kebun miliknya dikelilingi pagar yang tinggi.
Rasa penasaran dan kesal membuat petani memutuskan mengintai kebunnya untuk menangkap basah pelaku perusak. Tak lupa ia membawa tombak sakti pemberian turun-temurun dari leluhur, Numbu Ranggata. Tanpa sang petani tahu, tombak ini bisa memecah langit menjadi petir yang akan menyerang lawan sang pemilik. Namun di tangannya, tombak itu hanyalah sebilah senjata runcing biasa.
Hari semakin malam, setelah lama menunggu akhirnya ia memergoki kawanan babi hutan yang menyerang kebunnya. Benar saja, tak seperti babi hutan biasa yang akan putar balik saat melihat pagar, jenis satu ini malah melompati pagar dengan mudahnya.
Kaget sekaligus panik, petani langsung melempar tombak ke seekor babi hutan yang berjarak paling dekat dari tempat persembunyiannya hingga menancap di bagian perut sebelah kanan. Babi hutan itu mengerang kesakitan dan kabur dengan begitu cepat sekaligus membuat kawanannya kaget.
Petani merasa percuma mengejar babi hutan itu di malam hari, tapi ia harus mendapatkan tombaknya kembali agar tidak terkena kutukan leluhur. Saat matahari mulai terbit, petani segera mengikuti jejak kaki dan darah babi hutan yang kabur bersama tombak warisannya.
Sang petani jauh-jauh mengikuti jejak si babi hutan hingga sampai ke tepi pantai. Namun anehnya, jejak itu hilang begitu saja. Pikirnya, itu mustahil. Karena berarti para babi hutan itu terbang atau berenang ke pulau seberang, saat salah satu di antaranya luka berat. Tapi tak ada tubuh babi tergeletak di sepanjang perjalanan sang petani menelusuri jejak. Artinya, babi yang terluka itu pasti ikut menyeberang.
Masih termangu, tiba-tiba terdengar suara besar dari belakang petani menanyakan kenapa dia terlihat bingung. Saat menengok, mengangalah mulut petani mengetahui yang berbicara adalah sosok siluman penyu setinggi tebing. Sambil gemetar, ia pun menanyakan kepada siluman penyu mengenai komplotan babi hutan yang sedang dicarinya. Untuk menjawab pertanyaannya, siluman penyu meminta petani naik ke atas punggungnya untuk menyeberang ke pulau lain. Meski ragu, sang petani pun menurutinya. Ternyata rasa takutnya pada kutukan leluhur lebih besar daripada sekadar berinteraksi dengan siluman.
Sesampainya di pulau seberang, siluman penyu mempersilakan petani turun dan menyelesaikan tujuannya. Jika nanti memerlukan bantuan lagi untuk pulang, petani tinggal naik ke atas pohon kelapa dan memanggil siluman penyu sekencang-kencangnya, ia akan datang. Maka berpisahlah mereka setelah petani mengucapkan terima kasih.
Tak tahu harus mulai dari mana, petani menuju ke satu-satunya pondok di pesisir pantai. Di sana ia bertemu dengan tuan rumah seorang wanita tua yang tinggal sendirian. Pikirnya jika komplotan babi itu menyeberang dengan siluman penyu setiap malam, pasti nenek sempat melihat mereka sesekali.
Benar saja, nenek mengatakan jika babi hutan yang dikisahkan oleh sang petani memang berasal dari pulau tempat tinggalnya. Namun itu bukan babi hutan biasa, melainkan sekelompok orang berilmu yang bisa berubah bentuk. Mereka pergi ke pulau seberang untuk mencuri dan memperkaya diri. Hingga kini menjadi komplotan paling berkuasa di pulau itu.
Nenek memperingatkan bahwa mereka sungguh sakti, tak mungkin petani bisa mendapatkan Numbu Ranggata dengan mudah. Tapi nenek bersedia mengajarkan beberapa jurus yang bisa membantu petani dalam perjalanannya. Ternyata nenek adalah petarung sakti yang memilih untuk menyepi. Dia merasa hari tuanya lebih berguna jika bisa mengajar bela diri pada murid pilihannya.
Beberapa hari berlalu hingga petani menguasai sedikit jurus nenek yang diturunkan padanya. Sebelum melanjutkan perjalanan, nenek memberi ramuan ajaib buatannya dan petuah untuk meminta imbalan Numbu Ranggata dan batu sakral Watu Maladong pada babi hutan yang ia lukai. Katanya Watu Maladong lebih baik jika dimiliki orang jujur seperti petani.
Bertolaklah petani ke desa terdekat, tempat para babi hutan incarannya tinggal. Setelah mendapat pekerjaan di salah satu rumah warga, ia mendengar perbincangan mengenai Kepala Desa yang terluka parah di bagian perut tetapi lukanya tak kunjung menutup. Setiap hari darah segar mengalir hingga Kepala Desa selalu mengerang kesakitan.
Mendengar omongan warga, petani yakin jika Kepala Desa itu adalah babi hutan yang berhasil ia lukai tempo hari. Petani segera menuju ke rumah Kepala Desa untuk mengambil kembali Numbu Ranggata. Sesampainya, petani langsung bertanya apakah luka di perut Kepala Desa berasal dari tikaman tombak. Pertanyaan ini membuat Kepala Desa dan pengikutnya kaget, karena tak ada seorang pun dari mereka yang membocorkan kejadian malam itu. Karena pertanyaannya, sang petani dianggap sebagai dukun sakti dan dimohon segera mengobati Kepala Desa yang sudah tak berdaya.
Sesuai petuah nenek, sebelum memberi ramuan yang nenek buatkan, petani lebih dulu meminta imbalan tombak yang melukai Kepala Desa dan Watu Maladong. Permintaan ini dianggap Kepala Desa berlebihan, tetapi ia sudah putus asa. Akhirnya Kepala Desa setuju dan terjadilah perjanjian sakral antar keduanya.
Ajaib! Ramuan nenek berhasil menyembuhkan perut Kepala Desa segera setelah dioleskan. Kepala Desa dan pengikutnya langsung kegirangan. Sambil menyerahkan Numbu Ranggata, Kepala Desa bertanya bagaimana petani bisa mengetahui kejadian rahasia itu. Petani yang sudah memegang tombak leluhur warisannya kemudian mengaku bahwa ia yang menghujam Kepala Desa dengan tombak itu beberapa hari yang lalu.
Merasa dibodohi, Kepala Desa murka bukan main! Tapi di sisi lain ia sudah membuat perjanjian sakral yang tak boleh diingkari. Demi mempertahankan harga dirinya, Kepala Desa mengajak petani bertarung. Jika petani menang, ia akan mendapatkan Watu Maladong.
Petani menang dan Kepala desa mengakui kehebatannya. Ia pun menyerahkan Watu Maladong karena menganggap petani bisa menjaganya. Kepala Desa menjelaskan jika batu Watu Maladong ada tiga butir. Dua butir berjenis laki-laki yang akan memberi padi dan jagung. Satu butir lainnya berjenis perempuan dan akan memberi jewawut, tanaman serealia yang biasa dikenal juga dengan nama sekoi. Ketiganya bersama-sama akan memanggil sumber air yang tidak pernah habis.
Segera petani memberikan tugas Watu Maladong untuk mencari sumber air. Ketiga batu pun berkeliling sambil membentuk empat mata air yakni mata air Nyura Lele di Tambolaka, mata air Weetebula di desa Weetebula, mata air Wee Muu di perbatasan Wewewa Barat dan Wewewa Timur, serta mata air Weekello Sawah di dalam gua alam daerah Wewewa Timur.
Selanjutnya, petani menugaskan Watu Maladong menumbuhkan sumber daya alam. Berpencarlah ketiganya menumbuhkan ladang padi, jagung, dan jewawut di beberapa kawasan Pulau Sumba. Setelah selesai, mereka kembali pada tuannya.
Dirasa telah cukup memberi keajaiban pada alam setempat dan sekitarnya, nenek menyarankan agar batu-batu itu berpencar sehingga tidak bisa dicuri orang. Akhirnya petani menyuruh ketiganya mencari tempat aman dan bersembunyi selamanya. Konon, satu batu laki-laki penumbuh jagung memilih bersembunyi di Bondo Kodi, sedangkan dua lainnya di dasar laut Samudera Hindia.
Alkisah, di Sulawesi Selatan berdirilah sebuah kerajaan yang dipimpin oleh seorang raja yang bijaksana bernama Datu Luwu. Rakyat Luwu hidup berdampingan dengan sejahtera, aman, dan tenteram.
Datu Luwu dikaruniai seorang keturunan bernama Putri Tadampali. Kabar tentang paras cantiknya tersebar ke seluruh pelosok negeri, tak terkecuali ke telinga Raja Bone. Mendengar berita ini, Raja Bone yang juga memiliki putra yang gagah dan tampan, memutuskan untuk menikahkan putranya dengan Putri Tadampali.
Dengan tekad yang kuat, Raja Bone kemudian mengutus para duta kerajaan untuk mendatangi Kerajaan Luwu dan meminang Putri Tadampali. Namun, ketika pinangan tersebut sampai, Datu Luwu justru menjadi bimbang. Adat istiadat Luwu tidak memperbolehkan seorang putri untuk menikah dengan lelaki di luar sukunya.
Namun, jika menolak pinangan Raja Bone, Datu Luwu khawatir akan muncul peperangan antara dua kerajaan. Setelah menimbang-nimbang keputusan besar ini dengan baik, dan untuk menghindari pertumpahan darah dan mengorbankan rakyatnya, pinangan Raja Bone pun akhirnya diterima Datu Luwu. Duta dari kerajaan Bone kembali untuk menyampaikan berita bahagia tersebut kepada sang raja.
Tidak lama setelah itu, Kerajaan Luwu digemparkan oleh sebuah kejadian tidak terduga. Sekujur tubuh Putri Tadampali mendadak dipenuhi oleh bintik-bintik yang mengeluarkan cairan kental dan berbau tidak sedap. Seluruh tabib didatangkan dari pelosok negeri untuk memulihkan putri kesayangan Datu Luwu. Malangnya, hasilnya berbuah nihil. Tidak ada tabib yang sanggup mengobati Putri Tadampali meski sudah diupayakan sekuatnya. Mereka justru menyampaikan bahwa penyakit putri adalah penyakit menular.
Khawatir penyakit ini tertular ke seluruh rakyatnya, dengan berat hati Datu Luwu memutuskan untuk mengasingkan Putri Tadampali ke tempat yang jauh. Meski merasa sedih, Putri Tadampali tetap patuh pada keputusan ayahnya dan bersedia diasingkan demi kebaikan orang banyak. Sebelum berangkat, Datu Luwu memberi sebuah keris pusaka sebagai tanda cintanya pada sang putri. Ia berharap keris tersebut dapat menjadi pengingat bahwa ia tidak akan pernah melupakan sang putri.
Setelah lama berlayar, Putri Tadampali dan para pengawal setianya akhirnya berlabuh di sebuah pulau. Pulau ini diberi nama Wajo oleh sang putri karena banyaknya buah wajo yang tersebar di sekitar pulau.
Suatu hari, saat Putri Tadampali sedang menghabiskan waktu di tepi danau, seekor kerbau buleng (putih) datang menghampirinya. Kerbau tersebut kemudian menjilati kulitnya. Karena tampak jinak, Putri Tadampali tidak mengusir kerbau dan membiarkannya menjilati kulitnya.
Sungguh ajaib, setelah beberapa saat, kulit Putri Tadampali yang dijilati kerbau berangsur-angsur pulih dan kembali mulus seperti sediakala tanpa tersisa satu bercak pun. Sebagai tanda syukur, sang putri berpesan kepada para pengawalnya untuk tidak menyembelih apalagi memakan kerbau putih yang ada di Pulau Wajo.
Karena sudah terlanjur jatuh cinta kepada Putri Tadampali, Putra Mahkota menjadi sering termenung setelah kembali ke Kerajaan Bone. Ia selalu teringat akan pertemuannya dengan sang putri. Memperhatikan kelakuan Putra Mahkota, Panglima Kerajaan Bone yang menyaksikan langsung pertemuan Putra Mahkota dengan Putri Tadampali di Pulau Wajo, menceritakan tentang hal ini kepada Raja Bone. Raja Bone pun setuju dengan usulan panglima dan mengirim utusan untuk meminang Putri Tadampali di Pulau Wajo sebagai istri Putra Mahkota.
Setibanya di Pulau Wajo, Putri Tadampali memberikan keris pusaka pemberian sang ayah kepada para utusan dan meminta Putra Mahkota untuk mendapatkan restu ke Kerajaan Luwu terlebih dahulu. Jika keris tersebut diterima dengan baik oleh Datu Luwu, berarti pinangan diterima. Putra Mahkota pun berangkat sendiri menuju Kerajaan Luwu.
Sesampainya di Kerajaan Luwu, Putra Mahkota menceritakan pertemuannya dengan sang putri kepada Datu Luwu. Ia menceritakan kabar tentang pulihnya penyakit Putri Tadampali dan niatnya untuk menjadikan sang putri istrinya. Melihat ketulusan hati dan besarnya minat Putra Mahkota untuk meminang putrinya, Datu Luwu pun memberikan restunya dan menerima keris pusaka yang diberikan oleh Putri Tadampali dengan senang hati.
