10 Aksi Heroik Pahlawan Nasional Berkhidmat Membela Rakyat dan Bangsa
loading...
A
A
A
Orang-orang Belanda yang baru dibebaskan dari kamp tawanan mulai melakukan tindakan-tindakan yang mulai mengganggu keamanan. Akibatnya, bentrokan bersenjata antara Inggris dan TKR tidak dapat dihindari.
Malam 21 November 1945, TKR dan badan-badan perjuangan melancarkan serangan terhadap kedudukan-kedudukan Inggris di bagian utara, termasuk Hotel Homann dan Hotel Preanger yang mereka gunakan sebagai markas. Tiga hari kemudian, MacDonald menyampaikan ultimatum kepada Gubernur Jawa Barat agar Bandung Utara dikosongkan oleh penduduk Indonesia, termasuk pasukan bersenjata. (BACA JUGA: Sri Sultan Hamengkubuwono (HB) II Diusulkan Jadi Pahlawan Nasional)
Ultimatum Tentara Sekutu agar Tentara Republik Indonesia meninggalkan kota Bandung mendorong TRI untuk melakukan operasi "bumi-hangus". Para pejuang pihak Republik Indonesia tidak rela bila Kota Bandung dimanfaatkan oleh pihak Sekutu dan NICA.
Kolonel AH Nasution selaku Komandan Divisi III TRI memerintahkan evakuasi warga Kota Bandung. Rombongan besar penduduk Bandung mengalir panjang meninggalkan Kota Bandung menuju pegunungan di daerah selatan Bandung dan malam itu pembakaran kota berlangsung. Muhammad Toha dan Ramdan, dua anggota milisi BRI (Barisan Rakjat Indonesia) juga berhasil menghancurkan gudang amunisi milik Belanda.
5. Pangeran Diponegoro
Pangeran Diponegoro atau Pangeran Harya Dipanegara lahir di Yogyakarta Hadiningrat, 11 November 1785 dan wafat di Makassar, Sulawesi Selatan pada 8 Januari 1855 atau pada umur 69 tahun.
Siapa yang tak mengenal sosoknya yang memimpin Perang Diponegoro atau Perang Jawa selama periode tahun 1825 hingga 1830 melawan pemerintah Hindia Belanda.
Pertempuran pasukan Pangeran Diponegoro dengan Belanda tercatat menjadi pertempuran yang paling banyak menewaskan kedua belah pihak dalam sejarah Indonesia.
Sekitar 8.000-an korban serdadu Hindia Belanda, 7.000-an pribumi, dan 200 ribu orang Jawa serta kerugian materi 25 juta Gulden.
Perang Diponegoro atau Perang Jawa adalah adalah sikap Pangeran yang ingin melepaskan penderitaan rakyat miskin dari sistem pajak Hindia Belanda dan membebaskan istana dari madat.
Keputusan dan sikap Pangeran Diponegoro yang menentang Hindia Belanda secara terbuka kemudian mendapat dukungan dan simpati dari rakyat. Atas saran dari sang paman, yakni GPH Mangkubumi, Pangeran Diponegoro menyingkir dari Tegalrejo dan membuat markas di Gua Selarong.
Saat itu, Diponegoro menyatakan bahwa perlawanannya adalah perang sabil, perlawanan menghadapi kaum kafir. Semangat "perang sabil" yang dikobarkan Diponegoro membawa pengaruh luas hingga ke wilayah Pacitan dan Kedu.
Medan pertempuran Perang Diponegoro mencakup Yogyakarta, Kedu, Bagelen, Surakarta, dan beberapa daerah seperti Banyumas, Wonosobo, Banjarnegara, Weleri, Pekalongan, Tegal, Semarang, Demak, Kudus, Purwodadi, Parakan, Magelang, Madiun, Pacitan, Kediri, Bojonegoro, Tuban, dan Surabaya. (BACA JUGA: Pemkab Klungkung Percepat Usulan Pahlawan Nasional Ida Dewa Agung Jambe)
Malam 21 November 1945, TKR dan badan-badan perjuangan melancarkan serangan terhadap kedudukan-kedudukan Inggris di bagian utara, termasuk Hotel Homann dan Hotel Preanger yang mereka gunakan sebagai markas. Tiga hari kemudian, MacDonald menyampaikan ultimatum kepada Gubernur Jawa Barat agar Bandung Utara dikosongkan oleh penduduk Indonesia, termasuk pasukan bersenjata. (BACA JUGA: Sri Sultan Hamengkubuwono (HB) II Diusulkan Jadi Pahlawan Nasional)
Ultimatum Tentara Sekutu agar Tentara Republik Indonesia meninggalkan kota Bandung mendorong TRI untuk melakukan operasi "bumi-hangus". Para pejuang pihak Republik Indonesia tidak rela bila Kota Bandung dimanfaatkan oleh pihak Sekutu dan NICA.
Kolonel AH Nasution selaku Komandan Divisi III TRI memerintahkan evakuasi warga Kota Bandung. Rombongan besar penduduk Bandung mengalir panjang meninggalkan Kota Bandung menuju pegunungan di daerah selatan Bandung dan malam itu pembakaran kota berlangsung. Muhammad Toha dan Ramdan, dua anggota milisi BRI (Barisan Rakjat Indonesia) juga berhasil menghancurkan gudang amunisi milik Belanda.
5. Pangeran Diponegoro
Pangeran Diponegoro atau Pangeran Harya Dipanegara lahir di Yogyakarta Hadiningrat, 11 November 1785 dan wafat di Makassar, Sulawesi Selatan pada 8 Januari 1855 atau pada umur 69 tahun.
Siapa yang tak mengenal sosoknya yang memimpin Perang Diponegoro atau Perang Jawa selama periode tahun 1825 hingga 1830 melawan pemerintah Hindia Belanda.
Pertempuran pasukan Pangeran Diponegoro dengan Belanda tercatat menjadi pertempuran yang paling banyak menewaskan kedua belah pihak dalam sejarah Indonesia.
Sekitar 8.000-an korban serdadu Hindia Belanda, 7.000-an pribumi, dan 200 ribu orang Jawa serta kerugian materi 25 juta Gulden.
Perang Diponegoro atau Perang Jawa adalah adalah sikap Pangeran yang ingin melepaskan penderitaan rakyat miskin dari sistem pajak Hindia Belanda dan membebaskan istana dari madat.
Keputusan dan sikap Pangeran Diponegoro yang menentang Hindia Belanda secara terbuka kemudian mendapat dukungan dan simpati dari rakyat. Atas saran dari sang paman, yakni GPH Mangkubumi, Pangeran Diponegoro menyingkir dari Tegalrejo dan membuat markas di Gua Selarong.
Saat itu, Diponegoro menyatakan bahwa perlawanannya adalah perang sabil, perlawanan menghadapi kaum kafir. Semangat "perang sabil" yang dikobarkan Diponegoro membawa pengaruh luas hingga ke wilayah Pacitan dan Kedu.
Medan pertempuran Perang Diponegoro mencakup Yogyakarta, Kedu, Bagelen, Surakarta, dan beberapa daerah seperti Banyumas, Wonosobo, Banjarnegara, Weleri, Pekalongan, Tegal, Semarang, Demak, Kudus, Purwodadi, Parakan, Magelang, Madiun, Pacitan, Kediri, Bojonegoro, Tuban, dan Surabaya. (BACA JUGA: Pemkab Klungkung Percepat Usulan Pahlawan Nasional Ida Dewa Agung Jambe)