Misteri Patih Kerajaan Sumedang dan Larangan Mengenakan Baju Batik
loading...
A
A
A
Kerajaan Pajajaran dilanda kekacauan saat dipimpin Ratu Sakti. Sebagai pengganti Prabu Siliwangi, ratu Sakti yang bertabiat buruk, justru membawa Kerajaan Pajajaran pada langkah surut.
Kisah keburukan tabiat Ratu Sakti ini, diulas Fery Taufiq El-Jaquene dalam bukunya yang berjudul "Hitam Putih Pajajaran, Dari Kejayaan Hingga Keruntuhan Kerajaan Pajajaran".
Dalam buku tersebut, Fery juga menyebutkan munculnya harapan baru, saat Ratu Nilakendra naik tahta pada tahun 1551 Masehi, setelah Ratu Sakti tewas. Kenyataannya, Ratu Nilakendra yang memerintah Kerajaan Pajajaran selama 15 tahun, yakni tahun 1551-1567 Masehi, justru tersesat pada Sekte Tantra yang dianutnya.
Sebagai raja, Ratu Nilakendra tidak melanggar larangan adat apapun, tetapi dia terjebak dalam aliran Tantra. Yakni aliran yang rutinitas melakukan meditasi, dengan mengolaborasikan simbol Yoni dan Lingga.
Artinya, dalam melakukan ritual meditasi, Ratu Nilakendra juga melakukan persetubuhan dengan sejumlah wanita. Aliran ini juga dianut raja terakhir Kerajaan Singasari, Kertanegara.
Saat Ratu Nilakendra, terjerumus dalam aliran mistis Tantra di saat kerajaannya menghadapi ancaman serangan dari Banten, dan Demak. Tak hanya itu, kala itu rakyat di Kerajaan Pajajaran, juga tengah dilanda kelaparan hingga terpaksa menggunakan cara apapun untuk menyambung hidup.
Rakyat di Kerajaan Pajajaran, dibuat semakin kesal. Saat mereka kelaparan dan tak mendapatkan uluran tangan dari kerajaan. Justru Ratu Nilakendra memperindah keraton, dengan membangun taman yang megah.
Selain itu, Ratu Nilakendra membuat jalur penghubung antara taman dengan gerbang larangan menggunakan batu-batu. Dia juga melengkapi pernak-pernik istana dengan jimat-jimat, membangun rumah keramat sebanyak 17 baris yang ditulisi bermacam-macam kisah lingkup kerajaan menggunakan lempeng emas.
Ancaman dari Kesultanan Banten, dan Kesultanan Demak, membuat lingkungan Istana Kerajaan Pajajaran dilanda frustasi dan ketegangan yang mencekam menghadapi serangan musuh. Kondisi ini membuat raja beserta para pembesarnya, memperdalam aliran keagamaan Tantra.
Perselisihan antara Kerajaan Pajajaran, dengan Kesultanan Banten, dipicu oleh masalah perbatasan antar kerajaan. Masalah penentuan batas kerajaan tersebut, akhirnya memicu perang besar antara Kerajaan Pajajaran, dengan Kesultanan Demak.
Anehnya, sebagai penganut ajaran Tantra, Ratu Nilakendra membuat bendera keramat untuk melawan pasukan musuh. Bendera ini diandalkannya untuk mengusir musuh. Kekuatan gaib bendera itu, dipercaya dapat membuat pasukan musuh ketakutan saat menyerang Kerajaan Pajajaran.
Kenyataannya, pasukan Kesultanan Banten, tidak pernah merasa takut dengan bendera keramat tersebut. Hingga akhirnya pasukan Ratu Nilakendra berhasil dikalahkan, dan melarikan diri meninggalkan istana Kerajaan Pajajaran.
Pasukan Kesultanan Banten, yang dipimpin putera mahkota, Syeh Maulana Yusuf dapat menyerang hingga ke pusat kota Kerajaan Pajajaran. Saat Ratu Nilakendra melarikan diri, nasib Kerajaan Pajajaran sepenuhnya diserahkan kepada penduduk Pajajaran, serta prajurit yang tinggal di keraton.
Meski telah ditinggalkan oleh rajanya yang melarikan diri ke pedalaman Sunda. Pakuan Pajajaran masih sulit ditakhlukkan oleh pasukan Kesultanan Banten. Bahkan, butuh waktu hingga 12 tahun lamanya bagi Kesultanan Banten, untuk menakhlukkan Kerajaan Pajajaran.
Saat itu, Kerajaan Pajajaran memiliki patih yang sangat sakti, yakni Embah Jaya Perkasa atau Sanghiyang Hawu. Sebelum kabur meninggalkan istana karena tak kuasa menghadapi pasukan Syeh Maulana Yusuf, Ratu Nilakendra sempat memanggil empat patih yang sangat dipercaya di Kerajaan Pajajaran.
Keempat patih atau Kandaga Lente itu, adalah Sanghiyang Hawu (Embah Jaya Perkasa); Bantara Dipatiwijaya (Embah Nanganan); Sanghiyang Kondang Hapa; Batara Pancer Buana (Embah Terong Peot).
