10 Contoh Legenda Nusantara, dari Kisah Sangkuriang hingga Cerita Empat Raja Papua
loading...
A
A
A
Tanggung jawab apapun yang diberikan orang tua pada anak-anak selalu dijalankan dengan baik. Kepatuhan pada orang tua dan berguna bagi lingkungan membuat ayah dan ibu kelima anak-anak tersebut sangat bangga. Rasa sayang yang begitu besar pada kelima anaknya membuat sang ayah ingin meninggalkan warisan sebelum ajal menjemputnya. Kemudian, sang ayah mulai menyiapkan sebuah rencana besar untuk War, Betani, Dohar, Mohamad, dan Pintolee.
Di tengah kebahagiaan mereka, terjadi sesuatu yang membuat satu keluarga kecewa. Pintolee jatuh hati dengan seorang pemuda yang tidak disenangi oleh keluarganya. Meski pemuda pilihannya tidak direstui, Pintolee tetap bersikeras untuk melanjutkan hubungannya. Memilih untuk memegang teguh pilihan hidupnya, Pintolee dengan berat hati harus melepas hadiah yang sudah disiapkan ayahnya. Pintolee akhirnya pergi meninggalkan saudara-saudara dan kedua orangtuanya. Pintolee berlayar menaiki cangkang kerang besar yang terdampar hingga membawanya dan pemuda pilihannya di Pulau Numfor.
Meski kabar mengenai Pintolee sudah tersiar ke segala penjuru pulau, masyarakat desa dan sekitar tetap menaruh rasa simpati pada sang ayah dan ibu. Tentu saja, hal ini karena War, Betani, Dohar, dan Mohamad setia menjaga nama baik keluarga dengan mematuhi nasihat kedua orang tua mereka.
Tahun silih berganti, sang ayah semakin beranjak renta. Tibalah hari yang sudah dinantikan sang ayah untuk keempat putranya. Sang ayah memanggil keempat anak laki-lakinya untuk membagikan warisan. Ternyata, masing-masing anak dihadiahkan satu pulau. War diberi Pulau Waigeo, Betani diberi Pulau Salawati, Dohar diberi Pulau Lilinta, dan Mohamad mendapatkan Pulau Waiga. Sang ayah berpesan agar mereka selalu menjaga pulau-pulau tersebut dan segala isinya dengan baik.
Keempat anak-anak tersebut kemudian pergi dan menetap di masing-masing pulau yang telah dipercayakan oleh sang ayah. Semakin hari War, Betani, Dohar, dan Mohamad semakin dikenal sebagai sosok yang tekun dan bijaksana. Hingga sang ayah akhirnya meninggal dunia, keempatnya mampu menaati janji mereka.
Bukan hanya nasihat orang tua, warisannya pun mereka jaga. Masing-masing anak tersebut berkuasa, bahkan menjadi raja atas pulaunya masing-masing. Pulau-pulau tersebut tumbuh subur dan makmur. Penduduk di sekitarnya juga hidup bahagia dan sejahtera. Dari sinilah kemudian lahir nama Raja Ampat. Empat orang raja yang berkuasa atas gugusan pulau yang subur dan sejahtera.
Sementara itu, sebutir telur yang menjadi batu, sampai hari ini masih dirawat dan dijaga oleh penduduk setempat. Batu itu juga diperlakukan oleh masyarakat sekitar layaknya seorang raja. Penduduk memberikan ruangan tempat bersemayam, lengkap dengan dewa penjaga berwujud dua batu tegak atau menhir yang diberi nama Man Moro dan Man Metem di sisi kanan dan kiri pintu masuk.
Batu yang hingga kini masih disimpan di Situs Kali Raja itu diberi nama Batu Telur Raja. Untuk menjaga kesuciannya, batu bernama Kapatnai ini hanya dapat dilihat setahun sekali pada saat upacara penggantian kelambu dan pemandian yang hanya boleh dilakukan oleh keturunan raja.
Di tengah kebahagiaan mereka, terjadi sesuatu yang membuat satu keluarga kecewa. Pintolee jatuh hati dengan seorang pemuda yang tidak disenangi oleh keluarganya. Meski pemuda pilihannya tidak direstui, Pintolee tetap bersikeras untuk melanjutkan hubungannya. Memilih untuk memegang teguh pilihan hidupnya, Pintolee dengan berat hati harus melepas hadiah yang sudah disiapkan ayahnya. Pintolee akhirnya pergi meninggalkan saudara-saudara dan kedua orangtuanya. Pintolee berlayar menaiki cangkang kerang besar yang terdampar hingga membawanya dan pemuda pilihannya di Pulau Numfor.
Meski kabar mengenai Pintolee sudah tersiar ke segala penjuru pulau, masyarakat desa dan sekitar tetap menaruh rasa simpati pada sang ayah dan ibu. Tentu saja, hal ini karena War, Betani, Dohar, dan Mohamad setia menjaga nama baik keluarga dengan mematuhi nasihat kedua orang tua mereka.
Tahun silih berganti, sang ayah semakin beranjak renta. Tibalah hari yang sudah dinantikan sang ayah untuk keempat putranya. Sang ayah memanggil keempat anak laki-lakinya untuk membagikan warisan. Ternyata, masing-masing anak dihadiahkan satu pulau. War diberi Pulau Waigeo, Betani diberi Pulau Salawati, Dohar diberi Pulau Lilinta, dan Mohamad mendapatkan Pulau Waiga. Sang ayah berpesan agar mereka selalu menjaga pulau-pulau tersebut dan segala isinya dengan baik.
Keempat anak-anak tersebut kemudian pergi dan menetap di masing-masing pulau yang telah dipercayakan oleh sang ayah. Semakin hari War, Betani, Dohar, dan Mohamad semakin dikenal sebagai sosok yang tekun dan bijaksana. Hingga sang ayah akhirnya meninggal dunia, keempatnya mampu menaati janji mereka.
Bukan hanya nasihat orang tua, warisannya pun mereka jaga. Masing-masing anak tersebut berkuasa, bahkan menjadi raja atas pulaunya masing-masing. Pulau-pulau tersebut tumbuh subur dan makmur. Penduduk di sekitarnya juga hidup bahagia dan sejahtera. Dari sinilah kemudian lahir nama Raja Ampat. Empat orang raja yang berkuasa atas gugusan pulau yang subur dan sejahtera.
Sementara itu, sebutir telur yang menjadi batu, sampai hari ini masih dirawat dan dijaga oleh penduduk setempat. Batu itu juga diperlakukan oleh masyarakat sekitar layaknya seorang raja. Penduduk memberikan ruangan tempat bersemayam, lengkap dengan dewa penjaga berwujud dua batu tegak atau menhir yang diberi nama Man Moro dan Man Metem di sisi kanan dan kiri pintu masuk.
Batu yang hingga kini masih disimpan di Situs Kali Raja itu diberi nama Batu Telur Raja. Untuk menjaga kesuciannya, batu bernama Kapatnai ini hanya dapat dilihat setahun sekali pada saat upacara penggantian kelambu dan pemandian yang hanya boleh dilakukan oleh keturunan raja.
(shf)