Cerita Kajati Sulsel : Dibalik Kebijakan Sidang Cepat Kasus Jemput Paksa Jenazah COVID
loading...
A
A
A
MAKASSAR - Sidang singkat yang dijalani 13 terdakwa kasus penjemputan jenazah COVID-19 ternyata sempat menimbulkan pro kontra di masyarakat. Kepala Kejaksaan Tinggi (Kejati) Sulsel pun mengungkapkan cerita panjang dibalik kebijakan yang diambilnya tersebut. Baca : Hakim Vonis 13 Warga Rajawali dengan Hukuman Percobaan, Tidak Ditahan di Rutan
Kata Dr Firdaus Dewilmar, perkara yang ditangani oleh Jaksa Penuntut Umum Kejati Sulsel itu merupakan sebuah ujian bagi penegakan disiplin protokol kesehatan dalam masa pandemi. Menurutnya, dalam perkara ini memang sempat memunculkan perdebatan, apakah akan dilakukan pemberantan atau justru diberikan kebijaksanaan.
Pasalnya kata Kajati bergelar doktor tersebut, perkara ini tidak perlu disangkutkan dengan pidana, sebab perkara ini bukan tergolong kejahatan. Karenanya kata Dia, pihaknya lantas menjatuhkan tuntutan berupa percobaan, dengan beberapa alasan dan tujuan.
"Pertama kita menginginkan perkara ini harus diadili, namun kami memutuskan, karena perkara ini bukan kejahatan dan kami pikir ini juga menyangkut kearifan lokal (jenazah hendak di makamkan secara layak) makanya kita pikir, pendekatan yang kita utamakan adalah memberikan efek jera. Dan Alhamdulillah terdakwa menyesali perbuatannya dan berjanji akan berdisiplin menjalankan protokol kesehatan," jelas Firdaus kepada SINDOnews.
Dengan keluarnya putusan ini, Firdaus berharap masyarakat benar-benar paham kondisi dan tidak gegabah dalam mengambil sikap. Sebab kata dia perkara ini sudah menjadi contoh nyata, hukum oleh para penegak hukum tidak akan mundur dan akan selalu berupaya bersikap tegas. Baca Juga : Prof Hambali : Terlalu Berlebihan Jika Tersangka Jemput Paksa Dijerat Hukuman Berat
"Pada intinya kita harap dengan adanya kejadian ini, masyarakat mendapatkan edukasi. Bahwa kami benar benar serius dalam menegakkan hukum, apalagi ini menyangkut keamanan banyak orang dimasa pandemi COVID-19 saat ini, jadi kami harap, ini tidak terulang lagi," bebernya.
Terpisah, Asisten Tindak Pidana Umum Kejati Sulsel , Yudi Indra Gunawan mengatakan saat ini perkara penjemputan jenazah/pasien COVID-19 di Makassar memang secara keseluruhan tercatat ada 5 perkara, empat diantaranya sudah putus dengan hukuman percobaan.
Ia tak menampik, perkara ini memang merupakan perkara yang tidak mudah. Sebab menyangkut kedisiplinan umum. Namun meski begitu lantaran perkara ini dinilai bukan sebuah kejahatan, Kejaksaan Tinggi Sulsel memilih untuk memberikan edukasi kepada terdakwa dan masyarakat secara luas. Bahwa melanggar protokol kesehatan punya konsekuensi hukum.
"Karenanya ini jangan dipandang bahwa kami tidak serius, tapi ini karena ada pertimbangan dengan tujuan agar terdakwa dan masyarakat terdukasi. Itu yang lebih penting dari pada kita menuntut tinggi terdakwa," pungkasnya.
Diketahui sebelumnya saat tahap II dilakukan, Jaksa Penuntut Umum tak menampik menerapkan pasal berlapis, utamanya pasal 214 KUHP sebagai dakwaan primer, dengan ancaman hukuman selama 7 tahun penjara. Hanya saja, saat telah dilimpahkan ke pengadilan, secara tiba-tiba Hakim memutuskan untuk menjalankan Acara Pidana Singkat.
Belakangan, saat sidang berlangsung jaksa penuntut umum memang hanya menjatuhkan tuntutan ringan, 5 bulan penjara dengan percobaan 10 bulan merujuk dakwaan alternatif ke-3 sesuai pasal 93 Undang Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan kesehatan.
Hasilnya tak jauh berbeda, setelah rangkaian sidang digelar cepat, termasuk pembacaan dakwaan, pembuktian dengan mengahdirkan alat bukti dan saksi-saksi serta pembacaan tuntutan. Ketuamajelis hakim perkara ini, Basuki Wiyono didampingi dua hakim lainnya memutuskan 13 terdakwa bersalah melanggar pasal tersebut, namun menjatuhkan hukuman penjara selama 4 bulan dengan ketentuan menjalani masa percobaan selama 8 bulan terlebih dahulu.