Dalam pertemuan tersebut, Ratu Nilakendra memberikan amanat untuk memberikan mahkota Kerajaan Pajajaran, kepada Raja Sumedang Larang, Prabu Geusan Ulun, sebagai penerus Kerajaan Pajajaran.
Para patih tersebut datang ke Sumedang Larang, untuk menyampaikan amanat Ratu Nilakendra, yaitu untuk berbakti kepada Kerajaan Sumedang Larang sebagai penerus Pajajaran.
Dengan adanya penyerahan mahkota dan penyertaan berbakti dari Raja Pajajaran, maka seluruh wilayah kekuasaan Pajajaran dikuasai oleh Sumedang Larang. Sehingga Embah Jaya Perkasa dan ke tiga saudaranya diangkat sebagai patih di Sumedang Larang.
Waktu itu dikisahkan, di daerah Sumedang sudah banyak masyarakat yang menganut agama Islam. Karenanya sang raja masih merasa banyak kekurangan di bidang Agama Islam. Prabu Geusan Ulun akhirnya berangkat ke Demak, untuk belajar agama Islam.
Keberangkatan Prabu Geusan Ulun diiringi ke empat patih yang setia tersebut. Usai berguru di Demak, hingga akhirnya Prabu Geusan Ulun pulang, sebelum sampai ke Sumedang Larang dia singgah ke Cirebon untuk bersilaturahmi dengan Pangeran Giri Laya (Raja Cirebon).
Pangeran Giri Laya menerima kedatangan Prabu Geusan Ulun, dan dirinya masih satu keturunan dari Sunan Gunung Jati. Rakyat dan keluarga kerajaan di Cirebon semua merasa segan, bahkan memuji kepada sang Prabu Geusan Ulun, karena sikapnya yang ramah, ditambah dengan ketampanan Sang Prabu yang tiada duanya.
Ketika Geusan Ulun memasuki pendapa, para menak dan Pangeran Cirebon terpesona melihat Raja Sumedang Larang. Badannya tinggi besar, wajahnya tampan, hidungnya mancung, keningnya bercahaya, dan sikapnya ramah tamah.
Ketika Pangeran Geusan Ulun bertukar pikiran dengan Pangeran Girilaya, permaisuri Pangeran Girilaya, Ratu Harisbaya menyajikan santapan. Ketika melihat Prabu Geusan Ulun, permaisuri itu terpukau dan jatuh hati dengan ketampanan Prabu Geusan.
Kemudian Prabu Geusan Ulun bermalam di masjid dengan alasan hendak menenangkan pikiran. Namun pada suatu hari, ketika Prabu Geusan Ulun tidur di masjid, pada tengah malam terdengar bunyi langkah orang yang mendekatinya.
Ketika sudah dekat ternyata orang itu adalah Ratu Harisbaya. Prabu Geusan Ulun sangat terkejut, seluruh badannya menggigil ketakutan, pikirannya gelap tidak tahu apa yang harus diperbuat.
Segeralah dia memanggil keempat patihnya, baginda mengajak berunding bagaimana caranya menasihati Ratu Harisbaya yang sudah tergila-gila olehnya, yang akan bunuh diri jika tidak terlaksana.
Prabu Geusan Ulun sangat bingung menghadapi perkara yang sangat sulit itu. Namun menurut saran Embah Jaya Perkasa, Ratu Harisbaya lebih baik dibawa ke Sumedang Larang sebab jika dibawa atau tidak tetap akan menimbulkan keributan.
Sehingga malam itu juga Prabu Geusan Ulun, keempat pengiringnya, dan Ratu Harisbaya berangkat ke Sumedang Larang tanpa pamit lebih dulu kepada Pangeran Girilaya. Keesokan harinya di Keraton Cirebon gempar bahwa Ratu Harisbaya hilang meninggalkan Pangeran Gerilaya.
Dicarinya ke masjid, teryata para tamunya sudah tidak ada. Segeralah Pangeran Girilaya membentuk pasukan untuk mengejar dan menyerang Prabu Geusan Ulun. Dalam pengejaran di suatu tempat tercium bau wangi pakaian Ratu Harisbaya. Tempat itu kemudian disebut Darmawangi.
Pasukan tentara Cirebon bersiap-siap hendak menyergap Prabu Geusan Ulun. Terjadilah pertempuran yang seru antara ke empat pengiring dengan pasukan Cirebon. Namun pasukan Cirebon diamuk oleh Embah Jaya Perkasa sehingga lari tunggang langgang.
Prabu Geusan Ulun, keempat pengiringnya, dan Putri Harisbaya sudah tiba di Kutamaya. Ratu Harisbaya ditempatkan di sebuah tempat yang dijaga ketat oleh hulubalang. Baginda Prabu Geusan Ulun tidak berani dekat-dekat apalagi memegang tangannya sebab Putri Harisbaya belum menjadi istri, belum diceraikan oleh Pangeran Girilaya.
