Kisah Sarip Tambak Oso, Pendekar Besi Kuning Berjuluk Robin Hood asal Sidoarjo
loading...
A
A
A
Sungai Sedati tiba-tiba airnya berubah menjadi merah darah. Kondisi ini membuat Mboke Sarip (Ibu Sarip) yang tengah mencuci baju, kaget terperajat. Dia langsung teringat pada putranya, Sarip.
Baca Juga: Lakon Sarip Tambak Oso, Panggil Jiwa Generasi Muda
Bayangan buruk tentang kondisi Sarip saat melihat aliran sungai berubah menjadi berwarna merah darah, membuat Mboke Sarip dilanda kegelisahan. Seketika dia menghentikan kegiatannya mencuci baju, dan mencari sumber warna merah darah itu.
Mboke Sarip berjalan menyusuri aliran sungai ke arah hulu, dan firasat buruk yang ada dalam pikirannya terbukti benar. Dilihatnya sosok tubuh Sarip telah terbujur kaku, dengan luka menganga bersimbah darah.
"Sarip durung wayahe le (Sarip belum waktunya nak," teriak Mboke Sarip, sambil memegang jenazah putra kesayangannya tersebut. Sungguh aneh, seketika itu juga Sarip kembali bergerak dan hidup lagi.
Ikatan batin yang sangat kuat antara ibu dan anak ini, berawal saat Sarip masih berada dalam kandungan ibunya. Kala itu, ayah Sarip bertapa di dalam goa. Sepulang bertapa, ayah Sarip membawa pulang gumpalan lemah abang (tanah merah).
Sesampainya di rumah, gumpalan tanah berwana merah itu dibelah menjadi dua. Satu bagian diberikan kepada Mboke Sarip, dan satu bagian lagi diberikan kepada Sarip. Ayah Sarip mengatakan, Sarip tidak akan mati meskipun 1.000 kali dibunuh, selama Mboke Sarip masih hidup.
Sepenggal kisah hubungan Sarip dan ibunya ini, acap kali dipentaskan di panggung-panggung kesenian Ludruk. Dalam cerita rakyat yang berkembang di masyarakat, Sarip merupakan pemuda asal Pulau Madura, dan hidup tumbuh besar di Dusun Tambak Oso, yang masuk wilayah Kabupaten Sidoarjo.
Baca Juga: Lakon Sarip Tambak Oso, Panggil Jiwa Generasi Muda
Bayangan buruk tentang kondisi Sarip saat melihat aliran sungai berubah menjadi berwarna merah darah, membuat Mboke Sarip dilanda kegelisahan. Seketika dia menghentikan kegiatannya mencuci baju, dan mencari sumber warna merah darah itu.
Mboke Sarip berjalan menyusuri aliran sungai ke arah hulu, dan firasat buruk yang ada dalam pikirannya terbukti benar. Dilihatnya sosok tubuh Sarip telah terbujur kaku, dengan luka menganga bersimbah darah.
"Sarip durung wayahe le (Sarip belum waktunya nak," teriak Mboke Sarip, sambil memegang jenazah putra kesayangannya tersebut. Sungguh aneh, seketika itu juga Sarip kembali bergerak dan hidup lagi.
Ikatan batin yang sangat kuat antara ibu dan anak ini, berawal saat Sarip masih berada dalam kandungan ibunya. Kala itu, ayah Sarip bertapa di dalam goa. Sepulang bertapa, ayah Sarip membawa pulang gumpalan lemah abang (tanah merah).
Sesampainya di rumah, gumpalan tanah berwana merah itu dibelah menjadi dua. Satu bagian diberikan kepada Mboke Sarip, dan satu bagian lagi diberikan kepada Sarip. Ayah Sarip mengatakan, Sarip tidak akan mati meskipun 1.000 kali dibunuh, selama Mboke Sarip masih hidup.
Sepenggal kisah hubungan Sarip dan ibunya ini, acap kali dipentaskan di panggung-panggung kesenian Ludruk. Dalam cerita rakyat yang berkembang di masyarakat, Sarip merupakan pemuda asal Pulau Madura, dan hidup tumbuh besar di Dusun Tambak Oso, yang masuk wilayah Kabupaten Sidoarjo.