Menelusuri Jejak Misteri Makam Putri Cempo

Senin, 05 Oktober 2020 - 05:01 WIB
loading...
Menelusuri Jejak Misteri...
Makam Putri Campa (Putri Cempo) yang dipercayai masyarakat berada di Dukuh Cempan, Desa Bonangrejo, Kecamatan Bonang, Kabupaten Demak, Jawa Tengah. FOTO-FOTO : SINDOnews/Ahmad Antoni
A A A
DEMAK - Masyarakat Dukuh Cempan, Desa Bonangrejo, Kecamatan Bonang, Kabupaten Demak , Jawa Tengah, selama ini telah mempercayai bahwa keberadaan makam Putri Campa (Putri Cempo) ada di wilayahnya.

Namun sisi lain, ada yang mempercayai bahwa makam Putri Campa ada di Trowulan, Mojokerto, Jawa Timur. Sebagian lagi ada yang mempercayai jika makam Putri Campa di kawasan Kebomas-Gresik yang berdekatan dengan kompleks pusara Sunan Giri, Gresik, Jawa Timur.(Baca juga : Kisah Penculikan Gubernur Bali Sutedja, Jejaknya hingga Kini Belum Terungkap )

Lantas dimana keberadaan sesungguhnya makam Putri Campa? Sebagai gambaran, Dukuh Cempan, hanya berjarak 7 Km dari Alun-alun Demak Kota dan 8 Km dari Pantai Moro Demak.

Alun-alun Demak ketika itu hingga saat ini diyakini oleh sebagian masyarakat Demak adalah pusat pemerintahan Kerajaan Demak Bintoro yang pada masa kejayaannya dipimpin oleh Sultan Raden Fatah.

Sedangkan Pantai Moro Demak merupakan tempat berlabuhnya kapal-kapal yang mengangkut rombongan Putri Campa. Jalur darat dan air (sungai) dari Pantai Moro Demak ke Alun-alun Kota Demak, jaraknya sama yakni sekitar 15 Km.(Baca juga : Prajurit Belanda Terdiam, Atas Kuasa Alloh, Kiai Marogan Tunjukkan Ada Ikan Dalam Buah Kelapa )

Bukti empirik adalah soal nama. Dukuh Cempan diyakini berasal dari kata Campa atau Cempo. Itu kebiasaan penamaan sebuah tempat atau wilayah berdasar kejadian atau hal-hal yang terkat dengan perjalanan atau akhir hayat tokoh terkenal di masa itu.

Cerita leluhur dari mulut ke mulut, di sekitar makam Putri Cempo banyak tersebar mata uang yang terbuat dari emas. Dulunya, para buruh tani sangat suka jika bekerja di sawah di sekitar makam Putri Cempo. Karena saat tandur (menanam padi), tetiba mereka menemukan logam seperti uang pecahan Rp5 namun setelah dibersihkan ternyata emas.

Dari ”penglihatan” para orang sakti zaman dulu, di sekitar makam Putri Cempo banyak terdapat pundi-pundi berisi emas. Namun, sayangnya para orang sakti zaman dulu lebih suka mendiamkan pundi-pundi emas itu di tempatnya.( )

Karena rata-rata berilmu agama tinggi, mereka tidak mau gegabah mengambil ‘harta karun’ itu karena bukan haknya. Sebab mereka meyakini itu adalah harta Putri Cempo.

Pertanyaannya adalah mengapa Putri Cempo dimakamkan di Dukuh Cempan, Desa Bonangrejo, Bonang, Demak? Menurut alur ceritanya, Raden Patah, Sultan atau Raja Kasultanan Demak Bintoro begitu moncer saat itu. Dia adalah raja yang sekaligus ulama, mubalig, dan Sultan Kerajaan Demak Bintoro.

Nama Raden Patah yang moncer seantero jagad sampai ke telinga raja-raja di Burma, Vietnam, dan Thailand yang saat dulu diyakini sebagai Negeri Campa. Nah, Raja Campa ketika itu ingin menjadi sahabat dari Raden Patah.
Menelusuri Jejak Misteri Makam Putri Cempo


Dia kemudian mengirim putrinya, Putri Campa yang oleh sejarawan namanya disebut Darawati atau Dwarawati. Rombongan Putri Campa tentu melalui jalur laut, sampailah ke sebuah pantai yang kini bernama Pantai Moro Demak.

