Tak Rela Ladang Minyak Dikuasai Belanda Kembali, Brandan Bumi Hangus pun Terjadi
loading...
A
A
A
Kota Pangkalan Brandan di Kabupaten Langkat, Sumatera Utara adalah wilayah yang pertama kali mengeksplorasi minyak bermutu tinggi di bumi di Indonesia.
Sejarah tentang Pangkalan Brandan dan ladang minyak sangat panjang kisahnya. Bahkan pada 13 Agustus 1947 tepatnya pada subuh dini hari, para pejuangan membumihanguskan ladang minyak dan Kota Pangkalan Brandan untuk mencegah Belanda menguasai aset tersebut.
Peristiwa itu kini setiap tanggal 13 Agustus ada Peringatan Brandan Bumi Hangus (BBH). Brandan Bumi Hangus adalah nilai sejarah bangsa yang harus dimaknai dalam semangat cinta Tanah Air.
Namun bagaimana sebenarnya kisah Pangkalan Brandan menjadi ladang minyak pertama di Indonesia yang dieksploitasi hingga para pejuang membumihanguskan?
Pangkalan Brandan adalah ibukota Kecamatan Babalan, Kecamatan Sei Lepan, Kecamatan Brandan Barat, dan Kecamatan Brandan Timur, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara. (BACA JUGA: Kisah Perlawanan Raja Haji Fisabilillah terhadap Belanda)
Terletak di pesisir pantai timur pulau Sumatera, sekitar 60 kilo meter di sebelah utara Kota Binjai. Kelurahan ini terletak strategis karena dilalui oleh Jalan Raya Lintas Sumatera dan merupakan pintu gerbang provinsi Sumatera Utara menuju Aceh atau sebaliknya.
Pangkalan Brandan terkenal karena merupakan salah satu ladang minyak tertua di Indonesia dan telah dieksplorasi sejak zaman Hindia Belanda.
Adalah seorang juragan tembakau di Sumatera Timur, Aeilko Jans Zijlker yang berkeliling memeriksa kebunnya di kawasan Pangkalan Brandan. Namun saat itu siang menjelang sore hujan turun dan Jans berteduh di barak bekas penimbunan tembakau.
Seorang mandor kebun lokal pun menyalakan obor sebagai penerang karena hari mulai gelap. Jans mengira api yang berasal dari obor itu dari sebuah kayu damar karena apinya begitu bagus. Namun dugaan Jans salah. Ternyata si mandor kebun membuat obor ternyata dari tanah liat dari sebuah kubangan.
(Kilang minyak Pangkalan Brandan (Foto/Ist/KTLV)
Jans Zijlker pun keesokan paginya mengajak anak buahnya meninjau kubangan-kubangan yang dikatakan sang mandor. Setelah ditelaah kubangan-kubangan itu mengeluarkan aroma kuat minyak.(BACA JUGA: Jejak Operasi Pasukan Para Komando di Pedalaman Hutan Kalimantan)
Nah, Jans Zijlker kemudian tertarik untuk memiliki lahan itu karena dia menduga kuat di dalam tanah itu terkandung sumber minyak bumi. Diapun mendapat modal dari kawannya di Belanda mendirikan perusahaan minyak.
Usaha Jans Zijlker berlanjut hingga pada 1883 dia menerima konsesi atas lahan tersebut dari Sultan Langkat. Tak menunggu waktu lama pada 15 Juni 1885, Jans langsung melakukan pengeboran di sumur telaga tunggal pada kedalaman 121 meter.
Dari hasil pemeriksaan cairan dari kubangan itu di Batavia pada 1886 membuktikan bahwa lahan itu mengandung minyak bumi berkualitas tinggi. Jans Zijlker yang awalnya juragan kebun tembakau yang kurang berhasil kini menjadi si raja minyak.
Dikutip dari buku Geschiedenis van Indonesie, sejarawan Belanda terkemuka H.J. De Graaf mengisahkan penemuan ladang minyak di Telaga Said itu. Nah, temuan itu menjadi cikal bakal pertambangan minyak Pangkalan Brandan; ladang minyak terbesar di Sumatera. (BACA JUGA: Istana Niat Lima Laras Cagar Budaya yang Hampir Punah)
Ekspoloitasi terus berlanjut. Pada 1890, Jans Zijlker mengalihkan konsesinya kepada perusahaan minyak Belanda, Royal Dutch. Direktur pelaksananya ialah J.A. de Gelder, seorang insinyur berpengalaman di Hindia Belanda dan berkantor pusat di Pangkalan Brandan.
