Misteri Kutukan Raja Sriwijaya Terhadap Tanah Jawa yang Dicap Pemberontak
loading...
A
A
A
- Penguasa Kerajaan Sriwijaya konon pernah mengucapkan kutukan kepada wilayah yang disebut pemberontak. Hal ini tertuang pada Prasasti Kota Kapur yang ditemukan di Pulau Bangka, di sebelah utara Sungai Menduk.
Sebagaimana terjemahan isi prasasti dari Kern, pada "Kedatuan Sriwijaya" terdapat tulisan dengan huruf pallawa yang bila diterjemahkan menjadi "biar pula mereka mati kena kutuk. Tambahan pula biar mereka yang menghasut orang supaya merusak, yang merusak batu yang diletakkan di tempat ini, mati juga kena kutuk dan dihukum langsung. Baca Juga: Kolam Segaran, Cerita Di Balik Pamer Kekayaan Kerajaan Majapahit
Biar para pembunuh, pemberontak, mereka yang tak berbakti, yang tak setia pada saya, biar pelaku perbuatan tersebut mati kena kutuk. Prasasti ini ditulis pada tahun Saka 608, hari pertama paruh terang bulan Waisakha, pada saat itulah kutukan ini diucapkan.
Konon yang memerintahkan mengutuk saat itu adalah Raja Dapunta Hyang Sri Jayanasa. Adapun Krom menjelaskan, bahwa Prasasti Kota Kapur menjadi bagian dari politik ekspansi dari Kerajaan Sriwijaya.
Konon saat itu kutukan diucapkan saat bala tentera Sriwijaya baru berangkat untuk menyerang tanah Jawa yang tidak takluk kepada Kerajaan Sriwijaya. Memang penyebutan Pulau Jawa di prasasti ini masih menimbulkan berbagai tafsiran.
Sebab jika dimaksud Pulau Jawa, maka tak masuk akal mengapa ekspedisi yang dilancarkan untuk menyerbu bhumi Java, disebut dalam sebuah prasasti yang ditemukan di Bangka. Pernyataan itu lantas diberi jawaban oleh Krom, yang menyebut pengambilalihan wilayah sesudah perang.
Pada prasasti itu hanya diberitakan bahwa pemahatannya terjadi pada saat tentara Sriwijaya baru berangkat untuk menyerang Pulau Jawa yang tidak takluk pada Sriwijaya. Baca juga: Arya Damar, Ahli Mesiu Kerajaan Majapahit Sang Penakluk Kerajaan Bali
Dari sini Krom menjelaskan ekspedisi ini sebagai contoh agar penduduk tempat batu prasasti itu didirikan, yaitu penduduk Pulau Bangka, agar berpikir dulu, kalau kalau ada niat untuk memberontak ke terhadap kekuasaan Sriwijaya.
Bhumi Java dengan demikian harus dicari di luar Bangka, dan tidak alasan sama sekali untuk tidak mengidentifikasikannya dengan negeri yang sudah selama-lamanya bernama Jawa. Jika pada sejarah Jawa benar-benar ada kurun waktu sebagian Pulau Jawa dijajah oleh Sriwijaya, maka mungkin asal mulanya harus dicari pada ekspedisi tahun 686 itu.
Teks-teks tadi hampir tidak mengungkapkan apa-apa tentang organisasi sosial dan lembaga-lembaga administrasi negara. Di Prasasti Kota Kapur itulah konon sang raja mengangkat datu - datu yang masing-masing harus mengurus sebuah kedatuan dan jika perlu memimpin operasi militer.
Sebagaimana terjemahan isi prasasti dari Kern, pada "Kedatuan Sriwijaya" terdapat tulisan dengan huruf pallawa yang bila diterjemahkan menjadi "biar pula mereka mati kena kutuk. Tambahan pula biar mereka yang menghasut orang supaya merusak, yang merusak batu yang diletakkan di tempat ini, mati juga kena kutuk dan dihukum langsung. Baca Juga: Kolam Segaran, Cerita Di Balik Pamer Kekayaan Kerajaan Majapahit
Biar para pembunuh, pemberontak, mereka yang tak berbakti, yang tak setia pada saya, biar pelaku perbuatan tersebut mati kena kutuk. Prasasti ini ditulis pada tahun Saka 608, hari pertama paruh terang bulan Waisakha, pada saat itulah kutukan ini diucapkan.
Konon yang memerintahkan mengutuk saat itu adalah Raja Dapunta Hyang Sri Jayanasa. Adapun Krom menjelaskan, bahwa Prasasti Kota Kapur menjadi bagian dari politik ekspansi dari Kerajaan Sriwijaya.
Konon saat itu kutukan diucapkan saat bala tentera Sriwijaya baru berangkat untuk menyerang tanah Jawa yang tidak takluk kepada Kerajaan Sriwijaya. Memang penyebutan Pulau Jawa di prasasti ini masih menimbulkan berbagai tafsiran.
Sebab jika dimaksud Pulau Jawa, maka tak masuk akal mengapa ekspedisi yang dilancarkan untuk menyerbu bhumi Java, disebut dalam sebuah prasasti yang ditemukan di Bangka. Pernyataan itu lantas diberi jawaban oleh Krom, yang menyebut pengambilalihan wilayah sesudah perang.
Pada prasasti itu hanya diberitakan bahwa pemahatannya terjadi pada saat tentara Sriwijaya baru berangkat untuk menyerang Pulau Jawa yang tidak takluk pada Sriwijaya. Baca juga: Arya Damar, Ahli Mesiu Kerajaan Majapahit Sang Penakluk Kerajaan Bali
Dari sini Krom menjelaskan ekspedisi ini sebagai contoh agar penduduk tempat batu prasasti itu didirikan, yaitu penduduk Pulau Bangka, agar berpikir dulu, kalau kalau ada niat untuk memberontak ke terhadap kekuasaan Sriwijaya.
Bhumi Java dengan demikian harus dicari di luar Bangka, dan tidak alasan sama sekali untuk tidak mengidentifikasikannya dengan negeri yang sudah selama-lamanya bernama Jawa. Jika pada sejarah Jawa benar-benar ada kurun waktu sebagian Pulau Jawa dijajah oleh Sriwijaya, maka mungkin asal mulanya harus dicari pada ekspedisi tahun 686 itu.
Teks-teks tadi hampir tidak mengungkapkan apa-apa tentang organisasi sosial dan lembaga-lembaga administrasi negara. Di Prasasti Kota Kapur itulah konon sang raja mengangkat datu - datu yang masing-masing harus mengurus sebuah kedatuan dan jika perlu memimpin operasi militer.
(don)