Bersama dengan sang Putra Mahkota, Datu Luwu dan Permaisuri kemudian berangkat menuju Pulau Wajo untuk menjumpai putri tercinta. Setibanya di sana, Datu Luwu meminta maaf kepada sang putri karena telah mengasingkannya. Tapi, Putri Tadampali justru memanjatkan syukur karena dapat menyelamatkan rakyat Luwu dari penyakit menular yang menimpa dirinya dan mendapatkan kesembuhan di Wajo.
Putri Tadampali akhirnya melangsungkan pernikahan dengan Putra Mahkota Bone di Wajo. Semua yang hadir, termasuk keluarga dari Kerajaan Luwu dan Kerajaan Bone merayakannya dengan sukacita. Beberapa tahun kemudian, Putra Mahkota didaulat untuk naik tahta dan menggantikan ayahnya sebagai pemimpin Kerajaan Bone.
Alkisah berdirilah kerajaan yang menghadap ke hampar Samudra Hindia, Kerajaan Sekar Kuning di negeri Tonjeng Beru. Sang raja, Raden Panji Kusuma juga dikenal dengan sebutan Tonjeng Beru, memiliki istri bernama Dewi Seranting. Keduanya terkenal rupawan, mereka pun hidup harmonis dan memerintah dengan bijaksana hingga rakyat hidup sejahtera.
Hari yang dinanti tiba, raja dan ratu dikaruniai keturunan. Seorang putri berparas cantik yang diberi nama Mandalika. Melihat sikap sehari-hari orang tuanya, Putri Mandalika tumbuh menjadi gadis santun, rendah hati, dan sangat menyayangi rakyat. Ia bahkan rela membantu warga dengan tangannya sendiri, tanpa memikirkan jika dirinya adalah seorang ningrat. Tak heran jika Putri Mandalika juga dicintai rakyat hingga selalu dibanggakan sampai ke pelosok negeri.
Siapa sangka, cerita dari mulut ke mulut mengenai paras rupawan dan budi baiknya membuat banyak pangeran, dari kerajaan-kerajaan yang dekat maupun jauh, hendak memperistri Putri Mandalika. Mereka menunggu hingga Putri Mandalika cukup umur lalu satu per satu melayangkan pinangannya ke Kerajaan Sekar Kuning. Bersama surat-surat pinangan itu, datang juga pemberitahuan kedatangan para pangeran ke Kerajaan Sekar Kuning untuk memberi hantaran dan memperkenalkan diri.
Sambil menunggu jawaban Putri Mandalika, semua pangeran yang datang dipersilakan tinggal di paviliun tamu kerajaan. Awalnya paviliun itu sepi dan luas, tapi karena terus menerus kedatangan tamu pangeran beserta ajudan-ajudannya, paviliun tamu menjadi ramai dan tidak nyaman. Tak jarang, pangeran-pangeran juga beradu mulut dan saling membanggakan kerajaan mereka. Aura persaingan terasa sepanjang hari.
Suatu malam, Putri Mandalika datang ke paviliun tamu secara rahasia. Ia ingin melihat para pangeran yang melamarnya. Namun tak disangka saat kedatangannya itu, yang terlihat bukan karisma para pangeran yang menemui ayahnya di aula, melainkan sikap sombong dan kekanak-kanakan para pangeran yang sedang memuji diri sendiri dan merendahkan kerajaan lain. Ada juga yang akan mengajukan perang pada Kerajaan Sekar Kuning jika sampai cintanya ditolak.
Kecewa dengan apa yang disaksikannya, Putri Mandalika kembali ke kediamannya sambil menitikkan air mata.
Kini Putri Mandalika bukan hanya bingung, ia pun takut salah mengambil keputusan. Ternyata lamaran-lamaran itu bukan hanya tentang dirinya, tetapi juga tentang peperangan antar suku.
Tak bisa dimungkiri, raja dan ratu pun merasakan kebingungan serupa. Keduanya menyarankan Putri Mandalika untuk meminta petunjuk pada Sang Maha Pencipta. Jawaban apapun yang Putri Mandalika dapatkan, raja dan ratu akan menerima dan mendukungnya.
Bertolaklah Putri Mandalika untuk bersemedi di tebing Pantai Seger untuk mendapatkan jawaban yang dicarinya.
Setelah tiga hari bersemedi, Putri Mandalika mengundang para pangeran untuk datang ke tebing Pantai Seger saat fajar pada hari ke-20 bulan 10. Pilihan waktu ini dianggap janggal, hingga membuat banyak orang penasaran. Berita ini juga terdengar hingga ke telinga rakyat Kerajaan Sekar Kuning dan kerajaan sekitar.
Hari yang ditunggu tiba, kawasan Pantai Seger kini dipadati penduduk yang ikut penasaran akan jawaban Putri Mandalika. Saat sinar matahari menyinari dirinya, Putri Mandalika mengatakan dengan lantang jika ia menerima semua pinangan para pangeran. Pernyataan putri membuat bingung semua orang! Katanya, jawaban itu adalah yang terbaik yang ditunjukan Sang Maha Pencipta. Putri Mandalika diperlihatkan pandangan jika menerima hanya satu saja pinangan, perang besar akan terjadi.
Ia pun mengucap terima kasih atas pinangan dan kasih sayang semua orang padanya. Kemudian Putri Mandalika membalik badan menghadap ke samudra, lalu melompat ke lautan disambut ombak besar yang menelan tubuhnya.
Melihat putri kesayangan jatuh ke laut, raja segera menceburkan diri ke air untuk mencari anaknya. Diikuti oleh para pangeran dan seluruh rakyat yang berkumpul di Pantai Seger. Namun dari ratusan orang yang mencari, tak ada satupun yang menemukan tubuh Putri Mandalika.
Yang terlihat di dalam air malah ribuan biota laut serupa pita yang menjuntai berwarna-warni. Warnanya sama dengan kain sutra yang dikenakan Putri Mandalika, hingga banyak orang yang terkecoh dan menangkapnya.
Raja dan ratu akhirnya menyadari, jika cacing-cacing berwarna indah itu adalah jelmaan putrinya yang telah berkorban demi rakyat. Akhirnya, raja dan ratu memerintahkan rakyat untuk mengumpulkan cacing-cacing itu dan membawanya pulang. Sebagian menaruhnya di sawah dan membuat tanaman mereka subur, sebagian lainnya membuat masakan dari cacing-cacing yang mereka sebut nyale sehingga kebutuhan pangan mereka selalu tercukupi dan sejahtera, seperti keinginan Putri Mandalika.
Alkisah di atas sebuah bukit, jauh dari pemukiman penduduk di Kalimantan Barat, hiduplah ibu bersama anak perempuannya. Suaminya sudah lama meninggal tanpa mewariskan harta berarti. Kehidupan menjanda di umur cukup tua tak meninggalkan ibu banyak pilihan. Ia tak mungkin menikah lagi, jadi ibu harus berusaha sendiri untuk menghidupi anak perempuan kesayangannya, Darmi.
Setiap hari ibu bekerja keras. Mengurus kebun sayur sejak pagi buta: menanam bibit, menyiram, memberi pupuk, menyiangi semak, memanen, dan menjual hasil panen ke pasar. Belum lagi mengurus anak yang masih kecil, juga mencari kayu bakar untuk memasak. Kulit ibu yang awalnya cerah, lama-lama menggelap karena terpapar sinar matahari. Berat badannya menyusut, ibu tak memiliki waktu untuk mengurus dirinya sendiri.
Harapan ibu, Darmi bisa hidup bahagia, tak seperti dirinya. Maka Darmi pun dimanja; penuh kasih sayang. Darmi tumbuh menjadi gadis cantik! Kulitnya kuning langsat, tubuh semampai, paras memesona, dan rambutnya hitam legam panjang terurai. Darmi juga selalu mengenakan baju indah dan aksesori mentereng. Berbeda dari ibu yang sudah lama tak membeli barang untuk diri sendiri. Ia sudah tua, pikirnya. Tak memerlukan lagi semua hal itu.
Tapi Darmi masih muda dan suka bergaul. Darmi pun selalu senang jika dibelikan baju baru, aksesori, dan alat berhias. Lama kelamaan, hanya benda-benda itu yang ada di benaknya. Darmi senang sekali bercermin sambil menyisir rambutnya. Ia sadar, kalau dirinya sangat cantik. Tapi hanya itu pula yang Darmi lakukan. Mengagumi diri sendiri sepanjang hari, saat ibu bekerja keras di kebun.
Suatu hari sisir semata wayang Darmi patah, membuatnya uring-uringan sepanjang hari. Ia mau mendapatkan sisir baru! Harus lebih cantik dari sisir lamanya. Tapi Darmi tak percaya selera ibu. Lagian jika ikut ke pasar ia bisa melihat aksesori cantik dan mungkin mendapatkannya juga. Akhirnya Darmi memutuskan ikut ibu, yang memasok sayur ke pasar, turun bukit.
Darmi yang takut kulitnya terkena sinar matahari, membawa daun besar sebagai payung. Sedangkan ibu menarik gerobak berisi sayur dengan tubuh rentanya. Satu, dua orang melewati mereka sambil memberi pandangan sinis. Di benak Darmi, itu karena orang merendahkannya, perihal memiliki ibu dengan penampilan bak pengemis. Kurus dan lusuh!
Darmi mengambil langkah cepat, meninggalkan ibu di belakang, sehingga orang tak tahu wanita penarik gerobak itu adalah ibunya. Tak disangka, Darmi bertemu kawan di perjalanan. Mereka berbincang hingga ibu sampai. Ibu bertanya siapa anak muda yang berbicara pada Darmi, berharap dikenalkan. Tapi Darmi malah memperkenalkan ibu sebagai pembantunya. Hati ibunya pun terasa hancur mendengar perkataan anaknya. Ia menahan tangis dan tak mampu berkata-kata. Tahu ibunya diam dan menerima dibilang pembantu, Darmi mengulangi kata-katanya tiap ada orang menyapa.
Kecantikan Darmi membuatnya banyak disapa pemuda di pasar, sampai ada yang mau mengantarkan pulang. Bagaimanapun, ibu khawatir akan keselamatan Darmi. Ibu mengikuti Darmi dari belakang untuk menjaganya. Darmi terlihat asik sekali mengobrol dengan komplotan pemuda yang “katanya” mau mengantar pulang itu.
Makin lama pemuda-pemuda makin mendekat ke putri ibu! Sehingga ibu harus memperingati Darmi dengan memanggilnya. Sontak para pemuda ikut menengok, lalu bertanya pada Darmi; memastikan apa yang memanggil itu adalah ibunya. Kali ini Darmi tertawa. Mengatakan bagaimana mungkin wanita yang terlihat seperti gembel itu adalah ibunya. Darmi bilang ia berasal dari keluarga berada, ibunya cantik dan sedang menunggu di rumah. Darmi menambahkan, wanita itu adalah pekerja rendah di kediamannya. Maka para pemuda ikut tertawa, menyadari betapa konyol pertanyaan tadi.
Cukup sudah, ibu tak kuat lagi! Ia melepas gerobak yang dipegangnya lalu bersimpuh ke tanah. Sakit hatinya, ibu pun menangis. Ia keluarkan semua tangis yang selama ini tertahan seraya meminta pertolongan Tuhan meminta mengakhiri sakit hati, lelah, dan doanya yang sia-sia meminta kebahagian untuk si anak durhaka.
Langit berubah gelap, angin berhembus kencang. Ternyata Tuhan mendengar doa ibu. Darmi yang masih dikelilingi para pemuda tiba-tiba merasa kakinya kaku dan berat. Seketika Darmi menyadari, ia terkena kutuk karena perbuatannya pada ibu. Saat tubuhnya semakin berat, Darmi menangis ketakutan. Saking beratnya, tubuh Darmi tertarik ke tanah. Kini ia bersimpuh, menangis makin kencang.
Kakinya berubah menjadi batu, lanjut ke pinggulnya. Darmi makin ketakutan, ia memanggil-manggil ibu. Meminta maaf dan berjanji tak akan mengulangi perbuatannya. Ibu hanya bisa melongo, lalu menghampiri putrinya yang separuh menjadi batu. Keduanya hanya bisa menangis bersama, hingga akhirnya Darmi berubah sepenuhnya menjadi batu. Anehnya, dari dalam batu Darmi tetap keluar air mata hingga beberapa lama.
Oleh para pemuda, batu itu dipindah ke sisi tebing. Menghadap ke langit agar Darmi tak kesepian. Penduduk sekitar kemudian menyebutnya sebagai Batu Menangis.
Alkisah di sebuah desa di sekitar Sungai Mahakam, Kalimantan Timur, hidup sepasang suami istri yang begitu mencintai satu sama lain. Keduanya dikaruniai seorang anak laki-laki dan seorang anak perempuan. Mereka hidup bahagia dan harmonis hingga sang Ibu terkena penyakit. Meski telah berusaha mengobati sebisa mungkin, kondisi Ibu tak kunjung membaik dan akhirnya meninggal dunia.
Kepergian Ibu menjadi pukulan besar bagi keluarga, terutama Ayah yang sangat mencintainya. Sepeninggal Ibu, Ayah banyak menghabiskan waktu dengan menangis dan melamun. Ia tak peduli lagi pada persediaan kayu bakar yang semakin menipis, ladang yang mengering, bahkan anak-anaknya. Bukan hanya rumah yang tak terurus, namun juga diri mereka sendiri. Ayah terlihat lusuh, anak-anak pun semakin kurus.