Namun pinangan Putri Cempo ditolak oleh Raden Patah, karena dalam adat istiadat Jawa, lelaki yang melamar perempuan, bukan dilamar. Kecewa karena lamarannya ditolak, Putri Cempo berniat pulang ke Negeri Campa (Burma). Namun karna malu, Putri Cempo tidak berani pulang, dan lebih memilih menetap di sebuah wilayah yang kemudian diberi nama Dukuh Cempan.(Baca juga : Karomah Mbah Ud, Ulama dari Pagerwojo Sidoarjo )

Namun demikian, klaim makam Putri Cempo oleh masyarakat Dukuh Cempan, Desa Bonangrejo, Kecamatan Bonang, Kabupaten Demak, terbantahkan dengan beberapa literatur sejarah Bangsa Indonesia.

Di mana disebutkan bahwa keberadaan Putri Campa di tanah Jawa adalah sebagai hadiah untuk Raja Majapahit, Brawijaya V oleh bangsa Tionghoa yang bertujuan agar orang-orang Tionghoa di Jawa dapat perlindungan kerajaan. Ahli sejarah lain berpendapat adanya campur tangan ulama Islam dalam pernikahan Brawijaya V dan putri Campa yang sudah beragama Islam.

Dilansir dari Babad Dipanegara, sebagai permaisuri cantik kesayangan Brawijaya V, Putri Campa membuat cemburu permaisuri. Pada usia bulan ke-7 kehamilan, Raja Brawijaya V menitipkan Putri Campa kepada Aryo Damar, seorang Bupati Palembang.

Di daerah Palembang itulah Raden Patah dilahirkan. Sejak kecil Raden Patah sudah dikenal dengan berbagai nama. Oleh ibunya ia di panggil Jin Bun, namun Aryo Damar lebih suka menyebut Raden Hasan.(Baca juga : Kisah Pertarungan Sengit Santri Tebu Ireng Melawan Dukun Sakti Kebo Ireng )

Adapun seorang resi memanggilnya dengan sebutan Raden Tang Eng Hwa. Namun seorang alim di Palembang menamainya Raden Zainal Abidin. Sementara itu nama Raden Patah sendiri adalah pemberian dari Wali Songgo yang memiliki arti kemenangan.

Pada usia 14 tahun, Raden Patah memilih kembali ke tanah Jawa untuk mendalami agama Islam pada Sunan Ampel di Surabaya. Padahal, saat itu raja Brawijaya V memintanya untuk menggantikan Aryo Damar sebagai Bupati Palembang. Dalam perjalanan ke Jawa Raden Patah ditemani Raden Husen (putra Aryo Damar).

Selama menuntut ilmu pada Sunan Ampel, Raden Patah dikenal memiliki kecerdasan di atas rata-rata murid lainya. Hal inilah yang membuat Sang Guru menyuruhnya untuk mendirikan pondok pesantren ke arah barat dari Surabaya.

Dalam pengembaraannya ke barat, Raden Patah menemukan Hutan dengan banyak ditumbuhi tanaman Glagah, di antaranya menyeruak aroma wangi. Hutan tersebut kemudian diberi nama Glagah Wangi.

Di Glagah Wangi inilah Raden Patah mendirikan pondok pesantren. Sekarang, Glagah Wangi dikenal sebagai wilayah Kabupaten Demak. Bersama Wanasalam dan Wanapala, di wilayah yang dikenal dengan Glagah Wangi itu, Raden Patah membangun pedukuhan.

Perlahan pedukuhan Glagah Wangi menjadi ramai. Hingga banyak orang Majapahit berpindah tempat di Glagah Wangi. Raden Patah mengutus Wanasalam untuk menyampaikan kabar tentang perkembangan Glagah Wangi kepada Sunan Ampel di Ampel Gading.

Mendengar kabar tersebut, Sunan Ampel beserta para pendherek-nya datang ke Glagah Wangi. Kepada Raden Patah, Sunan Ampel mengusulkan agar Glagah Wangi dijadikan kerajaan. Raden Patah menyepakati usulan Sunan Ampel.(Baca juga : Mistis Kampung Pitu, Hanya Bisa Dihuni 7 KK di Timur Gunung Nglanggeran )

Dengan disaksikan Raden Patah, para wali, beserta orang-orang dari Ampel Denta dan Glagah Wangi, Sunan Ampel memberikan nama Demak pada kerajaan itu. Nama Raden Patah sendiri, oleh Sunan Ampel, diubah menjadi Pangeran Bintara. Atas keputusan Sunan Ampel, semua wali mendukungnya.

Hanya dalam kurun waktu dua tahun pesantren yang didirikan Raden Patah memiliki 2.000 santri. Padahal waktu itu, masyarakat Glagah Wangi merupakan pemeluk Hindu dan Buddha. Keberhasilan Raden Patah kemudian mendapat apresiasi dari para Wali Songo.

Apresiasi yang diberikan adalah dengan diresmikannya Masjid Pondok Pesantren Glagah wangi (Masjid Agung Demak) pada tahun 1466 atau 1388 saka. Bersamaan dengan itu Raden Patah dinobatkan sebagai mubaligh muda. Pada tahun 1475 Raden Patah dinobatkan sebagai Bupati Glagah Wangi.

