Sosialisasi KUHP Baru Penting untuk Wujudkan Reformasi Sistem Hukum Pidana

Rabu, 11 Januari 2023 - 17:41 WIB
loading...
A A A
Prof. Benny mengungkapkan, urgensitas mengganti KUHP lama menjadi KUHP Nasional adalah pertama, karena telah terjadi pergeseran paradigma keadilan, yang dulu menggunakan paradigma keadilan retributif, menjadi keadilan yang korektif bagi pelaku, restoratif bagi korban dan rehabilitatif bagi korban maupun pelaku.

Selain itu juga merupakan perwujudan reformasi sistem hukum secara menyeluruh yang sesuai dengan nilai-nilai bangsa dan HAM secara universal.

Menurut Prof. Benny, pada 18 September 2019, sebenarnya draft RUU KUHP sudah siap untuk dibahas dan disetujui. Namun Presiden Jokowi menyadari bahwa perlu adanya penundaan didalam penetapan paripurna karena beberapa persoalan yang perlu dituntaskan, yakni 14 isu krusial.

“Pemerintah telah mengakomodasi seluruh masukan dari para stakeholder, mulai dari kementerian dan lembaga terkait hingga partisipasi seluruh masyarakat Indonesia, termasuk juga para akademisi. Bukan hanya itu, namun juga telah dilakukannya public hearing yang telah dilaksanakan sesuai dengan arahan Mahkamah Konstitusi, yakni meaningful participation, yaitu adanya hak untuk didengarkan, hak untuk mendapat penjelasan dan hak untuk dipertimbangkan”, lanjut Prof. Benny.

Karena banyaknya masukan yang sangat beragam sudut pandang dari masyarakat, sehingga dalam KUHP Nasional mencoba untuk mencari jalan tengah, sebagai contoh dengan adanya Pasal Kohabitasi yang berstatus delik aduan.

Masih di acara sosialisasi tersebut, Prof. Dr. Harkristuti Harkrisnowo, SH., MA., Ph.D, mengatakan bahwa adanya Living Law dalam KUHP Nasional merupakan sebuah penghargaan kepada masyarakat hukum adat. Namun ada kekeliruan dari masyarakat tatkala diterapkannya living law, maka ada penyimpangan terkait asas legalitas.

“Tentu ini tidak benar karena semua harus ada bukti ilmiah bahwa peraturan tersebut masih diterapkan di masyarakat dan diatur dalam Perda. Berarti negara telah memperkuat peran dari hukum adat dalam kehidupan bernegara. Yang menjadi concern adalah terkait sanksi hukum adat yang kerap kali memberatkan, sehingga kami membatasi bahwa denda sesuai dengan kategori tertentu”, tutur Prof. Harkristuti.

Tentang Pasal Perzinahan dan Kohabitasi yang diatur dalam KUHP Nasional, menurutnya, sejauh ini masih terdapat perbedaan pendapat dari masyarakat yang di satu sisi menyatakan bahwa itu adalah hak privat, namun di sisi lain ada masyarakat yang justru menuntut supaya itu menjadi delik aduan saja.

“Sementara untuk tindak pidana terhadap agama dan kepercayaan dalam KUHP Nasional masih diperlukan di Indonesia karena negara ini bukanlah negara yang sekuler, melainkan negara yang religius. Sehingga hal yang dilarang adalah adanya hasutan atau kebencian terkait diskriminasi kepada agama atau kepercayaan orang lain”, jelas Guru Besar Hukum Pidana Universitas Indonesia tersebut.

Baca: Kerinci Erupsi, Jalur Penerbangan di Atas Gunung Terganggu.
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.3028 seconds (0.1#10.140)