Di awal musim panen, penduduk desa mengadakan pesta perayaan untuk mensyukuri hasil yang mereka dapatkan. Teman-teman Ayah berusaha menghibur dan mengajaknya ke pertunjukan kesenian di mana ia melihat seorang penari yang menarik hatinya.
Paras cantik dan keindahan tariannya membuat Ayah terus kembali untuk menonton pertunjukan Sang Penari setiap malam. Untuk menarik perhatian Sang Penari, Ayah pun berusaha tampil lebih gagah, mengenakan pakaian terbaiknya, dan merapikan diri.
Akhirnya pada hari ketujuh, Ayah memberanikan diri untuk mengajak Sang Penari mengobrol. Hubungan mereka terus berlanjut karena ternyata Sang Penari juga tertarik padanya. Ayah pun jatuh hati kepada Sang Penari tanpa peduli tentang latar belakangnya yang tak ia ketahui.
Tak lama kemudian, Ayah dan Sang Penari pun menikah. Setelah menikah, Ayah seperti menemukan semangat baru. Ia merasa keluarganya kembali lengkap dan menjadi rajin bekerja agar bisa menyenangkan istri barunya.
Semakin lama, tugas yang diberikan Ibu tiri semakin tak masuk akal. Ibu tiri meminta anak-anak mencari kayu bakar ke hutan, sebuah pekerjaan berat yang biasanya hanya dilakukan oleh lelaki dewasa. Mereka diminta pergi tanpa makan terlebih dahulu, dan tak diizinkan pulang sebelum mendapat kayu satu keranjang penuh. Meski berhasil melakukan tugas ini, sesampainya di rumah anak-anak tetap hanya diberikan makanan sisa.
Esoknya, Ibu tiri kembali meminta anak-anak mencari kayu bakar. Kali ini harus dua kali lipat banyaknya! Lagi-lagi, mereka tak diizinkan makan terlebih dahulu, juga tak boleh pulang jika belum berhasil mengumpulkan kayu bakar. Saat malam tiba, keduanya baru berhasil mengumpulkan satu keranjang kayu bakar. Tahu akan dimarahi jika pulang sebelum berhasil, anak-anak pun memutuskan untuk bermalam di hutan dengan perut kelaparan.
Di pagi hari, anak-anak segera bangun untuk mencari satu keranjang lagi kayu bakar agar bisa segera makan di rumah. Hari semakin siang, keduanya pun merasa semakin lapar sehingga akhirnya jatuh pingsan. Saat sadar, anak-anak sudah berada di bawah pohon rindang di area yang penuh dengan buah-buahan. Tanpa berpikir panjang, anak-anak langsung makan hingga kekenyangan. Setelahnya, anak-anak lanjut menyelesaikan tugas mencari kayu bakar lalu segera pulang.
Sesampainya di rumah, anak-anak terkejut melihat rumah yang kosong. Bukan hanya orang tua mereka yang menghilang, tapi juga hampir semua barang di dalamnya. Ternyata selama mencari kayu, Ayah dan Ibu pindah dari rumah itu. Karena panik dan tak tahu harus berbuat apa, anak-anak hanya bisa menangis. Setelah lebih tenang, anak-anak memutuskan untuk menjual semua kayu bakar yang tersisa pada tetangga agar bisa mendapat bekal mencari orang tuanya.
Setelah dua hari perjalanan, sampailah anak-anak di tepian Sungai Mahakam. Di sana terlihat rumah kecil dengan jemuran baju di depannya. Baju itu terlihat seperti punya Ayah! Mereka segera berlari masuk ke dalam rumah, tetapi kosong. Di dalam rumah tercium aroma masakan yang membuat perut anak-anak yang sudah kelaparan pun berbunyi nyaring. Ternyata, aroma lezat itu datangnya dari dapur. Di sana ada sebuah kuali berisi bubur yang sedang dimasak hingga mendidih.
Karena sangat lapar, anak-anak menyendok bubur panas sesuap demi sesuap dan menghabiskannya sampai ke dasar kuali. Setelah makan, suhu tubuh mereka menjadi panas seperti terbakar api. Panik, anak-anak menggunakan semua air di dapur untuk minum dan menyiram tubuh, namun berujung nihil. Mereka melepas semua barang bawaan dan berlari ke luar rumah menuju ke sungai, kemudian langsung melompat ke dalam air.
Di saat yang sama, Ayah dan Ibu tiri sampai ke rumah. Saat masuk ke dapur, semuanya terlihat berantakan. Terlihat barang anak-anak yang sudah berserakan di samping kuali kosong. Ayah lalu menyadari anak-anak datang mencarinya, mereka tidak kabur dari rumah seperti kata Ibu tiri.
Ayah keluar dan mencari anak-anaknya hingga ke tepi sungai, tapi tak menemukan siapapun. Di dalam sungai, Ayah hanya melihat ada dua makhluk seperti ikan berwajah mirip manusia yang menyemburkan air dari kepala mereka. Keduanya berenang berputar-putar seperti senang melihat Ayah.
Ayah menjadi curiga jika kedua makhluk itu adalah anaknya. Ayah berlari ke rumah untuk meminta tolong pada Ibu tiri guna memastikan apa dua makhluk itu benar anak-anaknya. Namun Ayah tak bisa menemukan Ibu tiri di mana pun. Ibu tiba-tiba menghilang begitu saja seperti bukan seorang manusia.
Ayah akhirnya kembali ke sungai, meratapi keadaan anak-anaknya yang telah berubah menjadi ikan dan menyesali perbuatannya yang terlalu percaya semua perkataan istri barunya. Warga sekitar yang mengetahui tentang kisah ini kemudian menamai anak-anak dengan sebutan Pesut Mahakam.
Di Kerajaan Daha, Kediri, pada masa pemerintahan Raja Erlangga yang arif dan bijaksana, hiduplah seorang janda yang sangat bengis, bernama Calon Arang. Ia tinggal di Desa Girah.
Calon Arang adalah penganut sebuah aliran hitam, yakin kepercayaan sesat yang selalu mengumbar kejahatan dengan memakai ilmu gaib. Ia mempunyai seorang putri bernama Ratna Manggali. Karena putrinya sudah cukup dewasa, Calon Arang tidak ingin Ratna Manggali menjadi perawan tua. Ia pun berusaha mencari cara agar Ratna Manggali segera mendapatkan jodoh dan menikah.
Tetapi, karena sifatnya yang bengis, Calon Arang tidak disukai oleh penduduk Girah. Tak seorang pemuda pun yang berani memperistri Ratna Manggali, putrinya. Hal ini membuat marah Calon Arang. Ia berniat menghukum warga Desa Girah.
“Kerahkan anak buahmu! Cari seorang perawan hari ini juga! Sebelum matahari tenggelam perawan itu harus dibawa ke Candi Durga!” perintah Calon Arang kepada Krakah, seorang anak buahnya.
Krakah segera mengerahkan cantrik-cantrik Calon Arang untuk mencari seorang perawan. Suatu pekerjaan yang tidak terlalu sulit bagi para cantrik Calon Arang.
Sebelum matahari terbit, gadis perawan yang malang itu sudah dibawa ke Candi Durga. Ia berusaha berontak dan meronta-ronta ketakutan.
“Lepaskan aku! Lepaskan aku!” teriaknya.
Lama kelamaan gadis itu pun lelah karena kehabisan tenaga dan jatuh pingsan. Ia kemudian dibaringkan di altar persembahan. Tepat pada tengah malam yang gelap gulita, Calon Arang mengorbankan gadis yang tak berdosa itu untuk dipersembahkan kepada Betari Durga, dewi angkara murka. Setelah membakar dupa, Calon Arang mengucap mantra, lalu menikam jantung gadis tersebut hingga tewas.
Tuah jahat Calon Arang pun menjadi kenyataan. Desa Girah diterjang banjir dari luapan Sungai Brantas. Siapapun yang terkena percikan air Sungai Brantas, ia pasti akan menderita sakit dan menemui ajalnya.
Akibat ulah Calon Arang itu, rakyat semakin menderita. Korban semakin banyak. Pagi sakit, sore meninggal. Tak ada obat yang dapat menanggulangi wabah penyakit aneh itu.
Melihat kejadian tersebut, Prabu Erlangga marah besar. Ia pun menabuh genderang perang untuk melawan dan menangkap Calon Arang. Rakyat sangat gembira mendengar bahwa Calon Arang akan ditumpas. Para prajurit yakin bahwa tugas suci itu akan menjadi bangga dan merasa yakin bahwa tugas tersebut akan berhasil berkat doa restu seluruh rakyat.
Sesampainya di Desa kediaman Calon Arang, ledakan-ledakan menggelegar di antara para prajurit Kerajaan Daha. Mereka tiba-tiba menggelepar-gelepar di tanah, tanpa penyebab yang pasti. Korban pun berjatuhan. Calon Arang mampu merobohkan lawannya dari jarak jauh, maupun tanpa senjata.
Prabu Erlangga pun mencari cara lain untuk mengalahkan calon arang. “Untuk dapat mengalahkan Calon Arang, kita harus menggunakan kasih sayang,” kata Empu Baradah dalam musyawarah kerajaan. “Kekesalan Calon Arang itu disebabkan belum ada seorang pun yang bersedia menikahi putri tunggalnya.”
Empu Baradah kemudian meminta Empu Bahula agar dapat membantu dengan tulus untuk mengalahkan Calon Arang. Empu Bahula yang masih lajang diminta bersedia memperistri Ratna Manggali. Dijelaskan, bahwa dengan memperistri Ratna Manggali, Empu Bahula dapat sekaligus memperdalam dan menyempurnakan ilmunya.
Akhirnya, rombongan Empu Bahula berangkat ke desa Girah untuk meminang Ratna Manggali. Calon Arang pun bahagia. Pernikahan antara Empu Bahula dan Ratna Manggali pun dilangsungkan. Mereka saling mencintai satu sama lain. Di sisi lain, Empu Bahula memanfaatkan suasana tersebut untuk melaksanakan tugasnya.
Empu Bahula pun bertanya kepada istrinya, apa yang menyebabkan Nyai Calon Arang begitu sakti? Ratna Manggali menjawab, bahwa kesaktian Calon Arang terletak pada Kitab Sihir yang ia gunakan.
Empu Bahula segera mencari cara dan mengatur siasat untuk dapat mencuri Kitab Sihir tersebut. Ia pun berhasil, dan kitab itu langsung diserahkan ke Empu Baradah.
Amarah Calon Arang meledak ketika mengetahui Kitab Sihir miliknya lenyap. Sementara itu, Empu Baradah mempelajari Kitab Sihir tersebut dengan tekun. Setelah berhasil, ia pun menantang Calon Arang.
Sewaktu menghadapi Empu Baradah, kedua belaha telapak tangan Calon Arang menyemburkan jilatan api, begitu juga kedua matanya. Empu Baradah menghadapinya dengan tenang. Ia segera membaca sebuah mantra untuk mengembalikan jilatan dan semburan api ke tubuh Calon Arang.
Karena Kitab Sihir sudah tidak ada padanya, tubuh Calon Arang pun hancur menjadi abu dan tertiup angin kencang menuju ke Laut Selatan. Sejak itu, Desa Girah menjadi aman tenteram seperti sedia kala.
Dahulu, ada cerita tentang sepasang suami istri di tanah Papua yang menanti-nantikan kehadiran anak. Meski tak kunjung diberi, keduanya tetap berdoa pada Tuhan setiap siang dan malam.
Suatu hari, suami istri tersebut pergi ke hutan untuk mencari kayu dan menjadikannya kayu bakar. Keduanya harus bergegas mencari sebelum musim hujan datang karena kayu-kayu di hutan akan menjadi basah dan tidak bisa dibakar. Namun sayang, persediaan kayu yang mereka dapatkan di hari itu masih sangat sedikit untuk menghadapi musim hujan.
Diterpa kelelahan, suami dan istri ini kemudian beristirahat sejenak di tepi sungai yang bernama Sungai Waikeo. Ketika tengah beristirahat, mata sang suami tertuju pada sebuah lubang besar di sisi lain tepi sungai. Sang suami pun mendekati lubang tersebut dan terkejut ketika menemukan enam butir telur besar.
Sang suami memanggil istrinya yang tidak kalah terkejut. Keduanya lantas sepakat membawa pulang telur-telur tersebut. Mereka berpikir bahwa telur-telur ini mungkin bisa dijadikan persediaan makanan untuk dimasak di kemudian hari. Setibanya di rumah, telur-telur tersebut pun disimpan dengan baik.
Keesokan harinya, kejutan lain menyambut suami istri tersebut. Ketika hendak menyiapkan hidangan, telur-telur tersebut justru menetas. Bukannya menetas menjadi unggas atau hewan lain, melainkan menjadi anak manusia.
Dari enam butir telur, empat menetas menjadi anak laki-laki, satu orang anak perempuan, dan yang satu lagi mengeras menjadi sebuah batu. Lima orang anak muncul dalam balutan kain putih yang bersinar. Tatkala, inilah pertanda bahwa mereka diturunkan dari kayangan. Suami istri ini amat senang mendapati anak-anak tersebut dan merasa doanya telah dikabulkan Tuhan. Mereka pun berjanji kepada Tuhan untuk merawat dan membesarkan anak-anak mereka dengan baik. Keempat anak laki-laki diberi nama War, Betani, Dohar, dan Mohamad. Sementara, sang anak perempuan diberi nama Pintolee.
