Tak Rela Ladang Minyak Dikuasai Belanda Kembali, Brandan Bumi Hangus pun Terjadi
loading...
A
A
A
Usaha Jans Zijlker berlanjut hingga pada 1883 dia menerima konsesi atas lahan tersebut dari Sultan Langkat. Tak menunggu waktu lama pada 15 Juni 1885, Jans langsung melakukan pengeboran di sumur telaga tunggal pada kedalaman 121 meter.
Dari hasil pemeriksaan cairan dari kubangan itu di Batavia pada 1886 membuktikan bahwa lahan itu mengandung minyak bumi berkualitas tinggi. Jans Zijlker yang awalnya juragan kebun tembakau yang kurang berhasil kini menjadi si raja minyak.
Dikutip dari buku Geschiedenis van Indonesie, sejarawan Belanda terkemuka H.J. De Graaf mengisahkan penemuan ladang minyak di Telaga Said itu. Nah, temuan itu menjadi cikal bakal pertambangan minyak Pangkalan Brandan; ladang minyak terbesar di Sumatera. (BACA JUGA: Istana Niat Lima Laras Cagar Budaya yang Hampir Punah)
Ekspoloitasi terus berlanjut. Pada 1890, Jans Zijlker mengalihkan konsesinya kepada perusahaan minyak Belanda, Royal Dutch. Direktur pelaksananya ialah J.A. de Gelder, seorang insinyur berpengalaman di Hindia Belanda dan berkantor pusat di Pangkalan Brandan.
Sejak kilang minyak Pangkalan Brandan dibangun pada 1892, Royal Dutch telah memproduksi minyak sebanyak 1.200 ton dari lapangan Telaga Tunggal. Untuk memperlancar distribusi, dibangun beberapa tangki penimbunan dan pelabuhan di Pangkalan Susu yang selesai pada 1898.
Kemudian pada 1907, kilang minyak Pangkalan Brandan dikelola Bataafsche Petroleum Maatschappij (BPM), anak perusahan dari Royal Dutch bersama Shell. Sumur minyak utama BPM berasal dari kilang minyak Pangkalan Brandan. Dari waktu ke waktu, produksi minyak di Pangkalan Brandan kian meningkat.
Dalam laporannya di Trade Information Bulletin No.11 tahun 1923 berjudul “Petroleum Production and Trade The Dutch East Indies” Albert Thomson Coumbe mencatat, kilang minyak Pangkalan Brandan mampu menghasilkan 10.000 barel minyak mentah per hari.
Cadangan minyak mentahnya sebesar 1.000.000 barel sedangkan dalam bentuk bahan bakar hasil penyulingan sebesar 50.000 barel. Angka itu belum termasuk deposit minyak untuk produk olahan. Produktivitas itu menempatkan Pangkalan Brandan sebagai kilang minyak yang terbesar di Sumatra hingga 1920-an. (BACA JUGA: Ini Cara Jenderal Maraden Panggabean Membuat Perampok Kendaraan Menjadi Kapok)
Situasi di Pangkalan Brandan mulai mengalami perubahan menjelang kedatangan tentara Jepang. Tentara koloni Belanda merusak semua instalasi kilang minyak.
Hasilnya? Pertambangan minyak di Pangkalan Brandan terlantar selama pendudukan tentara Jepang. Eksploitasi produksi minyak dilakukan Jepang hanya sekadar untuk keperluan militernya saja.
Dari hasil pemeriksaan cairan dari kubangan itu di Batavia pada 1886 membuktikan bahwa lahan itu mengandung minyak bumi berkualitas tinggi. Jans Zijlker yang awalnya juragan kebun tembakau yang kurang berhasil kini menjadi si raja minyak.
Dikutip dari buku Geschiedenis van Indonesie, sejarawan Belanda terkemuka H.J. De Graaf mengisahkan penemuan ladang minyak di Telaga Said itu. Nah, temuan itu menjadi cikal bakal pertambangan minyak Pangkalan Brandan; ladang minyak terbesar di Sumatera. (BACA JUGA: Istana Niat Lima Laras Cagar Budaya yang Hampir Punah)
Ekspoloitasi terus berlanjut. Pada 1890, Jans Zijlker mengalihkan konsesinya kepada perusahaan minyak Belanda, Royal Dutch. Direktur pelaksananya ialah J.A. de Gelder, seorang insinyur berpengalaman di Hindia Belanda dan berkantor pusat di Pangkalan Brandan.
Sejak kilang minyak Pangkalan Brandan dibangun pada 1892, Royal Dutch telah memproduksi minyak sebanyak 1.200 ton dari lapangan Telaga Tunggal. Untuk memperlancar distribusi, dibangun beberapa tangki penimbunan dan pelabuhan di Pangkalan Susu yang selesai pada 1898.
Kemudian pada 1907, kilang minyak Pangkalan Brandan dikelola Bataafsche Petroleum Maatschappij (BPM), anak perusahan dari Royal Dutch bersama Shell. Sumur minyak utama BPM berasal dari kilang minyak Pangkalan Brandan. Dari waktu ke waktu, produksi minyak di Pangkalan Brandan kian meningkat.
Dalam laporannya di Trade Information Bulletin No.11 tahun 1923 berjudul “Petroleum Production and Trade The Dutch East Indies” Albert Thomson Coumbe mencatat, kilang minyak Pangkalan Brandan mampu menghasilkan 10.000 barel minyak mentah per hari.
Cadangan minyak mentahnya sebesar 1.000.000 barel sedangkan dalam bentuk bahan bakar hasil penyulingan sebesar 50.000 barel. Angka itu belum termasuk deposit minyak untuk produk olahan. Produktivitas itu menempatkan Pangkalan Brandan sebagai kilang minyak yang terbesar di Sumatra hingga 1920-an. (BACA JUGA: Ini Cara Jenderal Maraden Panggabean Membuat Perampok Kendaraan Menjadi Kapok)
Situasi di Pangkalan Brandan mulai mengalami perubahan menjelang kedatangan tentara Jepang. Tentara koloni Belanda merusak semua instalasi kilang minyak.
Hasilnya? Pertambangan minyak di Pangkalan Brandan terlantar selama pendudukan tentara Jepang. Eksploitasi produksi minyak dilakukan Jepang hanya sekadar untuk keperluan militernya saja.