WHO Tolak Gagasan Herd Imunity untuk Memerangi Covid-19
loading...
A
A
A
JENEWA - Ketiadaan vaksin untuk memerangi pandemi Covid-19 memunculkan gagasan herd imunity atau kekebalan kelompok guna mengalahkan virus mematikan tersebut. Namun gagasan itu ditolak mentah-mentah oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
Menurut Kepala program kedaruratan kesehatan WHO, Michael Ryan, gagasan herd imunity bisa menjadi kesalahan perhitungan yang mengerikan di tengah tidak adanya vaksin untuk virus Corona baru. "Ini adalah perhitungan yang sangat berbahaya," tegas Ryan dalam briefing awal pekan ini.
"Gagasan ini memungkinkan negara untuk melonggarkan langkah-langkah penguncian dan yang belum melakukan apapun tiba-tiba secara ajaib mengharapkan mendapatkan herd imunity - dan bagaimana jika kita kehilangan beberapa orang tua di sepanjang jalan?" tanyanya.
"Manusia bukan kawanan," tegas Ryan seperti dikutip dari Russia Today, Rabu (13/05/2020). Ia lantas memperingatkan bahwa menerapkan standar yang sama pada manusia dapat menyebabkan aritmatika yang sangat brutal yang tidak menempatkan orang dan kehidupan dan penderitaan di pusat persamaan itu.
Istilah herd imunity berasal dari kedokteran hewan dan awalnya merujuk pada konsep yang berfokur pada kesehatan populasi secara keseluruhan, dengan sedikit memperhatikan individu hewan. Idenya didasarkan pada premis bahwa ketika sebagian besar populasi kebal terhadap penyakit menular, ia cenderung menyebar ke orang-orang yang tidak kebal. Namun, tanpa vaksin, itu berarti bahwa kebanyakan orang harus mengalahkan penyakit dengan mengembangkan kekebalan dan risikonya bisa terlalu tinggi.
Ryan menjelaskan bahwa kekebalan kawanan (herd imunity) hanya berlaku untuk manusia ketika para ilmuwan perlu menghitung berapa banyak individu yang harus divaksinasi agar masyarakat mencapai kekebalan kawanan yang tepat. Asumsi bahwa sebagian besar populasi global telah terinfeksi dan telah melalui bentuk ringan Covid-19 telah terbukti salah oleh studi epidemiologi awal.
"Proporsi penyakit klinis yang parah sebenarnya adalah proporsi yang lebih tinggi dari semua yang telah terinfeksi," ujar Ryan, memperingatkan bahwa virus Corona baru ternyata jauh lebih "serius" daripada yang diperkirakan sebelumnya.
Pejabat WHO itu tidak menyebut negara mana pun secara khusus, tetapi pernyataannya dipandang merujuk pada apa yang diterapkan oleh Swedia dan negara-negara lain yang enggan untuk memberlakukan tindakan penguncian yang ketat, karena para ahli kesehatan setempat berpendapat bahwa herd imunity dapat dicapai sebagai gantinya.
Gagasan herd imunity tetap populer di beberapa outlet media Amerika Serikat (AS), tanpa kekurangan artikel yang membahas konsep tersebut, dan beberapa bahkan menyerukan kepada pemerintah negara bagian untuk membatalkan semua pembatasan dan mendorong populasi untuk mengembangkan kekebalan alami terhadap penyakit ini sebagai pengganti vaksin.
Namun Washington tetap enggan untuk menerapkan gagasan itu. Meski begitu, Presiden Donald Trump baru-baru ini mengatakan negara itu akan menghadapai kerugian yang berkelanjutan dan tidak dapat diterima seandainya negara itu tetap menerapkan penguncian. AS saat ini merupakan hotspot Covid-19 terburuk di dunia, dengan lebih dari 1,4 juta kasus dan lebih dari 80.000 kematian.
Menurut Kepala program kedaruratan kesehatan WHO, Michael Ryan, gagasan herd imunity bisa menjadi kesalahan perhitungan yang mengerikan di tengah tidak adanya vaksin untuk virus Corona baru. "Ini adalah perhitungan yang sangat berbahaya," tegas Ryan dalam briefing awal pekan ini.
"Gagasan ini memungkinkan negara untuk melonggarkan langkah-langkah penguncian dan yang belum melakukan apapun tiba-tiba secara ajaib mengharapkan mendapatkan herd imunity - dan bagaimana jika kita kehilangan beberapa orang tua di sepanjang jalan?" tanyanya.
"Manusia bukan kawanan," tegas Ryan seperti dikutip dari Russia Today, Rabu (13/05/2020). Ia lantas memperingatkan bahwa menerapkan standar yang sama pada manusia dapat menyebabkan aritmatika yang sangat brutal yang tidak menempatkan orang dan kehidupan dan penderitaan di pusat persamaan itu.
Istilah herd imunity berasal dari kedokteran hewan dan awalnya merujuk pada konsep yang berfokur pada kesehatan populasi secara keseluruhan, dengan sedikit memperhatikan individu hewan. Idenya didasarkan pada premis bahwa ketika sebagian besar populasi kebal terhadap penyakit menular, ia cenderung menyebar ke orang-orang yang tidak kebal. Namun, tanpa vaksin, itu berarti bahwa kebanyakan orang harus mengalahkan penyakit dengan mengembangkan kekebalan dan risikonya bisa terlalu tinggi.
Ryan menjelaskan bahwa kekebalan kawanan (herd imunity) hanya berlaku untuk manusia ketika para ilmuwan perlu menghitung berapa banyak individu yang harus divaksinasi agar masyarakat mencapai kekebalan kawanan yang tepat. Asumsi bahwa sebagian besar populasi global telah terinfeksi dan telah melalui bentuk ringan Covid-19 telah terbukti salah oleh studi epidemiologi awal.
"Proporsi penyakit klinis yang parah sebenarnya adalah proporsi yang lebih tinggi dari semua yang telah terinfeksi," ujar Ryan, memperingatkan bahwa virus Corona baru ternyata jauh lebih "serius" daripada yang diperkirakan sebelumnya.
Pejabat WHO itu tidak menyebut negara mana pun secara khusus, tetapi pernyataannya dipandang merujuk pada apa yang diterapkan oleh Swedia dan negara-negara lain yang enggan untuk memberlakukan tindakan penguncian yang ketat, karena para ahli kesehatan setempat berpendapat bahwa herd imunity dapat dicapai sebagai gantinya.
Gagasan herd imunity tetap populer di beberapa outlet media Amerika Serikat (AS), tanpa kekurangan artikel yang membahas konsep tersebut, dan beberapa bahkan menyerukan kepada pemerintah negara bagian untuk membatalkan semua pembatasan dan mendorong populasi untuk mengembangkan kekebalan alami terhadap penyakit ini sebagai pengganti vaksin.
Namun Washington tetap enggan untuk menerapkan gagasan itu. Meski begitu, Presiden Donald Trump baru-baru ini mengatakan negara itu akan menghadapai kerugian yang berkelanjutan dan tidak dapat diterima seandainya negara itu tetap menerapkan penguncian. AS saat ini merupakan hotspot Covid-19 terburuk di dunia, dengan lebih dari 1,4 juta kasus dan lebih dari 80.000 kematian.
(don)