Waktu berlalu, kelima anak tersebut semakin beranjak besar. War, Betani, Dohar, Mohamad, dan Pintolee dikenal sebagai anak-anak yang rajin bekerja dan berbakti. Semakin dewasa, kelimanya semakin giat membantu kedua orang tuanya agar tidak perlu bekerja dengan susah payah. Lahan pertanian yang mereka kerjakan menjadi makmur dan berkembang sampai ke empat pulau besar di sekitar Teluk Kabui. Oleh karena itu, bukan hanya kedua orang tuanya, masyarakat desa dan sekitarnya turut mengagumi kebaikan anak-anak ini.
Tanggung jawab apapun yang diberikan orang tua pada anak-anak selalu dijalankan dengan baik. Kepatuhan pada orang tua dan berguna bagi lingkungan membuat ayah dan ibu kelima anak-anak tersebut sangat bangga. Rasa sayang yang begitu besar pada kelima anaknya membuat sang ayah ingin meninggalkan warisan sebelum ajal menjemputnya. Kemudian, sang ayah mulai menyiapkan sebuah rencana besar untuk War, Betani, Dohar, Mohamad, dan Pintolee.
Di tengah kebahagiaan mereka, terjadi sesuatu yang membuat satu keluarga kecewa. Pintolee jatuh hati dengan seorang pemuda yang tidak disenangi oleh keluarganya. Meski pemuda pilihannya tidak direstui, Pintolee tetap bersikeras untuk melanjutkan hubungannya. Memilih untuk memegang teguh pilihan hidupnya, Pintolee dengan berat hati harus melepas hadiah yang sudah disiapkan ayahnya. Pintolee akhirnya pergi meninggalkan saudara-saudara dan kedua orangtuanya. Pintolee berlayar menaiki cangkang kerang besar yang terdampar hingga membawanya dan pemuda pilihannya di Pulau Numfor.
Meski kabar mengenai Pintolee sudah tersiar ke segala penjuru pulau, masyarakat desa dan sekitar tetap menaruh rasa simpati pada sang ayah dan ibu. Tentu saja, hal ini karena War, Betani, Dohar, dan Mohamad setia menjaga nama baik keluarga dengan mematuhi nasihat kedua orang tua mereka.
Tahun silih berganti, sang ayah semakin beranjak renta. Tibalah hari yang sudah dinantikan sang ayah untuk keempat putranya. Sang ayah memanggil keempat anak laki-lakinya untuk membagikan warisan. Ternyata, masing-masing anak dihadiahkan satu pulau. War diberi Pulau Waigeo, Betani diberi Pulau Salawati, Dohar diberi Pulau Lilinta, dan Mohamad mendapatkan Pulau Waiga. Sang ayah berpesan agar mereka selalu menjaga pulau-pulau tersebut dan segala isinya dengan baik.
Keempat anak-anak tersebut kemudian pergi dan menetap di masing-masing pulau yang telah dipercayakan oleh sang ayah. Semakin hari War, Betani, Dohar, dan Mohamad semakin dikenal sebagai sosok yang tekun dan bijaksana. Hingga sang ayah akhirnya meninggal dunia, keempatnya mampu menaati janji mereka.
Bukan hanya nasihat orang tua, warisannya pun mereka jaga. Masing-masing anak tersebut berkuasa, bahkan menjadi raja atas pulaunya masing-masing. Pulau-pulau tersebut tumbuh subur dan makmur. Penduduk di sekitarnya juga hidup bahagia dan sejahtera. Dari sinilah kemudian lahir nama Raja Ampat. Empat orang raja yang berkuasa atas gugusan pulau yang subur dan sejahtera.
Sementara itu, sebutir telur yang menjadi batu, sampai hari ini masih dirawat dan dijaga oleh penduduk setempat. Batu itu juga diperlakukan oleh masyarakat sekitar layaknya seorang raja. Penduduk memberikan ruangan tempat bersemayam, lengkap dengan dewa penjaga berwujud dua batu tegak atau menhir yang diberi nama Man Moro dan Man Metem di sisi kanan dan kiri pintu masuk.
Batu yang hingga kini masih disimpan di Situs Kali Raja itu diberi nama Batu Telur Raja. Untuk menjaga kesuciannya, batu bernama Kapatnai ini hanya dapat dilihat setahun sekali pada saat upacara penggantian kelambu dan pemandian yang hanya boleh dilakukan oleh keturunan raja.
Legenda yang kerap berhubungan dengan peristiwa sejarah ini kebanyakan berkaitan dengan asal usul terjadinya kenampakan alam. Umumnya, setiap daerah di Indonesia memiliki cerita legenda masing-masing.
Meskipun kebanyakan contoh legenda nusantara ini dipercaya sebagai mitos, nilai sosial dan budaya yang ada di dalamnya tentu dapat dipetik atau dilestarikan.
10 Contoh Legenda Nusantara
1. Legenda Sangkuriang
Terdapat sepasang dewa dan dewi khayangan yang dihukum menjadi hewan dan menjalani masa hukumannya di bumi. Sang dewa menjelma menjadi anjing yang bernama Tumang, dan sang dewi menjadi babi hutan bernama Wayung Hyang.
Suatu ketika, Wayung Hyang yang merasa kepanasan melihat ada air yang tertampung di pohon keladi dan langsung meminumnya. Setelah meminum air tersebut, babi hutan Wayung Hyang pun mengandung dan melahirkan seorang anak perempuan.
Baca Juga
Raja Sungging Perbangkara yang mengetahui hal ini membawa bayi tersebut dan membesarkannya di istana. Ia menamainya Dayang Sumbi.
Dayang Sumbi tumbuh menjadi gadis yang sangat cantik. Para raja, pangeran, dan bangsawan semuanya saling berperang memperebutkan Dayang Sumbi. Melihat kejadian tersebut, Dayang Sumbi meminta izin ayahnya untuk mengasingkan diri.
Selama di pengasingan, Dayang Sumbi mengisi hari-harinya dengan menenun. Suatu hari saat sedang asyik menenun, peralatannya ada yang terjatuh. Karena malas mengambil, ia berjanji kepada dirinya sendiri bahwa siapapun yang mengambilkan peralatan itu akan ia nikahi jika seorang pria, dan akan dijadikan saudara jika seorang wanita.
Tidak lama kemudian, Tumang menghampirinya membawakan peralatan tersebut. Karena harus menepati janji, Dayang Sumbi pun menikahi Tumang. Dari pernikahannya, ia melahirkan seorang anak laki-laki yang dinamai Sangkuriang.
Pada suatu hari, Sangkuriang diminta ibunya untuk berburu kijang karena Dayang Sumbi ingin memakan hati kijang. Sangkuriang pun pergi berburu bersama Tumang. Tidak lama kemudian, Sangkuriang melihat seekor babi hutan dan segera meminta Tumang untuk mengejarnya.
Tumang yang biasanya semangat, saat itu tidak mau menuruti perkataan Sangkuriang. Tumang mengenali babi hutan itu, Wayung Hyang. Sangkuriang pun menjadi marah kepada Tumang karena tidak mendengarkannya. Sangkuriang lalu membunuh Tumang, mengambil hatinya, dan membawanya kepada Dayang Sumbi untuk dimasak dan dimakan.
Setelah ibunya mencari-cari Tumang, Sangkuriang akhirnya mengakui perbuatannya. Dayang Sumbi yang sangat marah memukul kepala Sangkuriang hingga berdarah. Sangkuriang pun menjadi marah dan sakit hati karena ibunya lebih menyayangi Tumang dari dirinya. Ia lalu kabur dan mengembara sendiri.
Bertahun-tahun terlewati, Sangkuriang tumbuh menjadi pemuda yang gagah dan sakti karena terus berguru kepada orang-orang sakti yang ia temui selama mengembara. Dalam perjalanannya, tanpa sadar ia kembali ke tempat kelahirannya. Di hutan ia terpesona pada kecantikan seorang gadis tanpa menyadari bahwa itu adalah ibunya.
Dayang Sumbi yang juga tidak menyadari bahwa pemuda gagah itu adalah anaknya, membalas cinta Sangkuriang. Keduanya jatuh cinta dan berencana untuk menikah.
Sebelum menikah, Sangkuriang berniat untuk pergi berburu. Dayang Sumbi pun membantunya mengenakan ikat kepala. Saat itu, Dayang Sumbi lalu melihat bekas luka pukulannya dulu dan langsung mengenali Sangkuriang.
Dayang Sumbi menceritakan siapa dirinya kepada Sangkuriang dan menolak untuk diperistri anaknya sendiri. Sangkuriang yang dibutakan oleh hawa nafsu tidak percaya pada cerita itu dan tetap berniat meminang Dayang Sumbi.
Melihat kegigihan Sangkuriang, Dayang Sumbi akhirnya memberikan syarat pernikahan yang dianggap mustahil. Ia meminta Sangkuriang membendung Sungai Citarum dan membangun sebuah kapal yang besar hanya dalam waktu satu malam. Jika berhasil, maka barulah ia akan menikahi Sangkuriang.
Sangkuriang menyanggupi permintaan Dayang Sumbi. Dengan kesaktiannya, ia memanggil makhluk halus untuk membantunya bekerja. Ketika Dayang Sumbi melihat bahwa Sangkuriang hampir berhasil, ia kembali berdoa kepada dewa meminta pertolongan.
Dayang Sumbi lalu menebarkan kain putih dan memaksa ayam jantan berkokok. Makhluk halus yang mengira hari sudah pagi meninggalkan pekerjaan mereka.
Merasa sudah dicurangi membuat Sangkuriang marah besar. Sangkuriang menendang kapal besar yang sudah dibuatnya sehingga jatuh tertelungkup. Kapal besar ini kemudian menjelma menjadi sebuah gunung, Gunung Tangkuban Perahu yang berarti perahu yang tertelungkup.
Karena takut akan kemarahan Sangkuriang, Dayang Sumbi terus berlari dan akhirnya menghilang di Gunung Putri. Sangkuriang yang tidak berhasil menemukan Dayang Sumbi akhirnya menghilang ke alam gaib.
2. Legenda Danau Toba
Ada seorang petani kebun bernama Toba. Setiap hari, Toba bekerja dengan giat di ladangnya. Menanam, mengurusi ladang, serta memanen. Di sela-sela atau di akhir kegiatan berladang, Toba tak jarang pergi ke sungai.
Ketika sedang mencari ikan anehnya, tak satupun ikan yang berhasil dia dapatkan. Sambil menunggu keajaiban, ia berangan, seandainya ia memiliki istri, pastilah ia tak perlu susah payah menunggu tangkapan ikan seperti ini. Toba membayangkan betapa senangnya jika ada seorang istri di rumahnya, yang menyambut ia pulang berladang dan menyiapkan hidangan untuk dinikmati bersama.
Lalu kail yang tadinya bergeming tiba-tiba bergoyang. Toba pun kaget. Ia buru-buru menarik pancingnya. Seekor ikan mas yang besar terangkut di kailnya. Sepanjang perjalanan pulang, Toba kegirangan. Ia membayangkan betapa nikmatnya santapannya hari itu. Seekor ikan besar siap diolah menjadi makanan yang lezat.
Toba menyimpan ikan tangkapannya baik-baik di dapur sementara dia mempersiapkan hal lainnya. Namun betapa terkejutnya Toba, ketika ia kembali ke dapur, ikannya sudah tidak ada. Lebih mengejutkan lagi ketika ada sosok seorang perempuan yang begitu menawan.
Perempuan itu berterima kasih pada Toba. Masih terkejut, Toba berusaha bertanya siapa perempuan itu dan mengapa ia ada di rumahnya. Perempuan itu mengaku bahwa dirinya adalah seorang putri yang dikutuk dewa menjadi seekor ikan yang diselamatkan dari sungai oleh Toba.
Sang putri merasa berhutang budi pada Toba. Sebagai wujud rasa terima kasihnya, sang putri bersedia menjadi istri Toba. Namun ada satu syarat bagi Toba sebelum menjadikannya istri, yaitu merahasiakan asal-usul sang putri dari seekor ikan. Toba tidak keberatan. Lantas keduanya pun menjadi sepasang suami istri.
Waktu berjalan dan sepasang suami istri ini akhirnya dikaruniai seorang anak laki-laki. Anak itu diberi nama Samosir. Samosir menjadi kebanggaan sang ayah terutama sang ibu yang sangat mencintainya.
Namun berbeda dengan sang ayah yang amat rajin dan giat bekerja, Samosir tumbuh menjadi anak pembangkang. Tak jarang kedua orang tuanya dibuat pusing karena tingkah lakunya. Bukan cuma itu, konon nafsu makannya pun juga luar biasa besar. Bahkan sang ayah harus semakin giat berladang demi mencukupi kebutuhan makan anaknya yang luar biasa besar. Sayangnya, Samosir enggan membantu atau bahkan sekadar menemani ayahnya berladang.
Namun berbeda dengan sang ayah yang amat rajin dan giat Saking besarnya cinta Toba pada anaknya, ia sama sekali tak pernah mengeluh. Toba tetaplah seorang pekerja keras yang giat dan rajin. Setiap hari ia pergi ke ladang seharian demi membahagiakan keluarga kecilnya.
Suatu hari, Samosir diminta bantuan oleh ibunya. Di tengah hari yang terik, sang ibu meminta tolong pada Samosir untuk mengantar makan siang ayahnya ke ladang. Tentu saja Samosir tak langsung menurutinya. Sambil bersungut-sungut, ia terpaksa mengiyakan permintaan ibunya.