Dalam pertimbangan hakim, hal yang meringankan hukuman terdakwa lantaran terdakwa telah mengakui dan menyesali perbuatannya. Baca Lagi : 50 Warga Binaan Rutan Diusulkan Dapat Remisi: Bisa Pulang 1 Bulan ke Rumah
Kata Dr Firdaus Dewilmar, perkara yang ditangani oleh Jaksa Penuntut Umum Kejati Sulsel itu merupakan sebuah ujian bagi penegakan disiplin protokol kesehatan dalam masa pandemi. Menurutnya, dalam perkara ini memang sempat memunculkan perdebatan, apakah akan dilakukan pemberantan atau justru diberikan kebijaksanaan.
Pasalnya kata Kajati bergelar doktor tersebut, perkara ini tidak perlu disangkutkan dengan pidana, sebab perkara ini bukan tergolong kejahatan. Karenanya kata Dia, pihaknya lantas menjatuhkan tuntutan berupa percobaan, dengan beberapa alasan dan tujuan.
"Pertama kita menginginkan perkara ini harus diadili, namun kami memutuskan, karena perkara ini bukan kejahatan dan kami pikir ini juga menyangkut kearifan lokal (jenazah hendak di makamkan secara layak) makanya kita pikir, pendekatan yang kita utamakan adalah memberikan efek jera. Dan Alhamdulillah terdakwa menyesali perbuatannya dan berjanji akan berdisiplin menjalankan protokol kesehatan," jelas Firdaus kepada SINDOnews.
Dengan keluarnya putusan ini, Firdaus berharap masyarakat benar-benar paham kondisi dan tidak gegabah dalam mengambil sikap. Sebab kata dia perkara ini sudah menjadi contoh nyata, hukum oleh para penegak hukum tidak akan mundur dan akan selalu berupaya bersikap tegas. Baca Juga : Prof Hambali : Terlalu Berlebihan Jika Tersangka Jemput Paksa Dijerat Hukuman Berat
"Pada intinya kita harap dengan adanya kejadian ini, masyarakat mendapatkan edukasi. Bahwa kami benar benar serius dalam menegakkan hukum, apalagi ini menyangkut keamanan banyak orang dimasa pandemi COVID-19 saat ini, jadi kami harap, ini tidak terulang lagi," bebernya.
Terpisah, Asisten Tindak Pidana Umum Kejati Sulsel , Yudi Indra Gunawan mengatakan saat ini perkara penjemputan jenazah/pasien COVID-19 di Makassar memang secara keseluruhan tercatat ada 5 perkara, empat diantaranya sudah putus dengan hukuman percobaan.
Ia tak menampik, perkara ini memang merupakan perkara yang tidak mudah. Sebab menyangkut kedisiplinan umum. Namun meski begitu lantaran perkara ini dinilai bukan sebuah kejahatan, Kejaksaan Tinggi Sulsel memilih untuk memberikan edukasi kepada terdakwa dan masyarakat secara luas. Bahwa melanggar protokol kesehatan punya konsekuensi hukum.
"Karenanya ini jangan dipandang bahwa kami tidak serius, tapi ini karena ada pertimbangan dengan tujuan agar terdakwa dan masyarakat terdukasi. Itu yang lebih penting dari pada kita menuntut tinggi terdakwa," pungkasnya.
Diketahui sebelumnya saat tahap II dilakukan, Jaksa Penuntut Umum tak menampik menerapkan pasal berlapis, utamanya pasal 214 KUHP sebagai dakwaan primer, dengan ancaman hukuman selama 7 tahun penjara. Hanya saja, saat telah dilimpahkan ke pengadilan, secara tiba-tiba Hakim memutuskan untuk menjalankan Acara Pidana Singkat.
Belakangan, saat sidang berlangsung jaksa penuntut umum memang hanya menjatuhkan tuntutan ringan, 5 bulan penjara dengan percobaan 10 bulan merujuk dakwaan alternatif ke-3 sesuai pasal 93 Undang Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan kesehatan.
Hasilnya tak jauh berbeda, setelah rangkaian sidang digelar cepat, termasuk pembacaan dakwaan, pembuktian dengan mengahdirkan alat bukti dan saksi-saksi serta pembacaan tuntutan. Ketuamajelis hakim perkara ini, Basuki Wiyono didampingi dua hakim lainnya memutuskan 13 terdakwa bersalah melanggar pasal tersebut, namun menjatuhkan hukuman penjara selama 4 bulan dengan ketentuan menjalani masa percobaan selama 8 bulan terlebih dahulu.
Dalam pertimbangan hakim, hal yang meringankan hukuman terdakwa lantaran terdakwa telah mengakui dan menyesali perbuatannya. Baca Lagi : 50 Warga Binaan Rutan Diusulkan Dapat Remisi: Bisa Pulang 1 Bulan ke Rumah
(sri)