Pada suatu waktu terbetiklah berita oleh Embah Jaya Perkasa bahwa Cirebon, akan menyerang Sumedang Larang. Berita itu segera disampaikan kepada ketiga temannya dan kemudian keempat orang itu menghadap Prabu Geusan Ulun untuk dirundingkan.
Keris Panunggul Naga milik raja kerakhir Kerajaan Sumedang Larang, Prabu Geusan Ulun. Foto/Dok. Museum Prabu Geusan Ulun
Dalam perundingan diputuskan bahwa tentara Cirebon, sebelum menyerang harus dihadang di perbatasan jangan sampai Sumedang Larang dijadikan medan pertempuran. Embah Jaya Perkasa berkata kepada Prabu Geusan Ulun.
"Paduka yang mulia!. Hamba berempat sanggup menghadap musuh. Gusti jangan khawatir dan jangan gentar, diam saja di keraton. Hanya hamba akan memberi tanda yaitu hamba akan menanamkan pohon hanjuangi) di sudut alun-alun. Nanti, jika perang sudah selesai, lihatlah! Jika pohon hanjuang itu rontok daunnya suatu tanda bahwa hamba gugur di medan perang, tetapi jika pohon itu tetap segar dan tumbuh subur itu suatu tanda bahwa hamba unggul di medan perang,".
Setelah berkata demikian Embah Jaya Perkasa segera menanamkan pohon hanjuang di sudut alun-alun. Pohon hanjuang itu tumbuh dengan suburnya bagai ditanam sudah beberapa minggu saja. Selesai menanamkan pohon hanjuang, berangkatlah keempat andalan negara itu ke medan perang, mempertaruhkan nyawanya.
Sesampainya di perbatasan, terlihat tentara Cirebon sedang berjalan berbaris menuju Sumedang Larang. Melihat barisan tentara Cirebon yang sangat panjang itu segeralah keempat patih bersujud memohon perlindungan kepada Yang Maha Agung.
Terjadilah perang yang seru sekali. Berkat kesaktian keempat patih itu tentara Cirebon banyak yang tewas. Embah Jaya Perkasa mengamuk di tengah-tengah barisan tentara Cirebon, terus mengobrak-abrik.
Mayat bergelimpangan bertumpang tindih tak terhitung banyaknya, sehingga beberapa tentara Cirebon yang masih hidup lari tunggang-langgang. Tentara Cirebon yang masih hidup itu terus dikejar oleh keempat patih.
Embah Jaya Perkasa yang telah banyak membunuh, makin bersemangat, dia terus mengejarnya, makin lama makin jauh dari ketiga temannya. Setelah sekian lamanya Embah Jaya Perkasa tidak kelihatan kembali.
Karena tidak kunjung datang, ketiga patih lainnya pulang ke Sumedang Larang, akan mengabarkan keadaan Embah Jaya Perkasa kepada Prabu Geusan Ulun. Mendengar berita hilangnya Embah Jaya Perkosa, Prabu Geusan Ulun bingung, tidak tahu apa yang harus dikerjakan.
Akhirnya tanpa melihat pohon hanjuang di sudut alun-alun, sang prabu memerintahkan agar semua rakyat yang mau mengabdi segera meninggalkan Sumedang Larang. Mendengar titah rajanya itu segeralah rakyat mengikuti rajanya dengan membawa apa saja yang dapat dibawanya.
Rombongan Prabu Geusan Ulun sudah sampai di Batugara. Di sana permaisuri baginda, yang bernama Nyi Mas Gedeng Waru, sakit keras sampai wafatnya. Karena Batugara tidak cocok untuk keraton kemudian terus menuju lereng sebuah gunung, di sana dapat melihat pemandangan ke mana-mana.
Sesudah beristirahat, lereng gunung itu dibuka dan didirikanlah keraton serta alun-alun. Bekas alun-alun itu sekarang masih ada disebut Dayeuhluhur. Syahdan, Embah Jaya Perkasa yang mengejar-ngejar sisa tentara Cirebon, kemudian kembali ke tempat ketiga patih menunggu.
Ketika tiba di sana ketiganya tidak ada, dicarinya ke mana-mana tidak dijumpainya, kemudian dia menuju Kutamaya. Setiba di sana seorang pun tidak ditemukannya, terus dia lari ke alun-alun melihat pohon hanjuang yang ditanamnya dahulu. Ternyata pohon itu tumbuh subur, daunnya banyak. Dengan demikian dia bertambah marah.
Ketika berpaling ke sebelah timur terlihat olehnya asap mengepul-ngepul di lereng gunung. Dengan mengentakkan kakinya keras-keras ke bumi, seketika itu juga dia sudah berdiri, di lereng gunung itu. Gunung itu sekarang disebut Gunung Pangadegan.
Tidak lama Embah Jaya Perkasa sudah berhadapan dengan Prabu Geusan Ulun, dia menyembah kemudian berkata. "Gusti! Mengapa kerajaan Gusti tinggalkan? Tidaklah Gusti percaya kepada hamba?".