Sepanjang jalan ia tak berhenti mengeluh. Sambil bermalas-malasan dan berlama-lama di jalan, Samosir merasa kelaparan. Ia membayangkan terus masakan ibunya yang nikmat. Apalagi makanan yang ada di tangannya itu. Dari aromanya saja ia sudah bisa membayangkan kenikmatannya.
Bukannya lekas-lekas diantar ke ayahnya, Samosir malah bolak-balik mengintip bekal makan siang ayahnya. Sampai akhirnya ia tergoda untuk memakannya. Buru-buru ia menghampiri anaknya yang membawa makan siang. Namun betapa terkejutnya Toba ketika membuka bungkusan makan siangnya. Bungkusan itu kosong dan tak nampak sesuap pun nasi untuk ia makan.
Toba langsung menghardik Samosir dengan mempertanyakan kemana makanan untuknya. Samosir mengaku bahwa dirinya tak kuasa menahan lapar di jalan. Amarahnya membuat Toba kelewat melontarkan umpatan pada Samosir. “Dasar anak ikan!” begitu teriaknya pada Samosir.
Rasa jengkel, kesal, dan luapan emosi Toba membuatnya tak sadar bahwa dia sudah mengingkari janjinya pada sang istri. Diiringi tangis dan kesedihan ia cepat-cepat lari menuju rumahnya. Setibanya di rumah, ibunya pun kaget mendapati anaknya menangis. Samosir langsung memeluk sang ibu dan mengadukan perkataan ayahnya.
Betapa kaget dan sedihnya sang ibu melihat perasaan anaknya terluka oleh perkataan ayahnya sendiri. Ditambah perkataan Toba pada sang anak juga melukai hatinya sebagai istri. Toba telah mengingkari janjinya sebelum menjadikannya istri yakni mengungkap asal-usulnya dari seekor ikan. Dalam rasa marah, sedih, dan kecewa, ia pergi bersama sang anak dari rumah.
Toba yang menyadari ucapannya bergegas pulang dari ladang menuju rumahnya. Namun ia terlambat, sang istri dan anaknya sudah tidak ada di rumah. Saat itu, langit pun diliputi awan gelap. Gemuruh terdengar dari seluruh penjuru. Seakan alam ikut marah karena Toba mengingkari janjinya. Ia berlari tanpa arah. Ke sana-sini ia berusaha mencari istri dan anaknya.
Toba tak berhasil mendapati istri dan anaknya. Keduanya menghilang tanpa jejak. Sementara itu, sang putri yang pergi bersama Samosir, sang anak, sudah mengetahui akan terjadi bencana besar seketika itu juga. Dari langkah-langkah kakinya di tanah yang dipijak, perlahan-lahan keluar air terus-menerus. Sambil terus pergi menjauh, ia berusaha menyelamatkan sang anak. Ia menyuruh Samosir untuk pergi ke daratan paling tinggi di desa itu. Keduanya berpisah dalam rasa sedih yang teramat dalam.
Sang putri terus berlari tapi air terus keluar dari tanah yang iya pijak hingga akhirnya memenuhi seluruh penjuru desa. Air tak terbendung lagi. Dengan cepat seluruh desa tenggelam. Sang putri kembali menjadi ikan. Saking besarnya luapan air, daratan luas tersebut berubah menjadi danau. Danau itulah yang kini kita kenal sebagai Danau Toba. Dataran tinggi yang berhasil menjadi tempat Samosir menyelamatkan diri lantas menjadi Pulau Samosir.
3. Legenda Kebo Lawa
Dikisahkan di suatu desa di Pulau Bali. Pada suatu waktu, hiduplah sepasang suami istri yang rukun dan berkecukupan. Namun, kebahagiaan kurang lengkap mereka rasakan. Bertahun-tahun menikah, mereka belum juga dikaruniai keturunan. Setiap hari, mereka tak henti berdoa kepada Sang Hyang Widhi Wasa (sebutan untuk Tuhan dalam agama Hindu) agar diberi seorang anak. Hingga suatu hari, doa mereka didengar. Sang istri mengandung dan melahirkan seorang bayi laki-laki.
Bayi itu ternyata istimewa, karena pertumbuhannya yang sangat cepat. Meski masih bayi, porsi makannya menyerupai orang dewasa. Sampai kebutuhan pangannya turut ditanggung warga desa. Lama-kelamaan, besar tubuhnya melebihi ukuran orang dewasa. Lantas, orang-orang memanggilnya dengan sebutan Kebo Iwa yang berarti “paman kerbau.”
Selain nafsu makannya, Kebo Iwa juga terkenal akan sifatnya yang pemarah. Jika keinginannya tidak terpenuhi, Kebo Iwa akan merusak lingkungan sekitarnya. Kebo Iwa bisa menghancurkan rumah warga, bahkan tak segan merusak pura ketika merasa makanannya kurang. Tentu saja hal ini semakin meresahkan warga desa.
Meski begitu, Kebo Iwa sebetulnya dapat diandalkan. Karena tubuh dan tenaganya yang besar, Kebo Iwa kerap dimintai pertolongan untuk mengangkut batu, meratakan tanah, memindahkan bangunan, membendung sungai, hingga menggali sumur. Semua itu Kebo Iwa kerjakan karena imbalan yang disiapkan warga desa baginya, yaitu makanan yang berlimpah.
Suatu hari, warga menemui Kebo Iwa yang sedang asyik menyantap makanan yang disiapkan untuknya. Para warga menyampaikan keluh kesah mereka, bahwa banyak rumah warga yang rusak akibat ulah Kebo Iwa ketika mengamuk. Kebo Iwa bersikeras bahwa itu terjadi karena kesalahan penduduk desa yang tidak memberi makanan yang cukup untuknya.
Warga desa berkata bahwa kekurangan makanan itu terjadi karena gagal panen akibat air yang tidak lagi tersedia di musim kemarau yang berkepanjangan. Tetapi, jika Kebo Iwa bisa membuatkan sumur yang besar, pertanian akan kembali subur. Air dari sumur itu akan digunakan warga untuk mengairi sawah-sawah dan lahan pertanian, sehingga tak ada lagi gagal panen dan bahan pangan berkecukupan. Jika sanggup membuatkan sumur besar tersebut, warga meyakinkan Kebo Iwa bahwa mereka akan memberinya makanan seberapa pun banyaknya.
Membuat sumur adalah hal kecil bagi Kebo Iwa. Ia pun menyetujuinya, bahkan semakin semangat mendengar permintaan tolong penduduk desa. Ia tidak sabar membayangkan betapa puas dirinya dengan makanan yang berlimpah.
Setelah bekerja, Kebo Iwa akhirnya kelelahan dan beristirahat untuk makan. Warga rupanya sudah menyiapkan makanan yang banyak bagi Kebo Iwa, dan hal itu membuatnya sangat senang. Tidak menunggu lama, Kebo Iwa langsung menyantap seluruh makanan di depannya. Kekenyangan, Kebo Iwa mengantuk luar biasa dan tertidur pulas hingga mendengkur di dalam sumur hasil galiannya.
Tidurnya Kebo Iwa adalah waktu yang ditunggu-tunggu warga desa untuk menjalankan siasat yang telah disiapkan. Kepala desa memerintahkan warga untuk melempar batu-batu kapur besar yang sudah disiapkan ke dalam galian sumur Kebo Iwa. Ketika warga beramai-ramai melemparkan batu ke lubang tersebut, Kebo Iwa tetap tertidur nyenyak dan tidak menyadari hal yang dilakukan warga.
Air dari dalam tanah terus keluar mengisi galian sumur. Batu-batu kapur pun semakin memenuhi galian tersebut. Kebo Iwa yang tertidur di dalamnya sontak tersedak dan terkejut menyadari hal yang terjadi. Malang, ketika Kebo Iwa bangun semuanya sudah terlambat. Rasa kenyang ditambah air dan bebatuan yang memenuhi galian sumur membuatnya tidak sanggup keluar dari sumur dan menyelamatkan diri. Kebo Iwa menjadi tidak berdaya dan akhirnya mati terkubur di dalam galiannya sendiri.
Celakanya, air dari dalam galian terus-menerus keluar sampai meluap dan membanjiri desa dan area sekitar. Akibat banjir, warga akhirnya kehilangan harta benda, sawah, ladang, hewan ternak, dan rumah. Semua terburu-buru mengungsi ke tempat yang lebih tinggi tanpa dapat menyelamatkan banyak barang.
Beberapa desa yang tenggelam itu kemudian membentuk sebuah danau besar. Danau itu kini dikenal dengan nama Danau Batur. Timbunan tanah hasil galian Kebo Iwa yang menumpuk kemudian membentuk sebuah gunung yang sekarang dikenal dengan nama Gunung Batur.
4. Legenda Watu Maladong
Alkisah ada seorang petani yang tinggal sendirian di Pulau Sumba. Ia rajin merawat kebunnya hingga sehat nan subur. Betapa kagetnya petani saat suatu pagi menemukan kebun kesayangannya porak-poranda. Setelah ditelusuri, ia menemukan jejak babi hutan, meski rasanya tak mungkin karena kebun miliknya dikelilingi pagar yang tinggi.
Rasa penasaran dan kesal membuat petani memutuskan mengintai kebunnya untuk menangkap basah pelaku perusak. Tak lupa ia membawa tombak sakti pemberian turun-temurun dari leluhur, Numbu Ranggata. Tanpa sang petani tahu, tombak ini bisa memecah langit menjadi petir yang akan menyerang lawan sang pemilik. Namun di tangannya, tombak itu hanyalah sebilah senjata runcing biasa.
Hari semakin malam, setelah lama menunggu akhirnya ia memergoki kawanan babi hutan yang menyerang kebunnya. Benar saja, tak seperti babi hutan biasa yang akan putar balik saat melihat pagar, jenis satu ini malah melompati pagar dengan mudahnya.
Kaget sekaligus panik, petani langsung melempar tombak ke seekor babi hutan yang berjarak paling dekat dari tempat persembunyiannya hingga menancap di bagian perut sebelah kanan. Babi hutan itu mengerang kesakitan dan kabur dengan begitu cepat sekaligus membuat kawanannya kaget.
Petani merasa percuma mengejar babi hutan itu di malam hari, tapi ia harus mendapatkan tombaknya kembali agar tidak terkena kutukan leluhur. Saat matahari mulai terbit, petani segera mengikuti jejak kaki dan darah babi hutan yang kabur bersama tombak warisannya.
Sang petani jauh-jauh mengikuti jejak si babi hutan hingga sampai ke tepi pantai. Namun anehnya, jejak itu hilang begitu saja. Pikirnya, itu mustahil. Karena berarti para babi hutan itu terbang atau berenang ke pulau seberang, saat salah satu di antaranya luka berat. Tapi tak ada tubuh babi tergeletak di sepanjang perjalanan sang petani menelusuri jejak. Artinya, babi yang terluka itu pasti ikut menyeberang.
Masih termangu, tiba-tiba terdengar suara besar dari belakang petani menanyakan kenapa dia terlihat bingung. Saat menengok, mengangalah mulut petani mengetahui yang berbicara adalah sosok siluman penyu setinggi tebing. Sambil gemetar, ia pun menanyakan kepada siluman penyu mengenai komplotan babi hutan yang sedang dicarinya. Untuk menjawab pertanyaannya, siluman penyu meminta petani naik ke atas punggungnya untuk menyeberang ke pulau lain. Meski ragu, sang petani pun menurutinya. Ternyata rasa takutnya pada kutukan leluhur lebih besar daripada sekadar berinteraksi dengan siluman.
Sesampainya di pulau seberang, siluman penyu mempersilakan petani turun dan menyelesaikan tujuannya. Jika nanti memerlukan bantuan lagi untuk pulang, petani tinggal naik ke atas pohon kelapa dan memanggil siluman penyu sekencang-kencangnya, ia akan datang. Maka berpisahlah mereka setelah petani mengucapkan terima kasih.
Tak tahu harus mulai dari mana, petani menuju ke satu-satunya pondok di pesisir pantai. Di sana ia bertemu dengan tuan rumah seorang wanita tua yang tinggal sendirian. Pikirnya jika komplotan babi itu menyeberang dengan siluman penyu setiap malam, pasti nenek sempat melihat mereka sesekali.
Benar saja, nenek mengatakan jika babi hutan yang dikisahkan oleh sang petani memang berasal dari pulau tempat tinggalnya. Namun itu bukan babi hutan biasa, melainkan sekelompok orang berilmu yang bisa berubah bentuk. Mereka pergi ke pulau seberang untuk mencuri dan memperkaya diri. Hingga kini menjadi komplotan paling berkuasa di pulau itu.
Nenek memperingatkan bahwa mereka sungguh sakti, tak mungkin petani bisa mendapatkan Numbu Ranggata dengan mudah. Tapi nenek bersedia mengajarkan beberapa jurus yang bisa membantu petani dalam perjalanannya. Ternyata nenek adalah petarung sakti yang memilih untuk menyepi. Dia merasa hari tuanya lebih berguna jika bisa mengajar bela diri pada murid pilihannya.
Beberapa hari berlalu hingga petani menguasai sedikit jurus nenek yang diturunkan padanya. Sebelum melanjutkan perjalanan, nenek memberi ramuan ajaib buatannya dan petuah untuk meminta imbalan Numbu Ranggata dan batu sakral Watu Maladong pada babi hutan yang ia lukai. Katanya Watu Maladong lebih baik jika dimiliki orang jujur seperti petani.