Sejak kilang minyak Pangkalan Brandan dibangun pada 1892, Royal Dutch telah memproduksi minyak sebanyak 1.200 ton dari lapangan Telaga Tunggal. Untuk memperlancar distribusi, dibangun beberapa tangki penimbunan dan pelabuhan di Pangkalan Susu yang selesai pada 1898.
Kemudian pada 1907, kilang minyak Pangkalan Brandan dikelola Bataafsche Petroleum Maatschappij (BPM), anak perusahan dari Royal Dutch bersama Shell. Sumur minyak utama BPM berasal dari kilang minyak Pangkalan Brandan. Dari waktu ke waktu, produksi minyak di Pangkalan Brandan kian meningkat.
Dalam laporannya di Trade Information Bulletin No.11 tahun 1923 berjudul “Petroleum Production and Trade The Dutch East Indies” Albert Thomson Coumbe mencatat, kilang minyak Pangkalan Brandan mampu menghasilkan 10.000 barel minyak mentah per hari.
Cadangan minyak mentahnya sebesar 1.000.000 barel sedangkan dalam bentuk bahan bakar hasil penyulingan sebesar 50.000 barel. Angka itu belum termasuk deposit minyak untuk produk olahan. Produktivitas itu menempatkan Pangkalan Brandan sebagai kilang minyak yang terbesar di Sumatra hingga 1920-an. (BACA JUGA: Ini Cara Jenderal Maraden Panggabean Membuat Perampok Kendaraan Menjadi Kapok)
Situasi di Pangkalan Brandan mulai mengalami perubahan menjelang kedatangan tentara Jepang. Tentara koloni Belanda merusak semua instalasi kilang minyak.
Hasilnya? Pertambangan minyak di Pangkalan Brandan terlantar selama pendudukan tentara Jepang. Eksploitasi produksi minyak dilakukan Jepang hanya sekadar untuk keperluan militernya saja.
Situasi pun mulai berubah setelah Soekarno-Hatta pada 17 Agustus 1945 memproklamasikan Kemeredekan Republik Indonesia. Para buruh minyak di Pangkalan Brandan mengira setelah Indonesia merdeka, maka ladang minyak menjadi milik Indonesia.
(Pertamina membangun tugu ini di Pangkalan Brandan, Langkat, sebagai tandaperingatan 100 tahun perminyakan Indonesia. (Foto/Ist)
Namun Belanda tak tinggal diam. Belanda kembali berhasrat menjajah kembali juga mengincarnya guna memasok bahan bakar dalam operasi militer setelah Jepang kalah Perang Dunia ke II.
Buruh minyak Pangkalan Brandan pun bergerak tak mau diam begitu saja. Merekan pun membentuk sebuah wadah perjuangan dengan membentuk Laskar Minyak. Niat mereka mempertahankan ladang minyak semakin kuat setelah bergabung dengan Tentara Republik yang dipimpin oleh Mayor Nazaruddin Nasution. Keduanya bergabung dalam Komando Pertempuran Pangkalan Brandan.
Nah, pada 13 Agustus 1947 itulah diambil keputusan sangat penting dan strategis yakni embumihanguskan Pangkalan Brandan. Menurut Edi Saputra dalam Sumatra dalam Perang Kemerdekaan, rakyat Pangkalan Brandan lebih memilih memusnahkan tambang minyak daripada jatuh ke tangan Belanda kembali. (BACA JUGA: Kisah Manis Kopi Asal Simalungun Kini Disajikan di Starbucks)
Tepay pukul 03.00 pagi, bunyi sirine panjang mendahulu ledakan hebat yang terjadi di tangki-tangki minyak Pangkalan Brandan. Api kemudian merembet ke kilang penyulingan, gedung-gedung hingga pelabuhan.
Tak tangung-tanggung salam tujuh hari api melalap ladang minyak dan Kota Pangkalan Brandan. Tentara Belanda pun kocar-kacir dan mereka membatalkan niat untuk menguasai kembali ladang minyak.
“Pangkalan Brandan yang terbakar hangus, rata menjadi abu, senantiasa menjadi saksi sejarah akan kegegahberanian rakyat pejuang yang bahu-membahu bergandengan tangan dengan Tentara Republik Indonesia Divisi-X/Komandemen Sumatra,” tulis Amran Zamzami veteran perang front Medan Area dalam Jihad Akbar di Medan Area.
