Menelusuri Jejak Misteri Makam Putri Cempo
loading...
A
A
A
“Masuknya imigran muslim asal Campa ke Majapahit disebut dalam puja sastra Jawa, Madura maupun Sunda, baik berupa babad maupun serat. Tujuan mereka untuk menemui kerabat dekat yang menjadi istri raja (Putri Campa) sekaligus mencari suaka politik. Serat Wali Sana menyebutkan, para imigran itu dilarang kembali ke Campa oleh Prabu Ranawijaya. Karena kerajaan mereka hancur oleh Kerajaan Koci,” jelasnya.
Berdasarkan Babad Tanah Djawi, para imigran muslim itu dipimpin Makdum Brahim Asmara, ayah Raden Rahmat. Makdum Brahim keturunan Nabi Muhammad yang menikah dengan orang Campa. Dia berasal dari Tyulen, kepulauan kecil di tepi timur laut Kaspia, masuk wilayah Kazakhstan, timur barat laut Samarkand. Serat Wali Sana menyebutkan, sebelum masuk tiba di ibu kota Majapahit, rombongan Imigran singgah di Palembang.
Saat itu Palembang dipimpin Adipati Arya Damar. Persinggahan mereka membuat Arya Jin Bun, putra Raja Brawijaya V dari selir asal China, menganut Islam. Arya Jin Bun kala itu diasuh oleh Arya Damar. Saat memeluk Islam, dia berganti nama menjadi Raden Patah. Raden Patah yang kala itu berusia sekitar 30 tahun, mengantar rombongan Imigran ke Ibu Kota Majapahit.
Namun, Makdum Brahim wafat saat sampai di Tuban. Sampai di Ibu Kota Majapahit yang saat itu berada di Daha atau Kediri, Raden Patah membawa rombongan menghadap ke Prabu Dyah Ranawijaya. Putri Campa yang akan mereka temui meninggal di usia muda, yaitu usia 35 tahun pada 1448 Masehi atau 1370 Saka.
Mereka berencana kembali ke Campa, tapi dilarang Raja Ranawijaya. Atas lobi politik Raden Patah, mereka diberi tempat tinggal oleh raja. Kedatangan imigran muslim asal Campa itu membuat Prabu Ranawijaya menggagas pendirian masjid.
Dia berharap daerah pesisir seperti Surabaya , Gresik, dan Tuban menjadi lebih ramai dikunjungi pedagang muslim lainnya. Sehingga memberi keuntungan ekonomi bagi Majapahit. Oleh Raja Ranawijaya, Raden Rahmat ditempatkan di Surabaya, sedangkan Raden Santri Ali ditempatkan di Gresik.
Raden Rahmat kemudian ditunjuk menjadi imam masjid di Ampel Denta sehingga dijuluki Sunan Ampel. Dia menikah dengan Ni Ageng Manila, putri adipati Tuban Arya Teja. Dia lalu diangkat menjadi Adipati Surabaya menggantikan kakek istrinya, Arya Lembu Sora yang meninggal. Babad Tanah Djawi menyebutkan, Raden Rahmat meminta Raden Patah membuat masjid besar di Demak.
Raden Patah melaksanakan perintah tersebut tahun 1479 Masehi atau 1401 Saka. Ketika itu, Raden Patah menjabat sebagai Pecat Tonda di Bintoro. Dia menikahi adik kandung Raden Rahmat, Ni Ageng Maloka. Raden Patah meninggal di usia 58 tahun karena sakit, yaitu tahun 1507 Masehi.
Posisinya sebagai Sultan di Kerajaan Demak digantikan Pati Unus bergelar anumerta Pangeran Sabrang Lor, yaitu putra Raden Patah. Sementara di Majapahit, tahun 1510-1511 Masehi Raja Ranawijaya tutup usia digantikan Prabu Udhara.(Baca juga : Menapak Jejak Sejarah Candi Gedong Songo di Lereng Gunung Ungaran )
Pati Unus menolak tunduk pada Prabu Udhara karena bukan keturunan raja. Sedang dirinya keturunan penguasaha Majapahit dari garis Brawijaya V. Daerah pesisir Tuban, Gresik, dan Surabaya mendekat ke Demak karena sesama muslim dan punya sejarah dari imigran Campa.