Saat itu perkembangan Islam maju pesat dan Glagah Wangi menjadi pusat penyebaran dan pendidikan Islam di Jawa. Selanjutnya pada tahun 1478 Raden Patah dinobatkan sebagai Sultan Kerajaan Demak. Pangeran Bintara Ditangkap Berdirinya Kerajaan Demak dengan raja Pangeran Bintara terdengar sampai telinga Raja Brawijaya.

Sehingga ia segera mengundang Patih Gajah Premada dan Adipati Pecatondha dari Terung. Kepada Adipati Pecatondha, Brawijaya memerintahkan pasukan Majapahit dan orang-orang Palembang menuju Demak untuk menangkap Pangeran Bintara yang telah berani mendirikan kerajaan tanpa izin.

Namun saat tiba di Demak, Adipati Pecatonda terkejut saat ditemui oleh Pangeran Bintara di serambi langgar. Mengingat Pangeran Bintara tak lain adalah Raden Patah, kakaknya sendiri. Raden Bintara mengakui salah karena telah mendirikan Kerajaan Demak tanpa izin Raja Majapahit.
Menelusuri Jejak Misteri Makam Putri Cempo


Akhirnya Adipati Pecatonda membawa Pangeran Bintara ke Majapahit. Menghadapkannya kepada Raja Brawijaya. Namun setelah tahu bahwa Pangeran Bintara bernama asli Raden Patah, anaknya sendiri, Raja Brawijaya tidak memberi hukuman namun menyetujui Raden Bintara sebagai Sultan di Kerajaan Demak.

Kerajaan Demak pernah terlibat perang saudara dengan Kerajaan Majapahit. Secara terpaksa Raden Patah memberontak pada Kerajaan Majapahit yang ingin mempersempit perkembangan Islam. Dalam pemberontakan itu Demak menang dan berhasil membunuh Raja Brawijaya V. Bukti kemengan Demak adalah dibawa pulangnya delapan soko ukir penopang pendapa Kerajaan Majapahit yang saat ini menjadi tiang luar Masjid Agung Demak.

Selain itu dampar kencana atau tempat duduk raja Majapahit saat ini digunakan sebagai mimbar khotbah Masjid Agung Demak. Raden Patah meninggal pada usia 63 tahun. Dimakamkan tidak jauh dari Masjid Agung Demak. Raden Patah merupakan ulama, mubaligh, dan Sultan Kerajaan Demak yang namanya tetap harum sampai sekarang. Makamnya setiap hari selalu ramai dikunjungi para peziarah.

Sementara kisah lain Putri Campa datang dari Mojokerto. Masyarakat setempat sangat akrab dengan nama Putri Campa. Makamnya diyakini warga berada di Desa/Kecamatan Trowulan, hingga kini masih dirawat dengan baik. Istri Raja Brawijaya V ini dianggap sebagai cikal bakal tersebarnya ajaran Islam di Bumi Majapahit.

Kisah Putri Campa dan masuknya Islam ke Majapahit ditulis pemerhati sejarah Mojokerto, Saiful Amin dalam bukunya ‘Babad Keruntuhan Majapahit Invasi Raden Patah Suatu Kemustahilan Sejarah’.(Baca juga : Pelarian Eyang Onggoloco di Hutan Wonosadi Gunungkidul )

Berdasarkan literatur puja sastra sejenis babad atau serat, Prabu Brawijaya V menikah dengan putri dari Kerajaan Campa. Putri Campa itu hadiah dari Raja Campa Indravarman VI sekitar tahun 1428 masehi.

Dia menjelaskan bahwa Putri Campa bernama Darawati atau Dwarawati. Dia dikirim ke Majapahit saat berusia 17 tahun. Darawati menjadi istri selir dari Prabu Brawijaya V atau Dyah Kretawijaya sejak 1430 Masehi.

“Putri Campa bukan putri bangsawan atau putri raja. Sehingga hanya menjadi istri selir Brawijaya V,” ujarnya. Menurutnya, keberadaan Putri Campa yang menjadi istri raja, mengundang imigran asal Campa datang ke Kerajaan Majapahit.

Para imigran muslim tersebut diperkirakan masuk ke Majapahit 1476-1478 masehi. Agama Islam sudah dianut sebagian kecil masyarakat Campa sejak abad 11. Ekspansi agama itu buah masuknya para pedagang dari Arab dan Persia ke negeri tersebut.

Terdapat nama-nama ulama besar di antara imigran asal Campa yang datang ke Majapahit. Di antaranya Raden Rahmat atau Sunan Ampel, ayah Raden Rahmat Makdum Brhaim Asmara atau Ibrahim Asmarakandi, Raden Santri Ali, Raden Ali Murtolo, dan Raden Burereh.