Sejarah tentang Pangkalan Brandan dan ladang minyak sangat panjang kisahnya. Bahkan pada 13 Agustus 1947 tepatnya pada subuh dini hari, para pejuangan membumihanguskan ladang minyak dan Kota Pangkalan Brandan untuk mencegah Belanda menguasai aset tersebut.
Peristiwa itu kini setiap tanggal 13 Agustus ada Peringatan Brandan Bumi Hangus (BBH). Brandan Bumi Hangus adalah nilai sejarah bangsa yang harus dimaknai dalam semangat cinta Tanah Air.
Namun bagaimana sebenarnya kisah Pangkalan Brandan menjadi ladang minyak pertama di Indonesia yang dieksploitasi hingga para pejuang membumihanguskan?
Pangkalan Brandan adalah ibukota Kecamatan Babalan, Kecamatan Sei Lepan, Kecamatan Brandan Barat, dan Kecamatan Brandan Timur, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara. (BACA JUGA: Kisah Perlawanan Raja Haji Fisabilillah terhadap Belanda)
Terletak di pesisir pantai timur pulau Sumatera, sekitar 60 kilo meter di sebelah utara Kota Binjai. Kelurahan ini terletak strategis karena dilalui oleh Jalan Raya Lintas Sumatera dan merupakan pintu gerbang provinsi Sumatera Utara menuju Aceh atau sebaliknya.
Pangkalan Brandan terkenal karena merupakan salah satu ladang minyak tertua di Indonesia dan telah dieksplorasi sejak zaman Hindia Belanda.
Adalah seorang juragan tembakau di Sumatera Timur, Aeilko Jans Zijlker yang berkeliling memeriksa kebunnya di kawasan Pangkalan Brandan. Namun saat itu siang menjelang sore hujan turun dan Jans berteduh di barak bekas penimbunan tembakau.
Seorang mandor kebun lokal pun menyalakan obor sebagai penerang karena hari mulai gelap. Jans mengira api yang berasal dari obor itu dari sebuah kayu damar karena apinya begitu bagus. Namun dugaan Jans salah. Ternyata si mandor kebun membuat obor ternyata dari tanah liat dari sebuah kubangan.
(Kilang minyak Pangkalan Brandan (Foto/Ist/KTLV)
Jans Zijlker pun keesokan paginya mengajak anak buahnya meninjau kubangan-kubangan yang dikatakan sang mandor. Setelah ditelaah kubangan-kubangan itu mengeluarkan aroma kuat minyak.(BACA JUGA: Jejak Operasi Pasukan Para Komando di Pedalaman Hutan Kalimantan)
Nah, Jans Zijlker kemudian tertarik untuk memiliki lahan itu karena dia menduga kuat di dalam tanah itu terkandung sumber minyak bumi. Diapun mendapat modal dari kawannya di Belanda mendirikan perusahaan minyak.
Usaha Jans Zijlker berlanjut hingga pada 1883 dia menerima konsesi atas lahan tersebut dari Sultan Langkat. Tak menunggu waktu lama pada 15 Juni 1885, Jans langsung melakukan pengeboran di sumur telaga tunggal pada kedalaman 121 meter.
Dari hasil pemeriksaan cairan dari kubangan itu di Batavia pada 1886 membuktikan bahwa lahan itu mengandung minyak bumi berkualitas tinggi. Jans Zijlker yang awalnya juragan kebun tembakau yang kurang berhasil kini menjadi si raja minyak.
Dikutip dari buku Geschiedenis van Indonesie, sejarawan Belanda terkemuka H.J. De Graaf mengisahkan penemuan ladang minyak di Telaga Said itu. Nah, temuan itu menjadi cikal bakal pertambangan minyak Pangkalan Brandan; ladang minyak terbesar di Sumatera. (BACA JUGA: Istana Niat Lima Laras Cagar Budaya yang Hampir Punah)
Ekspoloitasi terus berlanjut. Pada 1890, Jans Zijlker mengalihkan konsesinya kepada perusahaan minyak Belanda, Royal Dutch. Direktur pelaksananya ialah J.A. de Gelder, seorang insinyur berpengalaman di Hindia Belanda dan berkantor pusat di Pangkalan Brandan.