Bertolaklah petani ke desa terdekat, tempat para babi hutan incarannya tinggal. Setelah mendapat pekerjaan di salah satu rumah warga, ia mendengar perbincangan mengenai Kepala Desa yang terluka parah di bagian perut tetapi lukanya tak kunjung menutup. Setiap hari darah segar mengalir hingga Kepala Desa selalu mengerang kesakitan.
Mendengar omongan warga, petani yakin jika Kepala Desa itu adalah babi hutan yang berhasil ia lukai tempo hari. Petani segera menuju ke rumah Kepala Desa untuk mengambil kembali Numbu Ranggata. Sesampainya, petani langsung bertanya apakah luka di perut Kepala Desa berasal dari tikaman tombak. Pertanyaan ini membuat Kepala Desa dan pengikutnya kaget, karena tak ada seorang pun dari mereka yang membocorkan kejadian malam itu. Karena pertanyaannya, sang petani dianggap sebagai dukun sakti dan dimohon segera mengobati Kepala Desa yang sudah tak berdaya.
Sesuai petuah nenek, sebelum memberi ramuan yang nenek buatkan, petani lebih dulu meminta imbalan tombak yang melukai Kepala Desa dan Watu Maladong. Permintaan ini dianggap Kepala Desa berlebihan, tetapi ia sudah putus asa. Akhirnya Kepala Desa setuju dan terjadilah perjanjian sakral antar keduanya.
Ajaib! Ramuan nenek berhasil menyembuhkan perut Kepala Desa segera setelah dioleskan. Kepala Desa dan pengikutnya langsung kegirangan. Sambil menyerahkan Numbu Ranggata, Kepala Desa bertanya bagaimana petani bisa mengetahui kejadian rahasia itu. Petani yang sudah memegang tombak leluhur warisannya kemudian mengaku bahwa ia yang menghujam Kepala Desa dengan tombak itu beberapa hari yang lalu.
Merasa dibodohi, Kepala Desa murka bukan main! Tapi di sisi lain ia sudah membuat perjanjian sakral yang tak boleh diingkari. Demi mempertahankan harga dirinya, Kepala Desa mengajak petani bertarung. Jika petani menang, ia akan mendapatkan Watu Maladong.
Petani menang dan Kepala desa mengakui kehebatannya. Ia pun menyerahkan Watu Maladong karena menganggap petani bisa menjaganya. Kepala Desa menjelaskan jika batu Watu Maladong ada tiga butir. Dua butir berjenis laki-laki yang akan memberi padi dan jagung. Satu butir lainnya berjenis perempuan dan akan memberi jewawut, tanaman serealia yang biasa dikenal juga dengan nama sekoi. Ketiganya bersama-sama akan memanggil sumber air yang tidak pernah habis.
Segera petani memberikan tugas Watu Maladong untuk mencari sumber air. Ketiga batu pun berkeliling sambil membentuk empat mata air yakni mata air Nyura Lele di Tambolaka, mata air Weetebula di desa Weetebula, mata air Wee Muu di perbatasan Wewewa Barat dan Wewewa Timur, serta mata air Weekello Sawah di dalam gua alam daerah Wewewa Timur.
Selanjutnya, petani menugaskan Watu Maladong menumbuhkan sumber daya alam. Berpencarlah ketiganya menumbuhkan ladang padi, jagung, dan jewawut di beberapa kawasan Pulau Sumba. Setelah selesai, mereka kembali pada tuannya.
Dirasa telah cukup memberi keajaiban pada alam setempat dan sekitarnya, nenek menyarankan agar batu-batu itu berpencar sehingga tidak bisa dicuri orang. Akhirnya petani menyuruh ketiganya mencari tempat aman dan bersembunyi selamanya. Konon, satu batu laki-laki penumbuh jagung memilih bersembunyi di Bondo Kodi, sedangkan dua lainnya di dasar laut Samudera Hindia.
5. Legenda Putri Tadampali
Alkisah, di Sulawesi Selatan berdirilah sebuah kerajaan yang dipimpin oleh seorang raja yang bijaksana bernama Datu Luwu. Rakyat Luwu hidup berdampingan dengan sejahtera, aman, dan tenteram.
Datu Luwu dikaruniai seorang keturunan bernama Putri Tadampali. Kabar tentang paras cantiknya tersebar ke seluruh pelosok negeri, tak terkecuali ke telinga Raja Bone. Mendengar berita ini, Raja Bone yang juga memiliki putra yang gagah dan tampan, memutuskan untuk menikahkan putranya dengan Putri Tadampali.
Dengan tekad yang kuat, Raja Bone kemudian mengutus para duta kerajaan untuk mendatangi Kerajaan Luwu dan meminang Putri Tadampali. Namun, ketika pinangan tersebut sampai, Datu Luwu justru menjadi bimbang. Adat istiadat Luwu tidak memperbolehkan seorang putri untuk menikah dengan lelaki di luar sukunya.
Namun, jika menolak pinangan Raja Bone, Datu Luwu khawatir akan muncul peperangan antara dua kerajaan. Setelah menimbang-nimbang keputusan besar ini dengan baik, dan untuk menghindari pertumpahan darah dan mengorbankan rakyatnya, pinangan Raja Bone pun akhirnya diterima Datu Luwu. Duta dari kerajaan Bone kembali untuk menyampaikan berita bahagia tersebut kepada sang raja.
Tidak lama setelah itu, Kerajaan Luwu digemparkan oleh sebuah kejadian tidak terduga. Sekujur tubuh Putri Tadampali mendadak dipenuhi oleh bintik-bintik yang mengeluarkan cairan kental dan berbau tidak sedap. Seluruh tabib didatangkan dari pelosok negeri untuk memulihkan putri kesayangan Datu Luwu. Malangnya, hasilnya berbuah nihil. Tidak ada tabib yang sanggup mengobati Putri Tadampali meski sudah diupayakan sekuatnya. Mereka justru menyampaikan bahwa penyakit putri adalah penyakit menular.
Khawatir penyakit ini tertular ke seluruh rakyatnya, dengan berat hati Datu Luwu memutuskan untuk mengasingkan Putri Tadampali ke tempat yang jauh. Meski merasa sedih, Putri Tadampali tetap patuh pada keputusan ayahnya dan bersedia diasingkan demi kebaikan orang banyak. Sebelum berangkat, Datu Luwu memberi sebuah keris pusaka sebagai tanda cintanya pada sang putri. Ia berharap keris tersebut dapat menjadi pengingat bahwa ia tidak akan pernah melupakan sang putri.
Setelah lama berlayar, Putri Tadampali dan para pengawal setianya akhirnya berlabuh di sebuah pulau. Pulau ini diberi nama Wajo oleh sang putri karena banyaknya buah wajo yang tersebar di sekitar pulau.
Suatu hari, saat Putri Tadampali sedang menghabiskan waktu di tepi danau, seekor kerbau buleng (putih) datang menghampirinya. Kerbau tersebut kemudian menjilati kulitnya. Karena tampak jinak, Putri Tadampali tidak mengusir kerbau dan membiarkannya menjilati kulitnya.
Sungguh ajaib, setelah beberapa saat, kulit Putri Tadampali yang dijilati kerbau berangsur-angsur pulih dan kembali mulus seperti sediakala tanpa tersisa satu bercak pun. Sebagai tanda syukur, sang putri berpesan kepada para pengawalnya untuk tidak menyembelih apalagi memakan kerbau putih yang ada di Pulau Wajo.
Karena sudah terlanjur jatuh cinta kepada Putri Tadampali, Putra Mahkota menjadi sering termenung setelah kembali ke Kerajaan Bone. Ia selalu teringat akan pertemuannya dengan sang putri. Memperhatikan kelakuan Putra Mahkota, Panglima Kerajaan Bone yang menyaksikan langsung pertemuan Putra Mahkota dengan Putri Tadampali di Pulau Wajo, menceritakan tentang hal ini kepada Raja Bone. Raja Bone pun setuju dengan usulan panglima dan mengirim utusan untuk meminang Putri Tadampali di Pulau Wajo sebagai istri Putra Mahkota.
Setibanya di Pulau Wajo, Putri Tadampali memberikan keris pusaka pemberian sang ayah kepada para utusan dan meminta Putra Mahkota untuk mendapatkan restu ke Kerajaan Luwu terlebih dahulu. Jika keris tersebut diterima dengan baik oleh Datu Luwu, berarti pinangan diterima. Putra Mahkota pun berangkat sendiri menuju Kerajaan Luwu.
Sesampainya di Kerajaan Luwu, Putra Mahkota menceritakan pertemuannya dengan sang putri kepada Datu Luwu. Ia menceritakan kabar tentang pulihnya penyakit Putri Tadampali dan niatnya untuk menjadikan sang putri istrinya. Melihat ketulusan hati dan besarnya minat Putra Mahkota untuk meminang putrinya, Datu Luwu pun memberikan restunya dan menerima keris pusaka yang diberikan oleh Putri Tadampali dengan senang hati.
Bersama dengan sang Putra Mahkota, Datu Luwu dan Permaisuri kemudian berangkat menuju Pulau Wajo untuk menjumpai putri tercinta. Setibanya di sana, Datu Luwu meminta maaf kepada sang putri karena telah mengasingkannya. Tapi, Putri Tadampali justru memanjatkan syukur karena dapat menyelamatkan rakyat Luwu dari penyakit menular yang menimpa dirinya dan mendapatkan kesembuhan di Wajo.
Putri Tadampali akhirnya melangsungkan pernikahan dengan Putra Mahkota Bone di Wajo. Semua yang hadir, termasuk keluarga dari Kerajaan Luwu dan Kerajaan Bone merayakannya dengan sukacita. Beberapa tahun kemudian, Putra Mahkota didaulat untuk naik tahta dan menggantikan ayahnya sebagai pemimpin Kerajaan Bone.
6. Legenda Putri Mandalika
Alkisah berdirilah kerajaan yang menghadap ke hampar Samudra Hindia, Kerajaan Sekar Kuning di negeri Tonjeng Beru. Sang raja, Raden Panji Kusuma juga dikenal dengan sebutan Tonjeng Beru, memiliki istri bernama Dewi Seranting. Keduanya terkenal rupawan, mereka pun hidup harmonis dan memerintah dengan bijaksana hingga rakyat hidup sejahtera.
Hari yang dinanti tiba, raja dan ratu dikaruniai keturunan. Seorang putri berparas cantik yang diberi nama Mandalika. Melihat sikap sehari-hari orang tuanya, Putri Mandalika tumbuh menjadi gadis santun, rendah hati, dan sangat menyayangi rakyat. Ia bahkan rela membantu warga dengan tangannya sendiri, tanpa memikirkan jika dirinya adalah seorang ningrat. Tak heran jika Putri Mandalika juga dicintai rakyat hingga selalu dibanggakan sampai ke pelosok negeri.
Siapa sangka, cerita dari mulut ke mulut mengenai paras rupawan dan budi baiknya membuat banyak pangeran, dari kerajaan-kerajaan yang dekat maupun jauh, hendak memperistri Putri Mandalika. Mereka menunggu hingga Putri Mandalika cukup umur lalu satu per satu melayangkan pinangannya ke Kerajaan Sekar Kuning. Bersama surat-surat pinangan itu, datang juga pemberitahuan kedatangan para pangeran ke Kerajaan Sekar Kuning untuk memberi hantaran dan memperkenalkan diri.
Sambil menunggu jawaban Putri Mandalika, semua pangeran yang datang dipersilakan tinggal di paviliun tamu kerajaan. Awalnya paviliun itu sepi dan luas, tapi karena terus menerus kedatangan tamu pangeran beserta ajudan-ajudannya, paviliun tamu menjadi ramai dan tidak nyaman. Tak jarang, pangeran-pangeran juga beradu mulut dan saling membanggakan kerajaan mereka. Aura persaingan terasa sepanjang hari.
Suatu malam, Putri Mandalika datang ke paviliun tamu secara rahasia. Ia ingin melihat para pangeran yang melamarnya. Namun tak disangka saat kedatangannya itu, yang terlihat bukan karisma para pangeran yang menemui ayahnya di aula, melainkan sikap sombong dan kekanak-kanakan para pangeran yang sedang memuji diri sendiri dan merendahkan kerajaan lain. Ada juga yang akan mengajukan perang pada Kerajaan Sekar Kuning jika sampai cintanya ditolak.
Kecewa dengan apa yang disaksikannya, Putri Mandalika kembali ke kediamannya sambil menitikkan air mata.
Kini Putri Mandalika bukan hanya bingung, ia pun takut salah mengambil keputusan. Ternyata lamaran-lamaran itu bukan hanya tentang dirinya, tetapi juga tentang peperangan antar suku.
Tak bisa dimungkiri, raja dan ratu pun merasakan kebingungan serupa. Keduanya menyarankan Putri Mandalika untuk meminta petunjuk pada Sang Maha Pencipta. Jawaban apapun yang Putri Mandalika dapatkan, raja dan ratu akan menerima dan mendukungnya.
Bertolaklah Putri Mandalika untuk bersemedi di tebing Pantai Seger untuk mendapatkan jawaban yang dicarinya.
Setelah tiga hari bersemedi, Putri Mandalika mengundang para pangeran untuk datang ke tebing Pantai Seger saat fajar pada hari ke-20 bulan 10. Pilihan waktu ini dianggap janggal, hingga membuat banyak orang penasaran. Berita ini juga terdengar hingga ke telinga rakyat Kerajaan Sekar Kuning dan kerajaan sekitar.