“Masuknya imigran muslim asal Campa ke Majapahit disebut dalam puja sastra Jawa, Madura maupun Sunda, baik berupa babad maupun serat. Tujuan mereka untuk menemui kerabat dekat yang menjadi istri raja (Putri Campa) sekaligus mencari suaka politik. Serat Wali Sana menyebutkan, para imigran itu dilarang kembali ke Campa oleh Prabu Ranawijaya. Karena kerajaan mereka hancur oleh Kerajaan Koci,” jelasnya.

Berdasarkan Babad Tanah Djawi, para imigran muslim itu dipimpin Makdum Brahim Asmara, ayah Raden Rahmat. Makdum Brahim keturunan Nabi Muhammad yang menikah dengan orang Campa. Dia berasal dari Tyulen, kepulauan kecil di tepi timur laut Kaspia, masuk wilayah Kazakhstan, timur barat laut Samarkand. Serat Wali Sana menyebutkan, sebelum masuk tiba di ibu kota Majapahit, rombongan Imigran singgah di Palembang.

Saat itu Palembang dipimpin Adipati Arya Damar. Persinggahan mereka membuat Arya Jin Bun, putra Raja Brawijaya V dari selir asal China, menganut Islam. Arya Jin Bun kala itu diasuh oleh Arya Damar. Saat memeluk Islam, dia berganti nama menjadi Raden Patah. Raden Patah yang kala itu berusia sekitar 30 tahun, mengantar rombongan Imigran ke Ibu Kota Majapahit.

Namun, Makdum Brahim wafat saat sampai di Tuban. Sampai di Ibu Kota Majapahit yang saat itu berada di Daha atau Kediri, Raden Patah membawa rombongan menghadap ke Prabu Dyah Ranawijaya. Putri Campa yang akan mereka temui meninggal di usia muda, yaitu usia 35 tahun pada 1448 Masehi atau 1370 Saka.

Mereka berencana kembali ke Campa, tapi dilarang Raja Ranawijaya. Atas lobi politik Raden Patah, mereka diberi tempat tinggal oleh raja. Kedatangan imigran muslim asal Campa itu membuat Prabu Ranawijaya menggagas pendirian masjid.

Dia berharap daerah pesisir seperti Surabaya , Gresik, dan Tuban menjadi lebih ramai dikunjungi pedagang muslim lainnya. Sehingga memberi keuntungan ekonomi bagi Majapahit. Oleh Raja Ranawijaya, Raden Rahmat ditempatkan di Surabaya, sedangkan Raden Santri Ali ditempatkan di Gresik.

Raden Rahmat kemudian ditunjuk menjadi imam masjid di Ampel Denta sehingga dijuluki Sunan Ampel. Dia menikah dengan Ni Ageng Manila, putri adipati Tuban Arya Teja. Dia lalu diangkat menjadi Adipati Surabaya menggantikan kakek istrinya, Arya Lembu Sora yang meninggal. Babad Tanah Djawi menyebutkan, Raden Rahmat meminta Raden Patah membuat masjid besar di Demak.

Raden Patah melaksanakan perintah tersebut tahun 1479 Masehi atau 1401 Saka. Ketika itu, Raden Patah menjabat sebagai Pecat Tonda di Bintoro. Dia menikahi adik kandung Raden Rahmat, Ni Ageng Maloka. Raden Patah meninggal di usia 58 tahun karena sakit, yaitu tahun 1507 Masehi.

Posisinya sebagai Sultan di Kerajaan Demak digantikan Pati Unus bergelar anumerta Pangeran Sabrang Lor, yaitu putra Raden Patah. Sementara di Majapahit, tahun 1510-1511 Masehi Raja Ranawijaya tutup usia digantikan Prabu Udhara.(Baca juga : Menapak Jejak Sejarah Candi Gedong Songo di Lereng Gunung Ungaran )

Pati Unus menolak tunduk pada Prabu Udhara karena bukan keturunan raja. Sedang dirinya keturunan penguasaha Majapahit dari garis Brawijaya V. Daerah pesisir Tuban, Gresik, dan Surabaya mendekat ke Demak karena sesama muslim dan punya sejarah dari imigran Campa.

Pada tahun 1513 masehi, Juwana, dekat Demak, diserang Prabu Udhara. Berikutnya tahun 1520-1521 Masehi, giliran Pati Unus menyerang Majapahit sehingga Prabu Udhara tersingkir ke Panarukan, dekat Blambangan. Majapahit takluk di tangan Demak. Wilayah kekuasaan Majapahit pun beralih menjadi kekuasaan Kerajaan Demak.
(nun)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1334 seconds (0.1#10.140)