Misteri Patih Kerajaan Sumedang dan Larangan Mengenakan Baju Batik
loading...
A
A
A
Kemudian Embah Jaya Perkasa berkata," Mengapa Gusti tidak melihat tanda yaitu pohon hanjuang yang hamba tanam?,". "Maafkan kami Eyang. Ketika itu kami sama sekali lupa,". "Dari siapa Gusti mendengar kabar bahwa hamba telah tewas?". "Dari Embah Nanganan," kata sang Prabu.
Mendengar jawaban Prabu Geusan Ulun demikian itu, Embah Jaya Perkasa semakin marah. Ketika itu juga Embah Nanganan ditikamnya sampai meninggal dunia. Adapun temannya yang dua orang lagi yaitu Embah Kondang Hapa dan Embah Batara Pencar Buana ditangkapnya dan dilemparkan melampaui gunung.
Embah Kondang Hapa jatuh di Citengah. Sampai sekarang penduduk Citengah, masih percaya bahwa tidak boleh mengucapkan kata "hapa" sebab roh Embah Kondang Hapa menitis kepada yang mengucapkannya. Makamnya sampai sekarang masih ada di Citengah. Embah Batara Pencar Buana atau Embah Terong Peot jatuhnya di daerah Cibungur.
Setelah ketiga temannya menjadi korban kemarahannya, Embah Jaya Perkasa mengucapkan kata-kata. "Kalau ada keturunan di Kutamaya, sejak saat ini janganlah mau mengabdi kepada menak sebab kerja berat tetapi tidak terpakai. Besok lusa jika aku dipanggil oleh Yang Maha Agung, mayatku janganlah sekali-kali dibaringkan, tetapi harus didudukkan. Jika ada anak cucuku atau siapa saja yang hendak menengok kuburanku janganlah memakai kain batik (dari Jawa),".
Setelah mengucapkan kata-kata itu Embah Jaya Perkasa terus ke Gunung Rengganis, di puncak gunung itu dia berdiri, kemudian menghilang, menghilang tanpa bekas. Di atas gunung tempat berdirinya Embah Jaya Perkasa kemudian ditemukan batu yang berdiri sampai sekarang batu itu menjadi batu keramat. Adapun Prabu Geusan Ulun sepeninggal keempat patihnya itu tidak pindah ke mana-mana, tetap mengolah negara Dayeuh luhur sampai wafatnya.
Sejak saat itulah, memakai baju batik menjadi larangan bagi keturunan Embah Jaya Perkasa, utamanya saat berziarah ke makamnya di Gunung Rengganis, Sumedang, Jawa Barat. Hal ini karena terkait sumpah yang diucapkan Embah Jaya Perkasa, saat menghilang tanpa bekas di Gunung tersebut usai menghadap sang Raja Prabu Geusan Ulun.
Dilansir dari sumedangtandang.com, Kabupaten Sumedang, memiliki perjalanan sejarah yang panjang. Sebelum berbentuk kabupaten, Sumedang merupakan sebuah kerajaan yang bernama Kerajaan Sumedang Larang.
Sebelum bernama Sumedang Larang, dalam sumedangtandang.com disebutkan cikal bakalnya bernama Kerajaan Tembong Agung yang didirikan oleh Prabu Aji Putih. Kemudian ketika kekuasaan kerajaan berpindah kepada putranya, nama kerajaan berganti menjadi Himbar Buana, dan berganti lagi menjadi Kerajaan Sumedang Larang.
Kerajaan Sumedang Larang menjadi pewaris kekuasaan Kerajaan Padjadjaran, ketika Kerajaan Pajajaran runtuh setelah menerima empat orang Kandaga Lante Kerajaan Pajadjaran, beserta simbol kerajaan berupa Mahkota Binokasih. Pada saat itu wilayah kekuasaan Kerajaan Sumedang Larang semakin luas sebagai warisan dari Kerajaan Padjadjaran.
Mendengar jawaban Prabu Geusan Ulun demikian itu, Embah Jaya Perkasa semakin marah. Ketika itu juga Embah Nanganan ditikamnya sampai meninggal dunia. Adapun temannya yang dua orang lagi yaitu Embah Kondang Hapa dan Embah Batara Pencar Buana ditangkapnya dan dilemparkan melampaui gunung.
Embah Kondang Hapa jatuh di Citengah. Sampai sekarang penduduk Citengah, masih percaya bahwa tidak boleh mengucapkan kata "hapa" sebab roh Embah Kondang Hapa menitis kepada yang mengucapkannya. Makamnya sampai sekarang masih ada di Citengah. Embah Batara Pencar Buana atau Embah Terong Peot jatuhnya di daerah Cibungur.
Setelah ketiga temannya menjadi korban kemarahannya, Embah Jaya Perkasa mengucapkan kata-kata. "Kalau ada keturunan di Kutamaya, sejak saat ini janganlah mau mengabdi kepada menak sebab kerja berat tetapi tidak terpakai. Besok lusa jika aku dipanggil oleh Yang Maha Agung, mayatku janganlah sekali-kali dibaringkan, tetapi harus didudukkan. Jika ada anak cucuku atau siapa saja yang hendak menengok kuburanku janganlah memakai kain batik (dari Jawa),".
Setelah mengucapkan kata-kata itu Embah Jaya Perkasa terus ke Gunung Rengganis, di puncak gunung itu dia berdiri, kemudian menghilang, menghilang tanpa bekas. Di atas gunung tempat berdirinya Embah Jaya Perkasa kemudian ditemukan batu yang berdiri sampai sekarang batu itu menjadi batu keramat. Adapun Prabu Geusan Ulun sepeninggal keempat patihnya itu tidak pindah ke mana-mana, tetap mengolah negara Dayeuh luhur sampai wafatnya.
Sejak saat itulah, memakai baju batik menjadi larangan bagi keturunan Embah Jaya Perkasa, utamanya saat berziarah ke makamnya di Gunung Rengganis, Sumedang, Jawa Barat. Hal ini karena terkait sumpah yang diucapkan Embah Jaya Perkasa, saat menghilang tanpa bekas di Gunung tersebut usai menghadap sang Raja Prabu Geusan Ulun.
Dilansir dari sumedangtandang.com, Kabupaten Sumedang, memiliki perjalanan sejarah yang panjang. Sebelum berbentuk kabupaten, Sumedang merupakan sebuah kerajaan yang bernama Kerajaan Sumedang Larang.
Sebelum bernama Sumedang Larang, dalam sumedangtandang.com disebutkan cikal bakalnya bernama Kerajaan Tembong Agung yang didirikan oleh Prabu Aji Putih. Kemudian ketika kekuasaan kerajaan berpindah kepada putranya, nama kerajaan berganti menjadi Himbar Buana, dan berganti lagi menjadi Kerajaan Sumedang Larang.
Kerajaan Sumedang Larang menjadi pewaris kekuasaan Kerajaan Padjadjaran, ketika Kerajaan Pajajaran runtuh setelah menerima empat orang Kandaga Lante Kerajaan Pajadjaran, beserta simbol kerajaan berupa Mahkota Binokasih. Pada saat itu wilayah kekuasaan Kerajaan Sumedang Larang semakin luas sebagai warisan dari Kerajaan Padjadjaran.