Hari yang ditunggu tiba, kawasan Pantai Seger kini dipadati penduduk yang ikut penasaran akan jawaban Putri Mandalika. Saat sinar matahari menyinari dirinya, Putri Mandalika mengatakan dengan lantang jika ia menerima semua pinangan para pangeran. Pernyataan putri membuat bingung semua orang! Katanya, jawaban itu adalah yang terbaik yang ditunjukan Sang Maha Pencipta. Putri Mandalika diperlihatkan pandangan jika menerima hanya satu saja pinangan, perang besar akan terjadi.
Ia pun mengucap terima kasih atas pinangan dan kasih sayang semua orang padanya. Kemudian Putri Mandalika membalik badan menghadap ke samudra, lalu melompat ke lautan disambut ombak besar yang menelan tubuhnya.
Melihat putri kesayangan jatuh ke laut, raja segera menceburkan diri ke air untuk mencari anaknya. Diikuti oleh para pangeran dan seluruh rakyat yang berkumpul di Pantai Seger. Namun dari ratusan orang yang mencari, tak ada satupun yang menemukan tubuh Putri Mandalika.
Yang terlihat di dalam air malah ribuan biota laut serupa pita yang menjuntai berwarna-warni. Warnanya sama dengan kain sutra yang dikenakan Putri Mandalika, hingga banyak orang yang terkecoh dan menangkapnya.
Raja dan ratu akhirnya menyadari, jika cacing-cacing berwarna indah itu adalah jelmaan putrinya yang telah berkorban demi rakyat. Akhirnya, raja dan ratu memerintahkan rakyat untuk mengumpulkan cacing-cacing itu dan membawanya pulang. Sebagian menaruhnya di sawah dan membuat tanaman mereka subur, sebagian lainnya membuat masakan dari cacing-cacing yang mereka sebut nyale sehingga kebutuhan pangan mereka selalu tercukupi dan sejahtera, seperti keinginan Putri Mandalika.
7. Legenda Batu Menangis
Alkisah di atas sebuah bukit, jauh dari pemukiman penduduk di Kalimantan Barat, hiduplah ibu bersama anak perempuannya. Suaminya sudah lama meninggal tanpa mewariskan harta berarti. Kehidupan menjanda di umur cukup tua tak meninggalkan ibu banyak pilihan. Ia tak mungkin menikah lagi, jadi ibu harus berusaha sendiri untuk menghidupi anak perempuan kesayangannya, Darmi.
Setiap hari ibu bekerja keras. Mengurus kebun sayur sejak pagi buta: menanam bibit, menyiram, memberi pupuk, menyiangi semak, memanen, dan menjual hasil panen ke pasar. Belum lagi mengurus anak yang masih kecil, juga mencari kayu bakar untuk memasak. Kulit ibu yang awalnya cerah, lama-lama menggelap karena terpapar sinar matahari. Berat badannya menyusut, ibu tak memiliki waktu untuk mengurus dirinya sendiri.
Harapan ibu, Darmi bisa hidup bahagia, tak seperti dirinya. Maka Darmi pun dimanja; penuh kasih sayang. Darmi tumbuh menjadi gadis cantik! Kulitnya kuning langsat, tubuh semampai, paras memesona, dan rambutnya hitam legam panjang terurai. Darmi juga selalu mengenakan baju indah dan aksesori mentereng. Berbeda dari ibu yang sudah lama tak membeli barang untuk diri sendiri. Ia sudah tua, pikirnya. Tak memerlukan lagi semua hal itu.
Tapi Darmi masih muda dan suka bergaul. Darmi pun selalu senang jika dibelikan baju baru, aksesori, dan alat berhias. Lama kelamaan, hanya benda-benda itu yang ada di benaknya. Darmi senang sekali bercermin sambil menyisir rambutnya. Ia sadar, kalau dirinya sangat cantik. Tapi hanya itu pula yang Darmi lakukan. Mengagumi diri sendiri sepanjang hari, saat ibu bekerja keras di kebun.
Suatu hari sisir semata wayang Darmi patah, membuatnya uring-uringan sepanjang hari. Ia mau mendapatkan sisir baru! Harus lebih cantik dari sisir lamanya. Tapi Darmi tak percaya selera ibu. Lagian jika ikut ke pasar ia bisa melihat aksesori cantik dan mungkin mendapatkannya juga. Akhirnya Darmi memutuskan ikut ibu, yang memasok sayur ke pasar, turun bukit.
Darmi yang takut kulitnya terkena sinar matahari, membawa daun besar sebagai payung. Sedangkan ibu menarik gerobak berisi sayur dengan tubuh rentanya. Satu, dua orang melewati mereka sambil memberi pandangan sinis. Di benak Darmi, itu karena orang merendahkannya, perihal memiliki ibu dengan penampilan bak pengemis. Kurus dan lusuh!
Darmi mengambil langkah cepat, meninggalkan ibu di belakang, sehingga orang tak tahu wanita penarik gerobak itu adalah ibunya. Tak disangka, Darmi bertemu kawan di perjalanan. Mereka berbincang hingga ibu sampai. Ibu bertanya siapa anak muda yang berbicara pada Darmi, berharap dikenalkan. Tapi Darmi malah memperkenalkan ibu sebagai pembantunya. Hati ibunya pun terasa hancur mendengar perkataan anaknya. Ia menahan tangis dan tak mampu berkata-kata. Tahu ibunya diam dan menerima dibilang pembantu, Darmi mengulangi kata-katanya tiap ada orang menyapa.
Kecantikan Darmi membuatnya banyak disapa pemuda di pasar, sampai ada yang mau mengantarkan pulang. Bagaimanapun, ibu khawatir akan keselamatan Darmi. Ibu mengikuti Darmi dari belakang untuk menjaganya. Darmi terlihat asik sekali mengobrol dengan komplotan pemuda yang “katanya” mau mengantar pulang itu.
Makin lama pemuda-pemuda makin mendekat ke putri ibu! Sehingga ibu harus memperingati Darmi dengan memanggilnya. Sontak para pemuda ikut menengok, lalu bertanya pada Darmi; memastikan apa yang memanggil itu adalah ibunya. Kali ini Darmi tertawa. Mengatakan bagaimana mungkin wanita yang terlihat seperti gembel itu adalah ibunya. Darmi bilang ia berasal dari keluarga berada, ibunya cantik dan sedang menunggu di rumah. Darmi menambahkan, wanita itu adalah pekerja rendah di kediamannya. Maka para pemuda ikut tertawa, menyadari betapa konyol pertanyaan tadi.
Cukup sudah, ibu tak kuat lagi! Ia melepas gerobak yang dipegangnya lalu bersimpuh ke tanah. Sakit hatinya, ibu pun menangis. Ia keluarkan semua tangis yang selama ini tertahan seraya meminta pertolongan Tuhan meminta mengakhiri sakit hati, lelah, dan doanya yang sia-sia meminta kebahagian untuk si anak durhaka.
Langit berubah gelap, angin berhembus kencang. Ternyata Tuhan mendengar doa ibu. Darmi yang masih dikelilingi para pemuda tiba-tiba merasa kakinya kaku dan berat. Seketika Darmi menyadari, ia terkena kutuk karena perbuatannya pada ibu. Saat tubuhnya semakin berat, Darmi menangis ketakutan. Saking beratnya, tubuh Darmi tertarik ke tanah. Kini ia bersimpuh, menangis makin kencang.
Kakinya berubah menjadi batu, lanjut ke pinggulnya. Darmi makin ketakutan, ia memanggil-manggil ibu. Meminta maaf dan berjanji tak akan mengulangi perbuatannya. Ibu hanya bisa melongo, lalu menghampiri putrinya yang separuh menjadi batu. Keduanya hanya bisa menangis bersama, hingga akhirnya Darmi berubah sepenuhnya menjadi batu. Anehnya, dari dalam batu Darmi tetap keluar air mata hingga beberapa lama.
Oleh para pemuda, batu itu dipindah ke sisi tebing. Menghadap ke langit agar Darmi tak kesepian. Penduduk sekitar kemudian menyebutnya sebagai Batu Menangis.
8. Legenda Pesut Mahakam
Alkisah di sebuah desa di sekitar Sungai Mahakam, Kalimantan Timur, hidup sepasang suami istri yang begitu mencintai satu sama lain. Keduanya dikaruniai seorang anak laki-laki dan seorang anak perempuan. Mereka hidup bahagia dan harmonis hingga sang Ibu terkena penyakit. Meski telah berusaha mengobati sebisa mungkin, kondisi Ibu tak kunjung membaik dan akhirnya meninggal dunia.
Kepergian Ibu menjadi pukulan besar bagi keluarga, terutama Ayah yang sangat mencintainya. Sepeninggal Ibu, Ayah banyak menghabiskan waktu dengan menangis dan melamun. Ia tak peduli lagi pada persediaan kayu bakar yang semakin menipis, ladang yang mengering, bahkan anak-anaknya. Bukan hanya rumah yang tak terurus, namun juga diri mereka sendiri. Ayah terlihat lusuh, anak-anak pun semakin kurus.
Di awal musim panen, penduduk desa mengadakan pesta perayaan untuk mensyukuri hasil yang mereka dapatkan. Teman-teman Ayah berusaha menghibur dan mengajaknya ke pertunjukan kesenian di mana ia melihat seorang penari yang menarik hatinya.
Paras cantik dan keindahan tariannya membuat Ayah terus kembali untuk menonton pertunjukan Sang Penari setiap malam. Untuk menarik perhatian Sang Penari, Ayah pun berusaha tampil lebih gagah, mengenakan pakaian terbaiknya, dan merapikan diri.
Akhirnya pada hari ketujuh, Ayah memberanikan diri untuk mengajak Sang Penari mengobrol. Hubungan mereka terus berlanjut karena ternyata Sang Penari juga tertarik padanya. Ayah pun jatuh hati kepada Sang Penari tanpa peduli tentang latar belakangnya yang tak ia ketahui.
Tak lama kemudian, Ayah dan Sang Penari pun menikah. Setelah menikah, Ayah seperti menemukan semangat baru. Ia merasa keluarganya kembali lengkap dan menjadi rajin bekerja agar bisa menyenangkan istri barunya.
Semakin lama, tugas yang diberikan Ibu tiri semakin tak masuk akal. Ibu tiri meminta anak-anak mencari kayu bakar ke hutan, sebuah pekerjaan berat yang biasanya hanya dilakukan oleh lelaki dewasa. Mereka diminta pergi tanpa makan terlebih dahulu, dan tak diizinkan pulang sebelum mendapat kayu satu keranjang penuh. Meski berhasil melakukan tugas ini, sesampainya di rumah anak-anak tetap hanya diberikan makanan sisa.
Esoknya, Ibu tiri kembali meminta anak-anak mencari kayu bakar. Kali ini harus dua kali lipat banyaknya! Lagi-lagi, mereka tak diizinkan makan terlebih dahulu, juga tak boleh pulang jika belum berhasil mengumpulkan kayu bakar. Saat malam tiba, keduanya baru berhasil mengumpulkan satu keranjang kayu bakar. Tahu akan dimarahi jika pulang sebelum berhasil, anak-anak pun memutuskan untuk bermalam di hutan dengan perut kelaparan.
Di pagi hari, anak-anak segera bangun untuk mencari satu keranjang lagi kayu bakar agar bisa segera makan di rumah. Hari semakin siang, keduanya pun merasa semakin lapar sehingga akhirnya jatuh pingsan. Saat sadar, anak-anak sudah berada di bawah pohon rindang di area yang penuh dengan buah-buahan. Tanpa berpikir panjang, anak-anak langsung makan hingga kekenyangan. Setelahnya, anak-anak lanjut menyelesaikan tugas mencari kayu bakar lalu segera pulang.
Sesampainya di rumah, anak-anak terkejut melihat rumah yang kosong. Bukan hanya orang tua mereka yang menghilang, tapi juga hampir semua barang di dalamnya. Ternyata selama mencari kayu, Ayah dan Ibu pindah dari rumah itu. Karena panik dan tak tahu harus berbuat apa, anak-anak hanya bisa menangis. Setelah lebih tenang, anak-anak memutuskan untuk menjual semua kayu bakar yang tersisa pada tetangga agar bisa mendapat bekal mencari orang tuanya.
Setelah dua hari perjalanan, sampailah anak-anak di tepian Sungai Mahakam. Di sana terlihat rumah kecil dengan jemuran baju di depannya. Baju itu terlihat seperti punya Ayah! Mereka segera berlari masuk ke dalam rumah, tetapi kosong. Di dalam rumah tercium aroma masakan yang membuat perut anak-anak yang sudah kelaparan pun berbunyi nyaring. Ternyata, aroma lezat itu datangnya dari dapur. Di sana ada sebuah kuali berisi bubur yang sedang dimasak hingga mendidih.
Karena sangat lapar, anak-anak menyendok bubur panas sesuap demi sesuap dan menghabiskannya sampai ke dasar kuali. Setelah makan, suhu tubuh mereka menjadi panas seperti terbakar api. Panik, anak-anak menggunakan semua air di dapur untuk minum dan menyiram tubuh, namun berujung nihil. Mereka melepas semua barang bawaan dan berlari ke luar rumah menuju ke sungai, kemudian langsung melompat ke dalam air.