Prabu Geusan Ulun bertitah dengan suara perlahan-lahan. "Oh, Eyang! Eyanglah tulang punggung Kerajaan Sumedang Larang. Kami merasa gugup setelah mendengar berita bahwa Eyang tewas dalam medan perang. Kami ingin menyelamatkan rakyat maka kami pergi meninggalkan Kutamaya. Dari sini terlihat jelas ke mana-mana dan musuh pun dari jauh sudah terlihat,".
Kemudian Embah Jaya Perkasa berkata," Mengapa Gusti tidak melihat tanda yaitu pohon hanjuang yang hamba tanam?,". "Maafkan kami Eyang. Ketika itu kami sama sekali lupa,". "Dari siapa Gusti mendengar kabar bahwa hamba telah tewas?". "Dari Embah Nanganan," kata sang Prabu.
Mendengar jawaban Prabu Geusan Ulun demikian itu, Embah Jaya Perkasa semakin marah. Ketika itu juga Embah Nanganan ditikamnya sampai meninggal dunia. Adapun temannya yang dua orang lagi yaitu Embah Kondang Hapa dan Embah Batara Pencar Buana ditangkapnya dan dilemparkan melampaui gunung.
Embah Kondang Hapa jatuh di Citengah. Sampai sekarang penduduk Citengah, masih percaya bahwa tidak boleh mengucapkan kata "hapa" sebab roh Embah Kondang Hapa menitis kepada yang mengucapkannya. Makamnya sampai sekarang masih ada di Citengah. Embah Batara Pencar Buana atau Embah Terong Peot jatuhnya di daerah Cibungur.
Setelah ketiga temannya menjadi korban kemarahannya, Embah Jaya Perkasa mengucapkan kata-kata. "Kalau ada keturunan di Kutamaya, sejak saat ini janganlah mau mengabdi kepada menak sebab kerja berat tetapi tidak terpakai. Besok lusa jika aku dipanggil oleh Yang Maha Agung, mayatku janganlah sekali-kali dibaringkan, tetapi harus didudukkan. Jika ada anak cucuku atau siapa saja yang hendak menengok kuburanku janganlah memakai kain batik (dari Jawa),".
Setelah mengucapkan kata-kata itu Embah Jaya Perkasa terus ke Gunung Rengganis, di puncak gunung itu dia berdiri, kemudian menghilang, menghilang tanpa bekas. Di atas gunung tempat berdirinya Embah Jaya Perkasa kemudian ditemukan batu yang berdiri sampai sekarang batu itu menjadi batu keramat. Adapun Prabu Geusan Ulun sepeninggal keempat patihnya itu tidak pindah ke mana-mana, tetap mengolah negara Dayeuh luhur sampai wafatnya.
Sejak saat itulah, memakai baju batik menjadi larangan bagi keturunan Embah Jaya Perkasa, utamanya saat berziarah ke makamnya di Gunung Rengganis, Sumedang, Jawa Barat. Hal ini karena terkait sumpah yang diucapkan Embah Jaya Perkasa, saat menghilang tanpa bekas di Gunung tersebut usai menghadap sang Raja Prabu Geusan Ulun.
Dilansir dari sumedangtandang.com, Kabupaten Sumedang, memiliki perjalanan sejarah yang panjang. Sebelum berbentuk kabupaten, Sumedang merupakan sebuah kerajaan yang bernama Kerajaan Sumedang Larang.
Sebelum bernama Sumedang Larang, dalam sumedangtandang.com disebutkan cikal bakalnya bernama Kerajaan Tembong Agung yang didirikan oleh Prabu Aji Putih. Kemudian ketika kekuasaan kerajaan berpindah kepada putranya, nama kerajaan berganti menjadi Himbar Buana, dan berganti lagi menjadi Kerajaan Sumedang Larang.
Kerajaan Sumedang Larang menjadi pewaris kekuasaan Kerajaan Padjadjaran, ketika Kerajaan Pajajaran runtuh setelah menerima empat orang Kandaga Lante Kerajaan Pajadjaran, beserta simbol kerajaan berupa Mahkota Binokasih. Pada saat itu wilayah kekuasaan Kerajaan Sumedang Larang semakin luas sebagai warisan dari Kerajaan Padjadjaran.
Sepeninggal Prabu Geusan Ulun, kekuasaan Kerajaan Sumedang Larang melemah menyebabkan banyak wilayah yang melepaskan diri dari kekuasaan Kerajaan Sumedang Larang. Dan akhirnya kekuasaannya hanya meliputi Parakanmuncang, Bandung dan Sukapura saja.
Ketika Kerajaan Mataram memperluas kekuasaannya sampai ke wilayah Jawa Barat, Sumedang memilih untuk tunduk dan menjadi bagian dari kekuasaan Kerajaan Mataram, dengan status bukan lagi sebagai kerajaan namun lebih sebagai sebuah kabupaten.
Saat VOC Belanda mulai berkuasa dan merebut wilayah Jawa Barat dari Kerajaan Mataram, wilayah Jawa Barat dibagi menjadi beberapa kabupaten, termasuk Kabupaten Sumedang. Pada masa setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, Kabupaten Sumedang resmi menjadi wilayah Jawa Barat, berdasarkan UU No. 14/1950 tentang Pembentukan Daerah-daerah Kabupaten dalam Lingkungan Provinsi Djawa Barat.
