Kisah Biksu Bangladesh Rela Mengarungi Lautan demi Belajar Agama di Kerajaan Sriwijaya
loading...
A
A
A
KEBESARAN Kerajaan Sriwijaya di masa lalu tidak hanya dikenal sebagai negeri bahari, tapi juga sebagai pusat pendidikan Buddha yang di kenal secara nasional atau lokal, tetapi juga hingga ke dataran asia.
Dikisahkan pada usia 31 tahun, Atisha dengan diikuti oleh 100 muridnya berangkat melakukan perjalanan laut selama tiga belas bulan ke Sumatera untuk belajar Buddhisme.
Dikenalnya Sriwijaya sebagai pusat pendidikan Buddha-Mahayana tidak lain karena peranan Suvarnadvipi Dharmakrti, yang dalam tradisi Buddha Tibetan disebut dengan nama Serlingpa (Gser-gling-pa) dan dianggap Guru Bodhichitta.
Selain merupakan biksu tertinggi di Sriwijaya yang pengetahuannya dikenal luas, Dharmakriti dicatat telah menyusun kitab Abhisamayalamkara.
Demikian populernya Dharmakriti membuat Atisha berani menempuh risiko mengarungi lautan luas ke Sriwijaya untuk belajar.
Konon, dalam bentang masa belajarnya selama 13 tahun, yakni dari tahun 1011 hingga tahun 1023 Masehi, Atisha juga pernah menyempatkan diri ziarah ke Borobudur di Jawa, dan belajar perihal teks Mahayana yang dipahatkan menjadi bangunan candi.
Sebagai pusat pengajaran Buddha Vajrayana, Sriwijaya menarik banyak peziarah dan sarjana dari negara-negara di Asia. Antara lain pendeta dari Tiongkok I Tsing, yang melakukan kunjungan ke Sumatra dalam perjalanan studinya di Universitas Nalanda, India, pada tahun 671 dan 695, I Tsing melaporkan bahwa Sriwijaya menjadi rumah bagi sarjana Buddha sehingga menjadi pusat pembelajaran agama Buddha. Selain berita diatas, terdapat berita yang dibawakan oleh I Tsing, dinyatakan bahwa terdapat 1000 orang pendeta yang belajar agama Buddha pada Sakyakirti, seorang pendeta terkenal di Sriwijaya.
Selain itu ajaran Buddha aliran Buddha Hinayana dan Buddha Mahayana juga turut berkembang di Sriwijaya. Menjelang akhir abad ke-10, Atiśa, seorang sarjana Buddha asal Benggala yang berperan dalam mengembangkan Buddha Vajrayana di Tibet dalam kertas kerjanya Durbodhaloka menyebutkan ditulis pada masa pemerintahan Sri Cudamani Warmadewa penguasa Sriwijayanagara di Malayagiri di Suvarnadvipa.
Dikisahkan pada usia 31 tahun, Atisha dengan diikuti oleh 100 muridnya berangkat melakukan perjalanan laut selama tiga belas bulan ke Sumatera untuk belajar Buddhisme.
Dikenalnya Sriwijaya sebagai pusat pendidikan Buddha-Mahayana tidak lain karena peranan Suvarnadvipi Dharmakrti, yang dalam tradisi Buddha Tibetan disebut dengan nama Serlingpa (Gser-gling-pa) dan dianggap Guru Bodhichitta.
Selain merupakan biksu tertinggi di Sriwijaya yang pengetahuannya dikenal luas, Dharmakriti dicatat telah menyusun kitab Abhisamayalamkara.
Demikian populernya Dharmakriti membuat Atisha berani menempuh risiko mengarungi lautan luas ke Sriwijaya untuk belajar.
Konon, dalam bentang masa belajarnya selama 13 tahun, yakni dari tahun 1011 hingga tahun 1023 Masehi, Atisha juga pernah menyempatkan diri ziarah ke Borobudur di Jawa, dan belajar perihal teks Mahayana yang dipahatkan menjadi bangunan candi.
Sebagai pusat pengajaran Buddha Vajrayana, Sriwijaya menarik banyak peziarah dan sarjana dari negara-negara di Asia. Antara lain pendeta dari Tiongkok I Tsing, yang melakukan kunjungan ke Sumatra dalam perjalanan studinya di Universitas Nalanda, India, pada tahun 671 dan 695, I Tsing melaporkan bahwa Sriwijaya menjadi rumah bagi sarjana Buddha sehingga menjadi pusat pembelajaran agama Buddha. Selain berita diatas, terdapat berita yang dibawakan oleh I Tsing, dinyatakan bahwa terdapat 1000 orang pendeta yang belajar agama Buddha pada Sakyakirti, seorang pendeta terkenal di Sriwijaya.
Selain itu ajaran Buddha aliran Buddha Hinayana dan Buddha Mahayana juga turut berkembang di Sriwijaya. Menjelang akhir abad ke-10, Atiśa, seorang sarjana Buddha asal Benggala yang berperan dalam mengembangkan Buddha Vajrayana di Tibet dalam kertas kerjanya Durbodhaloka menyebutkan ditulis pada masa pemerintahan Sri Cudamani Warmadewa penguasa Sriwijayanagara di Malayagiri di Suvarnadvipa.