Di saat yang sama, Ayah dan Ibu tiri sampai ke rumah. Saat masuk ke dapur, semuanya terlihat berantakan. Terlihat barang anak-anak yang sudah berserakan di samping kuali kosong. Ayah lalu menyadari anak-anak datang mencarinya, mereka tidak kabur dari rumah seperti kata Ibu tiri.
Ayah keluar dan mencari anak-anaknya hingga ke tepi sungai, tapi tak menemukan siapapun. Di dalam sungai, Ayah hanya melihat ada dua makhluk seperti ikan berwajah mirip manusia yang menyemburkan air dari kepala mereka. Keduanya berenang berputar-putar seperti senang melihat Ayah.
Ayah menjadi curiga jika kedua makhluk itu adalah anaknya. Ayah berlari ke rumah untuk meminta tolong pada Ibu tiri guna memastikan apa dua makhluk itu benar anak-anaknya. Namun Ayah tak bisa menemukan Ibu tiri di mana pun. Ibu tiba-tiba menghilang begitu saja seperti bukan seorang manusia.
Ayah akhirnya kembali ke sungai, meratapi keadaan anak-anaknya yang telah berubah menjadi ikan dan menyesali perbuatannya yang terlalu percaya semua perkataan istri barunya. Warga sekitar yang mengetahui tentang kisah ini kemudian menamai anak-anak dengan sebutan Pesut Mahakam.
9. Legenda Calon Arang
Di Kerajaan Daha, Kediri, pada masa pemerintahan Raja Erlangga yang arif dan bijaksana, hiduplah seorang janda yang sangat bengis, bernama Calon Arang. Ia tinggal di Desa Girah.
Calon Arang adalah penganut sebuah aliran hitam, yakin kepercayaan sesat yang selalu mengumbar kejahatan dengan memakai ilmu gaib. Ia mempunyai seorang putri bernama Ratna Manggali. Karena putrinya sudah cukup dewasa, Calon Arang tidak ingin Ratna Manggali menjadi perawan tua. Ia pun berusaha mencari cara agar Ratna Manggali segera mendapatkan jodoh dan menikah.
Tetapi, karena sifatnya yang bengis, Calon Arang tidak disukai oleh penduduk Girah. Tak seorang pemuda pun yang berani memperistri Ratna Manggali, putrinya. Hal ini membuat marah Calon Arang. Ia berniat menghukum warga Desa Girah.
“Kerahkan anak buahmu! Cari seorang perawan hari ini juga! Sebelum matahari tenggelam perawan itu harus dibawa ke Candi Durga!” perintah Calon Arang kepada Krakah, seorang anak buahnya.
Krakah segera mengerahkan cantrik-cantrik Calon Arang untuk mencari seorang perawan. Suatu pekerjaan yang tidak terlalu sulit bagi para cantrik Calon Arang.
Sebelum matahari terbit, gadis perawan yang malang itu sudah dibawa ke Candi Durga. Ia berusaha berontak dan meronta-ronta ketakutan.
“Lepaskan aku! Lepaskan aku!” teriaknya.
Lama kelamaan gadis itu pun lelah karena kehabisan tenaga dan jatuh pingsan. Ia kemudian dibaringkan di altar persembahan. Tepat pada tengah malam yang gelap gulita, Calon Arang mengorbankan gadis yang tak berdosa itu untuk dipersembahkan kepada Betari Durga, dewi angkara murka. Setelah membakar dupa, Calon Arang mengucap mantra, lalu menikam jantung gadis tersebut hingga tewas.
Tuah jahat Calon Arang pun menjadi kenyataan. Desa Girah diterjang banjir dari luapan Sungai Brantas. Siapapun yang terkena percikan air Sungai Brantas, ia pasti akan menderita sakit dan menemui ajalnya.
Akibat ulah Calon Arang itu, rakyat semakin menderita. Korban semakin banyak. Pagi sakit, sore meninggal. Tak ada obat yang dapat menanggulangi wabah penyakit aneh itu.
Melihat kejadian tersebut, Prabu Erlangga marah besar. Ia pun menabuh genderang perang untuk melawan dan menangkap Calon Arang. Rakyat sangat gembira mendengar bahwa Calon Arang akan ditumpas. Para prajurit yakin bahwa tugas suci itu akan menjadi bangga dan merasa yakin bahwa tugas tersebut akan berhasil berkat doa restu seluruh rakyat.
Sesampainya di Desa kediaman Calon Arang, ledakan-ledakan menggelegar di antara para prajurit Kerajaan Daha. Mereka tiba-tiba menggelepar-gelepar di tanah, tanpa penyebab yang pasti. Korban pun berjatuhan. Calon Arang mampu merobohkan lawannya dari jarak jauh, maupun tanpa senjata.
Prabu Erlangga pun mencari cara lain untuk mengalahkan calon arang. “Untuk dapat mengalahkan Calon Arang, kita harus menggunakan kasih sayang,” kata Empu Baradah dalam musyawarah kerajaan. “Kekesalan Calon Arang itu disebabkan belum ada seorang pun yang bersedia menikahi putri tunggalnya.”
Empu Baradah kemudian meminta Empu Bahula agar dapat membantu dengan tulus untuk mengalahkan Calon Arang. Empu Bahula yang masih lajang diminta bersedia memperistri Ratna Manggali. Dijelaskan, bahwa dengan memperistri Ratna Manggali, Empu Bahula dapat sekaligus memperdalam dan menyempurnakan ilmunya.
Akhirnya, rombongan Empu Bahula berangkat ke desa Girah untuk meminang Ratna Manggali. Calon Arang pun bahagia. Pernikahan antara Empu Bahula dan Ratna Manggali pun dilangsungkan. Mereka saling mencintai satu sama lain. Di sisi lain, Empu Bahula memanfaatkan suasana tersebut untuk melaksanakan tugasnya.
Empu Bahula pun bertanya kepada istrinya, apa yang menyebabkan Nyai Calon Arang begitu sakti? Ratna Manggali menjawab, bahwa kesaktian Calon Arang terletak pada Kitab Sihir yang ia gunakan.
Empu Bahula segera mencari cara dan mengatur siasat untuk dapat mencuri Kitab Sihir tersebut. Ia pun berhasil, dan kitab itu langsung diserahkan ke Empu Baradah.
Amarah Calon Arang meledak ketika mengetahui Kitab Sihir miliknya lenyap. Sementara itu, Empu Baradah mempelajari Kitab Sihir tersebut dengan tekun. Setelah berhasil, ia pun menantang Calon Arang.
Sewaktu menghadapi Empu Baradah, kedua belaha telapak tangan Calon Arang menyemburkan jilatan api, begitu juga kedua matanya. Empu Baradah menghadapinya dengan tenang. Ia segera membaca sebuah mantra untuk mengembalikan jilatan dan semburan api ke tubuh Calon Arang.
Karena Kitab Sihir sudah tidak ada padanya, tubuh Calon Arang pun hancur menjadi abu dan tertiup angin kencang menuju ke Laut Selatan. Sejak itu, Desa Girah menjadi aman tenteram seperti sedia kala.
10. Legenda Empat Raja
Dahulu, ada cerita tentang sepasang suami istri di tanah Papua yang menanti-nantikan kehadiran anak. Meski tak kunjung diberi, keduanya tetap berdoa pada Tuhan setiap siang dan malam.
Suatu hari, suami istri tersebut pergi ke hutan untuk mencari kayu dan menjadikannya kayu bakar. Keduanya harus bergegas mencari sebelum musim hujan datang karena kayu-kayu di hutan akan menjadi basah dan tidak bisa dibakar. Namun sayang, persediaan kayu yang mereka dapatkan di hari itu masih sangat sedikit untuk menghadapi musim hujan.
Diterpa kelelahan, suami dan istri ini kemudian beristirahat sejenak di tepi sungai yang bernama Sungai Waikeo. Ketika tengah beristirahat, mata sang suami tertuju pada sebuah lubang besar di sisi lain tepi sungai. Sang suami pun mendekati lubang tersebut dan terkejut ketika menemukan enam butir telur besar.
Sang suami memanggil istrinya yang tidak kalah terkejut. Keduanya lantas sepakat membawa pulang telur-telur tersebut. Mereka berpikir bahwa telur-telur ini mungkin bisa dijadikan persediaan makanan untuk dimasak di kemudian hari. Setibanya di rumah, telur-telur tersebut pun disimpan dengan baik.
Keesokan harinya, kejutan lain menyambut suami istri tersebut. Ketika hendak menyiapkan hidangan, telur-telur tersebut justru menetas. Bukannya menetas menjadi unggas atau hewan lain, melainkan menjadi anak manusia.
Dari enam butir telur, empat menetas menjadi anak laki-laki, satu orang anak perempuan, dan yang satu lagi mengeras menjadi sebuah batu. Lima orang anak muncul dalam balutan kain putih yang bersinar. Tatkala, inilah pertanda bahwa mereka diturunkan dari kayangan. Suami istri ini amat senang mendapati anak-anak tersebut dan merasa doanya telah dikabulkan Tuhan. Mereka pun berjanji kepada Tuhan untuk merawat dan membesarkan anak-anak mereka dengan baik. Keempat anak laki-laki diberi nama War, Betani, Dohar, dan Mohamad. Sementara, sang anak perempuan diberi nama Pintolee.
Waktu berlalu, kelima anak tersebut semakin beranjak besar. War, Betani, Dohar, Mohamad, dan Pintolee dikenal sebagai anak-anak yang rajin bekerja dan berbakti. Semakin dewasa, kelimanya semakin giat membantu kedua orang tuanya agar tidak perlu bekerja dengan susah payah. Lahan pertanian yang mereka kerjakan menjadi makmur dan berkembang sampai ke empat pulau besar di sekitar Teluk Kabui. Oleh karena itu, bukan hanya kedua orang tuanya, masyarakat desa dan sekitarnya turut mengagumi kebaikan anak-anak ini.
Tanggung jawab apapun yang diberikan orang tua pada anak-anak selalu dijalankan dengan baik. Kepatuhan pada orang tua dan berguna bagi lingkungan membuat ayah dan ibu kelima anak-anak tersebut sangat bangga. Rasa sayang yang begitu besar pada kelima anaknya membuat sang ayah ingin meninggalkan warisan sebelum ajal menjemputnya. Kemudian, sang ayah mulai menyiapkan sebuah rencana besar untuk War, Betani, Dohar, Mohamad, dan Pintolee.
Di tengah kebahagiaan mereka, terjadi sesuatu yang membuat satu keluarga kecewa. Pintolee jatuh hati dengan seorang pemuda yang tidak disenangi oleh keluarganya. Meski pemuda pilihannya tidak direstui, Pintolee tetap bersikeras untuk melanjutkan hubungannya. Memilih untuk memegang teguh pilihan hidupnya, Pintolee dengan berat hati harus melepas hadiah yang sudah disiapkan ayahnya. Pintolee akhirnya pergi meninggalkan saudara-saudara dan kedua orangtuanya. Pintolee berlayar menaiki cangkang kerang besar yang terdampar hingga membawanya dan pemuda pilihannya di Pulau Numfor.
Meski kabar mengenai Pintolee sudah tersiar ke segala penjuru pulau, masyarakat desa dan sekitar tetap menaruh rasa simpati pada sang ayah dan ibu. Tentu saja, hal ini karena War, Betani, Dohar, dan Mohamad setia menjaga nama baik keluarga dengan mematuhi nasihat kedua orang tua mereka.
Tahun silih berganti, sang ayah semakin beranjak renta. Tibalah hari yang sudah dinantikan sang ayah untuk keempat putranya. Sang ayah memanggil keempat anak laki-lakinya untuk membagikan warisan. Ternyata, masing-masing anak dihadiahkan satu pulau. War diberi Pulau Waigeo, Betani diberi Pulau Salawati, Dohar diberi Pulau Lilinta, dan Mohamad mendapatkan Pulau Waiga. Sang ayah berpesan agar mereka selalu menjaga pulau-pulau tersebut dan segala isinya dengan baik.
Keempat anak-anak tersebut kemudian pergi dan menetap di masing-masing pulau yang telah dipercayakan oleh sang ayah. Semakin hari War, Betani, Dohar, dan Mohamad semakin dikenal sebagai sosok yang tekun dan bijaksana. Hingga sang ayah akhirnya meninggal dunia, keempatnya mampu menaati janji mereka.
Bukan hanya nasihat orang tua, warisannya pun mereka jaga. Masing-masing anak tersebut berkuasa, bahkan menjadi raja atas pulaunya masing-masing. Pulau-pulau tersebut tumbuh subur dan makmur. Penduduk di sekitarnya juga hidup bahagia dan sejahtera. Dari sinilah kemudian lahir nama Raja Ampat. Empat orang raja yang berkuasa atas gugusan pulau yang subur dan sejahtera.
Sementara itu, sebutir telur yang menjadi batu, sampai hari ini masih dirawat dan dijaga oleh penduduk setempat. Batu itu juga diperlakukan oleh masyarakat sekitar layaknya seorang raja. Penduduk memberikan ruangan tempat bersemayam, lengkap dengan dewa penjaga berwujud dua batu tegak atau menhir yang diberi nama Man Moro dan Man Metem di sisi kanan dan kiri pintu masuk.
Batu yang hingga kini masih disimpan di Situs Kali Raja itu diberi nama Batu Telur Raja. Untuk menjaga kesuciannya, batu bernama Kapatnai ini hanya dapat dilihat setahun sekali pada saat upacara penggantian kelambu dan pemandian yang hanya boleh dilakukan oleh keturunan raja.
(shf)