Prof Hambali : Terlalu Berlebihan Jika Tersangka Jemput Paksa Dijerat Hukuman Berat
loading...
A
A
A
MAKASSAR - Jeratan pasal berlapis dengan ancaman hukuman 7 tahun penjara untuk para tersangka kasus penjemputan paksa jenazah COVID-19 , dinggap berlebihan oleh Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Muslim Indonesia, Prof Hambali Thalib. Baca : 13 Tersangka Penjemput Paksa Jenazah COVID-19 Terancam Hukuman Berat
Menurut Hambali, pasal yang diterapkan Jaksa Penuntut Umum itu sangat tidak mengedukasi dan cenderung memberikan penghukuman yang berlebihan. "Itukan kalau ancaman hukumannya 7 tahun, atau tarolah hakim memutus 3/4 dari tuntutan, itu bukan mengedukasi itu memberikan hukuman berat. Makanya sebenarnya kalau saya kasih sanksinya itu jangan berlebihan, yang jelas pelaku menyadari perbuatannya dan tidak akan mengulangi perbuatannya. Itu sudah cukup," tukas Hambali kepada SINDOnews.
Hambali sendiri mengaku tidak sepakat dengan penjeratan hukuman pidana untuk para tersangka, meski tetap menghormati upaya yang dilakukana aparat penegak hukum di Sulsel. Kata Hambali, seharusnya dalam perkara ini pendekatan yang dilakukan adalah restorative justice, yakni penjatuhan sanksi yang berkeseimbangan yang pada intinya agar keadilan tetap ditegakkan. Baca Juga : Pesta Pernikahan Boleh Digelar di Hotel dengan Protokol Kesehatan Ketat
Apalagi berdasarkan surat edaran Kapolri, sejauh ini segala perbuatan yang melanggar protokol kesehatan tidak dihukum dengan pidana. Penyelesaian dengan metode mediasi lebih baik. "Yang jelas pelaku menyadari kesalahannya dan berjanji tidak akan melakukan perbuatannya lagi, saya pikir itu lebih bijaksana," ujarnya.
"Nah di sini akar masalahnya, kita tidak bisa memungkiri ada peran pemerintah untuk memberikan pemahaman pada masyarakat. Masyarakat mestinya mendapatkan sosialisasi yang lebih masif. Tapi itu bukan berarti hukum tidak lantas diabaikan. Tersangka penjemputan paksa jenazah COVID-19 ini sebaiknya diberikan hukum yang lebih edukatif, bukan malah menjerat dengan pasal yang berat," pungkasnya. Baca Lagi : Nasib 3 Terdakwa Korupsi Paud Bone Diputus Pekan Depan: Istri Wabup Belum 'Tersentuh'
Menurut Hambali, pasal yang diterapkan Jaksa Penuntut Umum itu sangat tidak mengedukasi dan cenderung memberikan penghukuman yang berlebihan. "Itukan kalau ancaman hukumannya 7 tahun, atau tarolah hakim memutus 3/4 dari tuntutan, itu bukan mengedukasi itu memberikan hukuman berat. Makanya sebenarnya kalau saya kasih sanksinya itu jangan berlebihan, yang jelas pelaku menyadari perbuatannya dan tidak akan mengulangi perbuatannya. Itu sudah cukup," tukas Hambali kepada SINDOnews.
Hambali sendiri mengaku tidak sepakat dengan penjeratan hukuman pidana untuk para tersangka, meski tetap menghormati upaya yang dilakukana aparat penegak hukum di Sulsel. Kata Hambali, seharusnya dalam perkara ini pendekatan yang dilakukan adalah restorative justice, yakni penjatuhan sanksi yang berkeseimbangan yang pada intinya agar keadilan tetap ditegakkan. Baca Juga : Pesta Pernikahan Boleh Digelar di Hotel dengan Protokol Kesehatan Ketat
Apalagi berdasarkan surat edaran Kapolri, sejauh ini segala perbuatan yang melanggar protokol kesehatan tidak dihukum dengan pidana. Penyelesaian dengan metode mediasi lebih baik. "Yang jelas pelaku menyadari kesalahannya dan berjanji tidak akan melakukan perbuatannya lagi, saya pikir itu lebih bijaksana," ujarnya.
"Nah di sini akar masalahnya, kita tidak bisa memungkiri ada peran pemerintah untuk memberikan pemahaman pada masyarakat. Masyarakat mestinya mendapatkan sosialisasi yang lebih masif. Tapi itu bukan berarti hukum tidak lantas diabaikan. Tersangka penjemputan paksa jenazah COVID-19 ini sebaiknya diberikan hukum yang lebih edukatif, bukan malah menjerat dengan pasal yang berat," pungkasnya. Baca Lagi : Nasib 3 Terdakwa Korupsi Paud Bone Diputus Pekan Depan: Istri Wabup Belum 'Tersentuh'
(sri)