Strategi Licik Sultan Agung, Racuni Sungai Brantas untuk Taklukan Surabaya
loading...
A
A
A
Wabah penyakit, kelaparan, dan kematian massal menghancurkan Surabaya. Pembunuhan massal menggunakan senjata biologis dalam perang antara kadipaten di timur Jawa, dengan pasukan Mataram di bawah komando Sultan Agung tersebut, menyisakan cerita pilu.
Kemegahan surabaya sebagai kadipaten dengan pelabuhan besar, sirna begitu saja akibat ulah pasukan Sultan Agung. Peristiwa kelam yang terjadi pada tahun 1625 tersebut, diulas Akhmad Saiful Ali, dalam hasil penelitiannya untuk tesis di IAIN Sunan Ampel Surabaya.
Dalam tesis yang berjudul "Ekspansi Mataram terhadap Surabaya Abad ke 17: Tinjauan Historis Tentang Penaklukan Surabaya oleh Mataram abad ke 17" tersebut. Akhmad Saiful Ali menyebutkan, Surabaya tak lagi menjadi pelabuhan penting dan kehilangan dominasinya di timur Jawa, usai dihancurkan oleh Mataram.
Bahkan, penghancuran Surabaya, dan kota-kota pesisir utara itu membuat kemunduran perdagangan di Jawa. Dampaknya, memunculkan Kesultanan Makassar, sebagai kekuatan baru pusat perdagangan rempah-rempah di Nusantara.
Kadipaten Surabaya, yang pusatnya menjadi Kota Surabaya saat ini, dahulunya merupakan kerajaan besar usai terpecahnya Kesultanan Demak, menjadi tiga bagian pada abad ke-16. Selain Kadipaten Surabaya, pada abad 17 terdapat dua kekuatan besar, yakni Kesultanan Banten di Jawa Barat, dan Kesultanan Mataram di Jawa Tengah.
Sebagai kerajaan besar yang berpusat di tengah Jawa, Mataram di bawah kepemimpinan Sultan Agung, mulai mengkonsolidasi kekuatannya dengan menyatukan sejumlah kerajaan, seperti Pajang, Demak, Madiun, dan Kediri.
Setelah kegagalannya melakukan ekspedisi penaklukan Banten, pada sekitar tahun 1957. Sultan Agung berubah haluan dengan melakukan pengiriman ekspedisi penaklukan wilayah timur Jawa, yang kala itu berada di bawah pengaruh Kadipaten Surabaya.
Kemegahan surabaya sebagai kadipaten dengan pelabuhan besar, sirna begitu saja akibat ulah pasukan Sultan Agung. Peristiwa kelam yang terjadi pada tahun 1625 tersebut, diulas Akhmad Saiful Ali, dalam hasil penelitiannya untuk tesis di IAIN Sunan Ampel Surabaya.
Dalam tesis yang berjudul "Ekspansi Mataram terhadap Surabaya Abad ke 17: Tinjauan Historis Tentang Penaklukan Surabaya oleh Mataram abad ke 17" tersebut. Akhmad Saiful Ali menyebutkan, Surabaya tak lagi menjadi pelabuhan penting dan kehilangan dominasinya di timur Jawa, usai dihancurkan oleh Mataram.
Bahkan, penghancuran Surabaya, dan kota-kota pesisir utara itu membuat kemunduran perdagangan di Jawa. Dampaknya, memunculkan Kesultanan Makassar, sebagai kekuatan baru pusat perdagangan rempah-rempah di Nusantara.
Kadipaten Surabaya, yang pusatnya menjadi Kota Surabaya saat ini, dahulunya merupakan kerajaan besar usai terpecahnya Kesultanan Demak, menjadi tiga bagian pada abad ke-16. Selain Kadipaten Surabaya, pada abad 17 terdapat dua kekuatan besar, yakni Kesultanan Banten di Jawa Barat, dan Kesultanan Mataram di Jawa Tengah.
Sebagai kerajaan besar yang berpusat di tengah Jawa, Mataram di bawah kepemimpinan Sultan Agung, mulai mengkonsolidasi kekuatannya dengan menyatukan sejumlah kerajaan, seperti Pajang, Demak, Madiun, dan Kediri.
Setelah kegagalannya melakukan ekspedisi penaklukan Banten, pada sekitar tahun 1957. Sultan Agung berubah haluan dengan melakukan pengiriman ekspedisi penaklukan wilayah timur Jawa, yang kala itu berada di bawah pengaruh Kadipaten Surabaya.