Cerita Legalisasi Opium Pemerintah Hindia Belanda, Pecandu Terbesar di Kediri dan Madiun

Sabtu, 02 Juli 2022 - 20:46 WIB
loading...
Cerita Legalisasi Opium Pemerintah Hindia Belanda, Pecandu Terbesar di Kediri dan Madiun
Penghisap opium Jawa pada abad ke-19 di masa pemerintahan Hindia Belanda. Foto repro dari koleksi Koninklijk Instituut voor de Tropen, Amsterdam
A A A
KEDIRI - Sebuah potret tempo dulu memperlihatkan pemandangan sejumlah laki-laki Jawa sedang bersama-sama menghisap opium atau candu di sebuah rumah yang biasa disebut pondok opium.

Ada yang duduk bersila. Ada pula yang dalam posisi setengah selonjor. Perawakan mereka sama-sama kurus, berpandangan kosong dengan gestur yang bermalasan-malasan.



Ya, pada abad ke-19 di masa pemerintahan Hindia Belanda, masyarakat Jawa, terutama Jawa Tengah dan Jawa Timur, menjadi salah satu pasar opium terbesar di Nusantara. Opium yang didatangkan dari luar negeri itu menjadi komoditas dagang yang sangat menguntungkan kas negara. Orang-orang Jawa dan sebagian Tionghoa yang rela merogoh kocek menjadi konsumen terbesarnya.

“Semua opium resmi yang dikonsumsi di Jawa pada abad ke-19 berasal dari Turki dan Persia atau British Bengal,” tulis James R Rush dalam buku “Candu Tempo Doeloe, Pemerintah, Pengedar dan Pecandu 1860-1910”.

Pemerintah Hindia Belanda mendapatkan opium dari hasil pemenangan lelang di Calcutta atau di British Singapura. Pemerintah membeli dari para pedagang swasta Belanda di Levant.

Sebelum dilempar ke pasar, opium yang masuk ke Jawa lebih dulu disimpan di gudang-gudang yang sudah disiapkan di Batavia, Semarang dan Surabaya. Bisnis opium dijalankan negara secara legal. Untuk aturan tata niaganya, pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1860 membuat kebijakan Pak Opium (opiumpach), yakni kesepakatan monopoli atas penjualan opium.



Monopoli perdagangan opium diberikan negara kepada mereka yang bersedia bermufakat. Mereka yang mendapat hak istimewa itu biasa disebut pengepak, dan bekerja dalam jangka waktu tertentu dengan kewenangan berdasarkan kewilayahan, seperti kota, distrik atau propinsi.

“Di Pulau Jawa sepanjang abad ke-19, para saudagar Tionghoa membayar mahal hak istimewa ini,” kata Jamesh R Rush. “Jadi, mereka memasok pajak dalam jumlah besar kepada Pemerintah Belanda di pulau tersebut (Jawa),” tambahnya.
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2205 seconds (0.1#10.140)