Kisah Kromo Setan dan Huru Hara Laskar Minyak Cepu-Bojonegoro
loading...
A
A
A
(Baca juga:Biadab! 5 Tahun Gadis di Sampit Dijadikan Budak Seks Ayah Kandungnya)
Dalam buku Pertamina, Perusahaan Minyak Nasional, terbitan 1986, disebutkan, Indonesia merupakan salah satu pangkalan minyak pertama dan tertua Royal Dutch atau grup Shell. "Pencarian minyak di Indonesia dimulai pada tahun 1871, hanya dua belas tahun setelah sumur minyak dunia yang pertama dibor di Pensylvania".
Pengomersialan minyak Indonesia (Saat itu masih Hindia Belanda) pertama kali dilakukan pada tahun 1885. Produksi berlangsung di kilang minyak di Sumatera Selatan, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Kalimantan. "Wonocolo itu masuk Jawa Timur. Namun pengolahan atau kilang minyaknya ada di Cepu, Jawa Tengah," tambah Teguh.
Jarak Wonocolo-Cepu hanya sekitar 15 kilometer. Kilang minyak Cepu dibangun pada tahun 1894. Pembangunan dilakukan oleh Adrian Stoop, bekas pegawai Aeilko Ziljker yang pada 16 Juni 1890 mendirikan perusahaan minyak Royal Dutch (Grup Shell). Umur kilang Cepu lebih muda empat tahun dari kilang minyak Wonokromo Surabaya, yang dibangun lebih dulu pada tahun 1890.
Tidak hanya grup Shell yang bernafsu besar memburu energi fosil Indonesia. Perusahaan minyak Standar Oil of New Jersey juga ikut masuk. Mereka mulai melempar jangkar bisnis di Indonesia pada tahun 1912, lalu menggabungkan kepentingan mereka di Timur Jauh dengan Mobil untuk membentuk Stanvac.
Disusul kemudian Standard Oil of California yang masuk Indonesia pada tahun 1930an, dan pada tahun 1936 menggabungkan saham Asia-nya dengan Texaco untuk membentuk Caltex. Pada tahun 1940, di Indonesia praktis ada lima maskapai minyak internasional yang biasa disebut gabungan Tiga Besar (Stanvac, Shell dan Caltex).
Saat itu total produksi minyak Indonesia menempati urutan kelima di dunia dan terbesar di Timur Jauh. Produksi rata rata di tahun 1939 dan 1940 mencapai 62 juta barrel per tahun. Tidak heran. Begitu Jepang kalah telak pada Agustus 1945, Belanda yang berada di bawah komando SEAC (South East Asia Command), ingin bergegas kembali menduduki ladang minyak yang sempat mereka tinggalkan.
Sementara sesaat setelah Jepang kalah dan tentara sekutu belum tiba di Indonesia, terjadi situasi vacuum of power. Kekosongan kekuasaan. Menyadari itu rakyat langsung bergerak dengan mengambil alih perkebunan, pabrik, lapangan minyak dan kilang yang sebelumnya dikelola Jepang.
Dalam buku Pertamina, Perusahaan Minyak Nasional, terbitan 1986 disebutkan, di lapangan minyak bermunculan perusahaan anak negeri yang diorganisir dan dioperasikan kelompok pekerja bersenjata yang menyebut diri Laskar Minyak.
"Mereka ini, veteran pekerja lapangan dan pengilangan di zaman kolonial dan pendudukan Jepang, mempunyai ketrampilan dan peralatan untuk mendapatkan sejumlah kecil produksi yang tersedia bagi Republik".
Dalam buku Pertamina, Perusahaan Minyak Nasional, terbitan 1986, disebutkan, Indonesia merupakan salah satu pangkalan minyak pertama dan tertua Royal Dutch atau grup Shell. "Pencarian minyak di Indonesia dimulai pada tahun 1871, hanya dua belas tahun setelah sumur minyak dunia yang pertama dibor di Pensylvania".
Pengomersialan minyak Indonesia (Saat itu masih Hindia Belanda) pertama kali dilakukan pada tahun 1885. Produksi berlangsung di kilang minyak di Sumatera Selatan, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Kalimantan. "Wonocolo itu masuk Jawa Timur. Namun pengolahan atau kilang minyaknya ada di Cepu, Jawa Tengah," tambah Teguh.
Jarak Wonocolo-Cepu hanya sekitar 15 kilometer. Kilang minyak Cepu dibangun pada tahun 1894. Pembangunan dilakukan oleh Adrian Stoop, bekas pegawai Aeilko Ziljker yang pada 16 Juni 1890 mendirikan perusahaan minyak Royal Dutch (Grup Shell). Umur kilang Cepu lebih muda empat tahun dari kilang minyak Wonokromo Surabaya, yang dibangun lebih dulu pada tahun 1890.
Tidak hanya grup Shell yang bernafsu besar memburu energi fosil Indonesia. Perusahaan minyak Standar Oil of New Jersey juga ikut masuk. Mereka mulai melempar jangkar bisnis di Indonesia pada tahun 1912, lalu menggabungkan kepentingan mereka di Timur Jauh dengan Mobil untuk membentuk Stanvac.
Disusul kemudian Standard Oil of California yang masuk Indonesia pada tahun 1930an, dan pada tahun 1936 menggabungkan saham Asia-nya dengan Texaco untuk membentuk Caltex. Pada tahun 1940, di Indonesia praktis ada lima maskapai minyak internasional yang biasa disebut gabungan Tiga Besar (Stanvac, Shell dan Caltex).
Saat itu total produksi minyak Indonesia menempati urutan kelima di dunia dan terbesar di Timur Jauh. Produksi rata rata di tahun 1939 dan 1940 mencapai 62 juta barrel per tahun. Tidak heran. Begitu Jepang kalah telak pada Agustus 1945, Belanda yang berada di bawah komando SEAC (South East Asia Command), ingin bergegas kembali menduduki ladang minyak yang sempat mereka tinggalkan.
Sementara sesaat setelah Jepang kalah dan tentara sekutu belum tiba di Indonesia, terjadi situasi vacuum of power. Kekosongan kekuasaan. Menyadari itu rakyat langsung bergerak dengan mengambil alih perkebunan, pabrik, lapangan minyak dan kilang yang sebelumnya dikelola Jepang.
Dalam buku Pertamina, Perusahaan Minyak Nasional, terbitan 1986 disebutkan, di lapangan minyak bermunculan perusahaan anak negeri yang diorganisir dan dioperasikan kelompok pekerja bersenjata yang menyebut diri Laskar Minyak.
"Mereka ini, veteran pekerja lapangan dan pengilangan di zaman kolonial dan pendudukan Jepang, mempunyai ketrampilan dan peralatan untuk mendapatkan sejumlah kecil produksi yang tersedia bagi Republik".