Baca Juga
Kisah keburukan tabiat Ratu Sakti ini, diulas Fery Taufiq El-Jaquene dalam bukunya yang berjudul "Hitam Putih Pajajaran, Dari Kejayaan Hingga Keruntuhan Kerajaan Pajajaran".
Dalam buku tersebut, Fery juga menyebutkan munculnya harapan baru, saat Ratu Nilakendra naik tahta pada tahun 1551 Masehi, setelah Ratu Sakti tewas. Kenyataannya, Ratu Nilakendra yang memerintah Kerajaan Pajajaran selama 15 tahun, yakni tahun 1551-1567 Masehi, justru tersesat pada Sekte Tantra yang dianutnya.
Sebagai raja, Ratu Nilakendra tidak melanggar larangan adat apapun, tetapi dia terjebak dalam aliran Tantra. Yakni aliran yang rutinitas melakukan meditasi, dengan mengolaborasikan simbol Yoni dan Lingga.
Artinya, dalam melakukan ritual meditasi, Ratu Nilakendra juga melakukan persetubuhan dengan sejumlah wanita. Aliran ini juga dianut raja terakhir Kerajaan Singasari, Kertanegara.
Saat Ratu Nilakendra, terjerumus dalam aliran mistis Tantra di saat kerajaannya menghadapi ancaman serangan dari Banten, dan Demak. Tak hanya itu, kala itu rakyat di Kerajaan Pajajaran, juga tengah dilanda kelaparan hingga terpaksa menggunakan cara apapun untuk menyambung hidup.
Rakyat di Kerajaan Pajajaran, dibuat semakin kesal. Saat mereka kelaparan dan tak mendapatkan uluran tangan dari kerajaan. Justru Ratu Nilakendra memperindah keraton, dengan membangun taman yang megah.
Selain itu, Ratu Nilakendra membuat jalur penghubung antara taman dengan gerbang larangan menggunakan batu-batu. Dia juga melengkapi pernak-pernik istana dengan jimat-jimat, membangun rumah keramat sebanyak 17 baris yang ditulisi bermacam-macam kisah lingkup kerajaan menggunakan lempeng emas.
Baca Juga
Ancaman dari Kesultanan Banten, dan Kesultanan Demak, membuat lingkungan Istana Kerajaan Pajajaran dilanda frustasi dan ketegangan yang mencekam menghadapi serangan musuh. Kondisi ini membuat raja beserta para pembesarnya, memperdalam aliran keagamaan Tantra.
Perselisihan antara Kerajaan Pajajaran, dengan Kesultanan Banten, dipicu oleh masalah perbatasan antar kerajaan. Masalah penentuan batas kerajaan tersebut, akhirnya memicu perang besar antara Kerajaan Pajajaran, dengan Kesultanan Demak.
Anehnya, sebagai penganut ajaran Tantra, Ratu Nilakendra membuat bendera keramat untuk melawan pasukan musuh. Bendera ini diandalkannya untuk mengusir musuh. Kekuatan gaib bendera itu, dipercaya dapat membuat pasukan musuh ketakutan saat menyerang Kerajaan Pajajaran.
Kenyataannya, pasukan Kesultanan Banten, tidak pernah merasa takut dengan bendera keramat tersebut. Hingga akhirnya pasukan Ratu Nilakendra berhasil dikalahkan, dan melarikan diri meninggalkan istana Kerajaan Pajajaran.
Pasukan Kesultanan Banten, yang dipimpin putera mahkota, Syeh Maulana Yusuf dapat menyerang hingga ke pusat kota Kerajaan Pajajaran. Saat Ratu Nilakendra melarikan diri, nasib Kerajaan Pajajaran sepenuhnya diserahkan kepada penduduk Pajajaran, serta prajurit yang tinggal di keraton.
Meski telah ditinggalkan oleh rajanya yang melarikan diri ke pedalaman Sunda. Pakuan Pajajaran masih sulit ditakhlukkan oleh pasukan Kesultanan Banten. Bahkan, butuh waktu hingga 12 tahun lamanya bagi Kesultanan Banten, untuk menakhlukkan Kerajaan Pajajaran.
Saat itu, Kerajaan Pajajaran memiliki patih yang sangat sakti, yakni Embah Jaya Perkasa atau Sanghiyang Hawu. Sebelum kabur meninggalkan istana karena tak kuasa menghadapi pasukan Syeh Maulana Yusuf, Ratu Nilakendra sempat memanggil empat patih yang sangat dipercaya di Kerajaan Pajajaran.
Keempat patih atau Kandaga Lente itu, adalah Sanghiyang Hawu (Embah Jaya Perkasa); Bantara Dipatiwijaya (Embah Nanganan); Sanghiyang Kondang Hapa; Batara Pancer Buana (Embah Terong Peot).
Dalam pertemuan tersebut, Ratu Nilakendra memberikan amanat untuk memberikan mahkota Kerajaan Pajajaran, kepada Raja Sumedang Larang, Prabu Geusan Ulun, sebagai penerus Kerajaan Pajajaran.