Sejak kilang minyak Pangkalan Brandan dibangun pada 1892, Royal Dutch telah memproduksi minyak sebanyak 1.200 ton dari lapangan Telaga Tunggal. Untuk memperlancar distribusi, dibangun beberapa tangki penimbunan dan pelabuhan di Pangkalan Susu yang selesai pada 1898.
Kemudian pada 1907, kilang minyak Pangkalan Brandan dikelola Bataafsche Petroleum Maatschappij (BPM), anak perusahan dari Royal Dutch bersama Shell. Sumur minyak utama BPM berasal dari kilang minyak Pangkalan Brandan. Dari waktu ke waktu, produksi minyak di Pangkalan Brandan kian meningkat.
Dalam laporannya di Trade Information Bulletin No.11 tahun 1923 berjudul “Petroleum Production and Trade The Dutch East Indies” Albert Thomson Coumbe mencatat, kilang minyak Pangkalan Brandan mampu menghasilkan 10.000 barel minyak mentah per hari.
Cadangan minyak mentahnya sebesar 1.000.000 barel sedangkan dalam bentuk bahan bakar hasil penyulingan sebesar 50.000 barel. Angka itu belum termasuk deposit minyak untuk produk olahan. Produktivitas itu menempatkan Pangkalan Brandan sebagai kilang minyak yang terbesar di Sumatra hingga 1920-an. (BACA JUGA: Ini Cara Jenderal Maraden Panggabean Membuat Perampok Kendaraan Menjadi Kapok)
Situasi di Pangkalan Brandan mulai mengalami perubahan menjelang kedatangan tentara Jepang. Tentara koloni Belanda merusak semua instalasi kilang minyak.
Hasilnya? Pertambangan minyak di Pangkalan Brandan terlantar selama pendudukan tentara Jepang. Eksploitasi produksi minyak dilakukan Jepang hanya sekadar untuk keperluan militernya saja.
Situasi pun mulai berubah setelah Soekarno-Hatta pada 17 Agustus 1945 memproklamasikan Kemeredekan Republik Indonesia. Para buruh minyak di Pangkalan Brandan mengira setelah Indonesia merdeka, maka ladang minyak menjadi milik Indonesia.
(Pertamina membangun tugu ini di Pangkalan Brandan, Langkat, sebagai tandaperingatan 100 tahun perminyakan Indonesia. (Foto/Ist)
Namun Belanda tak tinggal diam. Belanda kembali berhasrat menjajah kembali juga mengincarnya guna memasok bahan bakar dalam operasi militer setelah Jepang kalah Perang Dunia ke II.
Buruh minyak Pangkalan Brandan pun bergerak tak mau diam begitu saja. Merekan pun membentuk sebuah wadah perjuangan dengan membentuk Laskar Minyak. Niat mereka mempertahankan ladang minyak semakin kuat setelah bergabung dengan Tentara Republik yang dipimpin oleh Mayor Nazaruddin Nasution. Keduanya bergabung dalam Komando Pertempuran Pangkalan Brandan.
Nah, pada 13 Agustus 1947 itulah diambil keputusan sangat penting dan strategis yakni embumihanguskan Pangkalan Brandan. Menurut Edi Saputra dalam Sumatra dalam Perang Kemerdekaan, rakyat Pangkalan Brandan lebih memilih memusnahkan tambang minyak daripada jatuh ke tangan Belanda kembali. (BACA JUGA: Kisah Manis Kopi Asal Simalungun Kini Disajikan di Starbucks)
Tepay pukul 03.00 pagi, bunyi sirine panjang mendahulu ledakan hebat yang terjadi di tangki-tangki minyak Pangkalan Brandan. Api kemudian merembet ke kilang penyulingan, gedung-gedung hingga pelabuhan.
Tak tangung-tanggung salam tujuh hari api melalap ladang minyak dan Kota Pangkalan Brandan. Tentara Belanda pun kocar-kacir dan mereka membatalkan niat untuk menguasai kembali ladang minyak.
“Pangkalan Brandan yang terbakar hangus, rata menjadi abu, senantiasa menjadi saksi sejarah akan kegegahberanian rakyat pejuang yang bahu-membahu bergandengan tangan dengan Tentara Republik Indonesia Divisi-X/Komandemen Sumatra,” tulis Amran Zamzami veteran perang front Medan Area dalam Jihad Akbar di Medan Area.
(vit)