Kisah Kromo Setan dan Huru Hara Laskar Minyak Cepu-Bojonegoro
loading...
A
A
A
SEPAK TERJANG Kromo Setan dan gerakan laskar minyaknya nyaris menjadi cerita legenda perlawanan masyarakat di kawasan ladang minyak peninggalan Belanda di Wonocolo, Kecamatan Kedewan (dulu Kecamatan Kasiman) Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur.
Tidak hanya diingat sebagai gembong laskar minyak yang sulit dibunuh karena terkenal kebal senjata. Dalam memori kolektifnya yang tidak lagi utuh, masyarakat juga masih ingat bagaimana perlawanan laskar minyak tersebut kemudian berakhir dengan penumpasan.
"Nama aslinya tidak ada yang tahu. Dari cerita orang orang tua, tahunya hanya Kromo Setan," tutur Teguh warga setempat yang sehari hari bekerja sebagai buruh tambang minyak. Istilah Kromo umumnya merujuk pada kelas sosial rakyat jelata. Kaum kromo. Mereka yang tidak memiliki alat produksi.
(Baca juga: Biadab! 5 Tahun Gadis di Sampit Dijadikan Budak Seks Ayah Kandungnya )
Yakni para buruh pabrik, buruh tani, termasuk petani kecil yang tidak memiliki tanah luas. Dalam terminologi politik kaum nasionalis, kaum Kromo sering dipersamakan dengan kaum marhaen atau proletar. Lawannya adalah kelas sosial priyayi atau kaum borjuis, pemilik alat produksi.
"Kenapa ada tambahan setan, juga tidak ada yang tahu soal itu," tambah Teguh. Huru hara itu terjadi paska Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945. Meski Soekarno- Hatta sudah mengumandangkan kemerdekaan di Pegangsaan Timur Jakarta, namun situasi politik di republik masih tidak menentu.
Tidak hanya di Jakarta dan sekitarnya. Situasi panas juga menjalar ke sejumlah daerah. Terutama di wilayah Jawa dan Sumatera. Kekisruhan itu dipicu sikap sekutu paska memenangkan Perang Dunia II. Sekutu dengan Belanda yang tergabung di dalamnya, ingin kembali menguasai semua negara jajahan yang sebelumnya dikuasai Jepang.
Dengan membonceng tentara Inggris, Belanda berharap bisa secepatnya kembali menancapkan kuku kekuasaannya di Indonesia. Belanda berkepentingan besar terhadap sumber daya alam, terutama ladang ladang minyak. "Tambang minyak di Wonocolo sendiri sudah ada sejak jaman Belanda," kata Teguh.
Tidak hanya diingat sebagai gembong laskar minyak yang sulit dibunuh karena terkenal kebal senjata. Dalam memori kolektifnya yang tidak lagi utuh, masyarakat juga masih ingat bagaimana perlawanan laskar minyak tersebut kemudian berakhir dengan penumpasan.
"Nama aslinya tidak ada yang tahu. Dari cerita orang orang tua, tahunya hanya Kromo Setan," tutur Teguh warga setempat yang sehari hari bekerja sebagai buruh tambang minyak. Istilah Kromo umumnya merujuk pada kelas sosial rakyat jelata. Kaum kromo. Mereka yang tidak memiliki alat produksi.
(Baca juga: Biadab! 5 Tahun Gadis di Sampit Dijadikan Budak Seks Ayah Kandungnya )
Yakni para buruh pabrik, buruh tani, termasuk petani kecil yang tidak memiliki tanah luas. Dalam terminologi politik kaum nasionalis, kaum Kromo sering dipersamakan dengan kaum marhaen atau proletar. Lawannya adalah kelas sosial priyayi atau kaum borjuis, pemilik alat produksi.
"Kenapa ada tambahan setan, juga tidak ada yang tahu soal itu," tambah Teguh. Huru hara itu terjadi paska Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945. Meski Soekarno- Hatta sudah mengumandangkan kemerdekaan di Pegangsaan Timur Jakarta, namun situasi politik di republik masih tidak menentu.
Tidak hanya di Jakarta dan sekitarnya. Situasi panas juga menjalar ke sejumlah daerah. Terutama di wilayah Jawa dan Sumatera. Kekisruhan itu dipicu sikap sekutu paska memenangkan Perang Dunia II. Sekutu dengan Belanda yang tergabung di dalamnya, ingin kembali menguasai semua negara jajahan yang sebelumnya dikuasai Jepang.
Dengan membonceng tentara Inggris, Belanda berharap bisa secepatnya kembali menancapkan kuku kekuasaannya di Indonesia. Belanda berkepentingan besar terhadap sumber daya alam, terutama ladang ladang minyak. "Tambang minyak di Wonocolo sendiri sudah ada sejak jaman Belanda," kata Teguh.