Para patih tersebut datang ke Sumedang Larang, untuk menyampaikan amanat Ratu Nilakendra, yaitu untuk berbakti kepada Kerajaan Sumedang Larang sebagai penerus Pajajaran.
Dengan adanya penyerahan mahkota dan penyertaan berbakti dari Raja Pajajaran, maka seluruh wilayah kekuasaan Pajajaran dikuasai oleh Sumedang Larang. Sehingga Embah Jaya Perkasa dan ke tiga saudaranya diangkat sebagai patih di Sumedang Larang.
Waktu itu dikisahkan, di daerah Sumedang sudah banyak masyarakat yang menganut agama Islam. Karenanya sang raja masih merasa banyak kekurangan di bidang Agama Islam. Prabu Geusan Ulun akhirnya berangkat ke Demak, untuk belajar agama Islam.
Keberangkatan Prabu Geusan Ulun diiringi ke empat patih yang setia tersebut. Usai berguru di Demak, hingga akhirnya Prabu Geusan Ulun pulang, sebelum sampai ke Sumedang Larang dia singgah ke Cirebon untuk bersilaturahmi dengan Pangeran Giri Laya (Raja Cirebon).
Pangeran Giri Laya menerima kedatangan Prabu Geusan Ulun, dan dirinya masih satu keturunan dari Sunan Gunung Jati. Rakyat dan keluarga kerajaan di Cirebon semua merasa segan, bahkan memuji kepada sang Prabu Geusan Ulun, karena sikapnya yang ramah, ditambah dengan ketampanan Sang Prabu yang tiada duanya.
Ketika Geusan Ulun memasuki pendapa, para menak dan Pangeran Cirebon terpesona melihat Raja Sumedang Larang. Badannya tinggi besar, wajahnya tampan, hidungnya mancung, keningnya bercahaya, dan sikapnya ramah tamah.
Ketika Pangeran Geusan Ulun bertukar pikiran dengan Pangeran Girilaya, permaisuri Pangeran Girilaya, Ratu Harisbaya menyajikan santapan. Ketika melihat Prabu Geusan Ulun, permaisuri itu terpukau dan jatuh hati dengan ketampanan Prabu Geusan.
Kemudian Prabu Geusan Ulun bermalam di masjid dengan alasan hendak menenangkan pikiran. Namun pada suatu hari, ketika Prabu Geusan Ulun tidur di masjid, pada tengah malam terdengar bunyi langkah orang yang mendekatinya.
Ketika sudah dekat ternyata orang itu adalah Ratu Harisbaya. Prabu Geusan Ulun sangat terkejut, seluruh badannya menggigil ketakutan, pikirannya gelap tidak tahu apa yang harus diperbuat.
Segeralah dia memanggil keempat patihnya, baginda mengajak berunding bagaimana caranya menasihati Ratu Harisbaya yang sudah tergila-gila olehnya, yang akan bunuh diri jika tidak terlaksana.
Prabu Geusan Ulun sangat bingung menghadapi perkara yang sangat sulit itu. Namun menurut saran Embah Jaya Perkasa, Ratu Harisbaya lebih baik dibawa ke Sumedang Larang sebab jika dibawa atau tidak tetap akan menimbulkan keributan.
Baca Juga
Sehingga malam itu juga Prabu Geusan Ulun, keempat pengiringnya, dan Ratu Harisbaya berangkat ke Sumedang Larang tanpa pamit lebih dulu kepada Pangeran Girilaya. Keesokan harinya di Keraton Cirebon gempar bahwa Ratu Harisbaya hilang meninggalkan Pangeran Gerilaya.
Dicarinya ke masjid, teryata para tamunya sudah tidak ada. Segeralah Pangeran Girilaya membentuk pasukan untuk mengejar dan menyerang Prabu Geusan Ulun. Dalam pengejaran di suatu tempat tercium bau wangi pakaian Ratu Harisbaya. Tempat itu kemudian disebut Darmawangi.
Pasukan tentara Cirebon bersiap-siap hendak menyergap Prabu Geusan Ulun. Terjadilah pertempuran yang seru antara ke empat pengiring dengan pasukan Cirebon. Namun pasukan Cirebon diamuk oleh Embah Jaya Perkasa sehingga lari tunggang langgang.
Prabu Geusan Ulun, keempat pengiringnya, dan Putri Harisbaya sudah tiba di Kutamaya. Ratu Harisbaya ditempatkan di sebuah tempat yang dijaga ketat oleh hulubalang. Baginda Prabu Geusan Ulun tidak berani dekat-dekat apalagi memegang tangannya sebab Putri Harisbaya belum menjadi istri, belum diceraikan oleh Pangeran Girilaya.
Pada suatu waktu terbetiklah berita oleh Embah Jaya Perkasa bahwa Cirebon, akan menyerang Sumedang Larang. Berita itu segera disampaikan kepada ketiga temannya dan kemudian keempat orang itu menghadap Prabu Geusan Ulun untuk dirundingkan.