Berdasarkan Babad Tanah Djawi, para imigran muslim itu dipimpin Makdum Brahim Asmara, ayah Raden Rahmat. Makdum Brahim keturunan Nabi Muhammad yang menikah dengan orang Campa. Dia berasal dari Tyulen, kepulauan kecil di tepi timur laut Kaspia, masuk wilayah Kazakhstan, timur barat laut Samarkand. Serat Wali Sana menyebutkan, sebelum masuk tiba di ibu kota Majapahit, rombongan Imigran singgah di Palembang.
Saat itu Palembang dipimpin Adipati Arya Damar. Persinggahan mereka membuat Arya Jin Bun, putra Raja Brawijaya V dari selir asal China, menganut Islam. Arya Jin Bun kala itu diasuh oleh Arya Damar. Saat memeluk Islam, dia berganti nama menjadi Raden Patah. Raden Patah yang kala itu berusia sekitar 30 tahun, mengantar rombongan Imigran ke Ibu Kota Majapahit.
Namun, Makdum Brahim wafat saat sampai di Tuban. Sampai di Ibu Kota Majapahit yang saat itu berada di Daha atau Kediri, Raden Patah membawa rombongan menghadap ke Prabu Dyah Ranawijaya. Putri Campa yang akan mereka temui meninggal di usia muda, yaitu usia 35 tahun pada 1448 Masehi atau 1370 Saka.
Mereka berencana kembali ke Campa, tapi dilarang Raja Ranawijaya. Atas lobi politik Raden Patah, mereka diberi tempat tinggal oleh raja. Kedatangan imigran muslim asal Campa itu membuat Prabu Ranawijaya menggagas pendirian masjid.
Dia berharap daerah pesisir seperti Surabaya , Gresik, dan Tuban menjadi lebih ramai dikunjungi pedagang muslim lainnya. Sehingga memberi keuntungan ekonomi bagi Majapahit. Oleh Raja Ranawijaya, Raden Rahmat ditempatkan di Surabaya, sedangkan Raden Santri Ali ditempatkan di Gresik.
Raden Rahmat kemudian ditunjuk menjadi imam masjid di Ampel Denta sehingga dijuluki Sunan Ampel. Dia menikah dengan Ni Ageng Manila, putri adipati Tuban Arya Teja. Dia lalu diangkat menjadi Adipati Surabaya menggantikan kakek istrinya, Arya Lembu Sora yang meninggal. Babad Tanah Djawi menyebutkan, Raden Rahmat meminta Raden Patah membuat masjid besar di Demak.
Raden Patah melaksanakan perintah tersebut tahun 1479 Masehi atau 1401 Saka. Ketika itu, Raden Patah menjabat sebagai Pecat Tonda di Bintoro. Dia menikahi adik kandung Raden Rahmat, Ni Ageng Maloka. Raden Patah meninggal di usia 58 tahun karena sakit, yaitu tahun 1507 Masehi.
Posisinya sebagai Sultan di Kerajaan Demak digantikan Pati Unus bergelar anumerta Pangeran Sabrang Lor, yaitu putra Raden Patah. Sementara di Majapahit, tahun 1510-1511 Masehi Raja Ranawijaya tutup usia digantikan Prabu Udhara.(Baca juga : Menapak Jejak Sejarah Candi Gedong Songo di Lereng Gunung Ungaran )
Pati Unus menolak tunduk pada Prabu Udhara karena bukan keturunan raja. Sedang dirinya keturunan penguasaha Majapahit dari garis Brawijaya V. Daerah pesisir Tuban, Gresik, dan Surabaya mendekat ke Demak karena sesama muslim dan punya sejarah dari imigran Campa.