Keris Panunggul Naga milik raja kerakhir Kerajaan Sumedang Larang, Prabu Geusan Ulun. Foto/Dok. Museum Prabu Geusan Ulun
Dalam perundingan diputuskan bahwa tentara Cirebon, sebelum menyerang harus dihadang di perbatasan jangan sampai Sumedang Larang dijadikan medan pertempuran. Embah Jaya Perkasa berkata kepada Prabu Geusan Ulun.
"Paduka yang mulia!. Hamba berempat sanggup menghadap musuh. Gusti jangan khawatir dan jangan gentar, diam saja di keraton. Hanya hamba akan memberi tanda yaitu hamba akan menanamkan pohon hanjuangi) di sudut alun-alun. Nanti, jika perang sudah selesai, lihatlah! Jika pohon hanjuang itu rontok daunnya suatu tanda bahwa hamba gugur di medan perang, tetapi jika pohon itu tetap segar dan tumbuh subur itu suatu tanda bahwa hamba unggul di medan perang,".
Setelah berkata demikian Embah Jaya Perkasa segera menanamkan pohon hanjuang di sudut alun-alun. Pohon hanjuang itu tumbuh dengan suburnya bagai ditanam sudah beberapa minggu saja. Selesai menanamkan pohon hanjuang, berangkatlah keempat andalan negara itu ke medan perang, mempertaruhkan nyawanya.
Sesampainya di perbatasan, terlihat tentara Cirebon sedang berjalan berbaris menuju Sumedang Larang. Melihat barisan tentara Cirebon yang sangat panjang itu segeralah keempat patih bersujud memohon perlindungan kepada Yang Maha Agung.
Terjadilah perang yang seru sekali. Berkat kesaktian keempat patih itu tentara Cirebon banyak yang tewas. Embah Jaya Perkasa mengamuk di tengah-tengah barisan tentara Cirebon, terus mengobrak-abrik.
Mayat bergelimpangan bertumpang tindih tak terhitung banyaknya, sehingga beberapa tentara Cirebon yang masih hidup lari tunggang-langgang. Tentara Cirebon yang masih hidup itu terus dikejar oleh keempat patih.
Embah Jaya Perkasa yang telah banyak membunuh, makin bersemangat, dia terus mengejarnya, makin lama makin jauh dari ketiga temannya. Setelah sekian lamanya Embah Jaya Perkasa tidak kelihatan kembali.
Karena tidak kunjung datang, ketiga patih lainnya pulang ke Sumedang Larang, akan mengabarkan keadaan Embah Jaya Perkasa kepada Prabu Geusan Ulun. Mendengar berita hilangnya Embah Jaya Perkosa, Prabu Geusan Ulun bingung, tidak tahu apa yang harus dikerjakan.
Akhirnya tanpa melihat pohon hanjuang di sudut alun-alun, sang prabu memerintahkan agar semua rakyat yang mau mengabdi segera meninggalkan Sumedang Larang. Mendengar titah rajanya itu segeralah rakyat mengikuti rajanya dengan membawa apa saja yang dapat dibawanya.
Rombongan Prabu Geusan Ulun sudah sampai di Batugara. Di sana permaisuri baginda, yang bernama Nyi Mas Gedeng Waru, sakit keras sampai wafatnya. Karena Batugara tidak cocok untuk keraton kemudian terus menuju lereng sebuah gunung, di sana dapat melihat pemandangan ke mana-mana.
Baca Juga
Sesudah beristirahat, lereng gunung itu dibuka dan didirikanlah keraton serta alun-alun. Bekas alun-alun itu sekarang masih ada disebut Dayeuhluhur. Syahdan, Embah Jaya Perkasa yang mengejar-ngejar sisa tentara Cirebon, kemudian kembali ke tempat ketiga patih menunggu.
Ketika tiba di sana ketiganya tidak ada, dicarinya ke mana-mana tidak dijumpainya, kemudian dia menuju Kutamaya. Setiba di sana seorang pun tidak ditemukannya, terus dia lari ke alun-alun melihat pohon hanjuang yang ditanamnya dahulu. Ternyata pohon itu tumbuh subur, daunnya banyak. Dengan demikian dia bertambah marah.
Ketika berpaling ke sebelah timur terlihat olehnya asap mengepul-ngepul di lereng gunung. Dengan mengentakkan kakinya keras-keras ke bumi, seketika itu juga dia sudah berdiri, di lereng gunung itu. Gunung itu sekarang disebut Gunung Pangadegan.
Tidak lama Embah Jaya Perkasa sudah berhadapan dengan Prabu Geusan Ulun, dia menyembah kemudian berkata. "Gusti! Mengapa kerajaan Gusti tinggalkan? Tidaklah Gusti percaya kepada hamba?".
Prabu Geusan Ulun bertitah dengan suara perlahan-lahan. "Oh, Eyang! Eyanglah tulang punggung Kerajaan Sumedang Larang. Kami merasa gugup setelah mendengar berita bahwa Eyang tewas dalam medan perang. Kami ingin menyelamatkan rakyat maka kami pergi meninggalkan Kutamaya. Dari sini terlihat jelas ke mana-mana dan musuh pun dari jauh sudah terlihat,".
Kemudian Embah Jaya Perkasa berkata," Mengapa Gusti tidak melihat tanda yaitu pohon hanjuang yang hamba tanam?,". "Maafkan kami Eyang. Ketika itu kami sama sekali lupa,". "Dari siapa Gusti mendengar kabar bahwa hamba telah tewas?". "Dari Embah Nanganan," kata sang Prabu.
Mendengar jawaban Prabu Geusan Ulun demikian itu, Embah Jaya Perkasa semakin marah. Ketika itu juga Embah Nanganan ditikamnya sampai meninggal dunia. Adapun temannya yang dua orang lagi yaitu Embah Kondang Hapa dan Embah Batara Pencar Buana ditangkapnya dan dilemparkan melampaui gunung.
Embah Kondang Hapa jatuh di Citengah. Sampai sekarang penduduk Citengah, masih percaya bahwa tidak boleh mengucapkan kata "hapa" sebab roh Embah Kondang Hapa menitis kepada yang mengucapkannya. Makamnya sampai sekarang masih ada di Citengah. Embah Batara Pencar Buana atau Embah Terong Peot jatuhnya di daerah Cibungur.
Setelah ketiga temannya menjadi korban kemarahannya, Embah Jaya Perkasa mengucapkan kata-kata. "Kalau ada keturunan di Kutamaya, sejak saat ini janganlah mau mengabdi kepada menak sebab kerja berat tetapi tidak terpakai. Besok lusa jika aku dipanggil oleh Yang Maha Agung, mayatku janganlah sekali-kali dibaringkan, tetapi harus didudukkan. Jika ada anak cucuku atau siapa saja yang hendak menengok kuburanku janganlah memakai kain batik (dari Jawa),".
Setelah mengucapkan kata-kata itu Embah Jaya Perkasa terus ke Gunung Rengganis, di puncak gunung itu dia berdiri, kemudian menghilang, menghilang tanpa bekas. Di atas gunung tempat berdirinya Embah Jaya Perkasa kemudian ditemukan batu yang berdiri sampai sekarang batu itu menjadi batu keramat. Adapun Prabu Geusan Ulun sepeninggal keempat patihnya itu tidak pindah ke mana-mana, tetap mengolah negara Dayeuh luhur sampai wafatnya.
Sejak saat itulah, memakai baju batik menjadi larangan bagi keturunan Embah Jaya Perkasa, utamanya saat berziarah ke makamnya di Gunung Rengganis, Sumedang, Jawa Barat. Hal ini karena terkait sumpah yang diucapkan Embah Jaya Perkasa, saat menghilang tanpa bekas di Gunung tersebut usai menghadap sang Raja Prabu Geusan Ulun.
Dilansir dari sumedangtandang.com, Kabupaten Sumedang, memiliki perjalanan sejarah yang panjang. Sebelum berbentuk kabupaten, Sumedang merupakan sebuah kerajaan yang bernama Kerajaan Sumedang Larang.
Sebelum bernama Sumedang Larang, dalam sumedangtandang.com disebutkan cikal bakalnya bernama Kerajaan Tembong Agung yang didirikan oleh Prabu Aji Putih. Kemudian ketika kekuasaan kerajaan berpindah kepada putranya, nama kerajaan berganti menjadi Himbar Buana, dan berganti lagi menjadi Kerajaan Sumedang Larang.
Kerajaan Sumedang Larang menjadi pewaris kekuasaan Kerajaan Padjadjaran, ketika Kerajaan Pajajaran runtuh setelah menerima empat orang Kandaga Lante Kerajaan Pajadjaran, beserta simbol kerajaan berupa Mahkota Binokasih. Pada saat itu wilayah kekuasaan Kerajaan Sumedang Larang semakin luas sebagai warisan dari Kerajaan Padjadjaran.
Sepeninggal Prabu Geusan Ulun, kekuasaan Kerajaan Sumedang Larang melemah menyebabkan banyak wilayah yang melepaskan diri dari kekuasaan Kerajaan Sumedang Larang. Dan akhirnya kekuasaannya hanya meliputi Parakanmuncang, Bandung dan Sukapura saja.
Ketika Kerajaan Mataram memperluas kekuasaannya sampai ke wilayah Jawa Barat, Sumedang memilih untuk tunduk dan menjadi bagian dari kekuasaan Kerajaan Mataram, dengan status bukan lagi sebagai kerajaan namun lebih sebagai sebuah kabupaten.
Saat VOC Belanda mulai berkuasa dan merebut wilayah Jawa Barat dari Kerajaan Mataram, wilayah Jawa Barat dibagi menjadi beberapa kabupaten, termasuk Kabupaten Sumedang. Pada masa setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, Kabupaten Sumedang resmi menjadi wilayah Jawa Barat, berdasarkan UU No. 14/1950 tentang Pembentukan Daerah-daerah Kabupaten dalam Lingkungan Provinsi Djawa Barat.
(eyt)