Kisah Ranggawarsita, Pujangga Sakti dari Surakarta yang Ramalkan Kemerdekaan Indonesia dan Kematiannya Sendiri

Minggu, 29 Mei 2022 - 06:11 WIB
Meski memiliki darah biru, dan menjadi pujangga Kesunan Surakarta, Ranggawarsita dikenal sangat peduli terhadap nasib rakyat kecil. Bahkan, dalam sejumlah naskah Ranggawarsita dikisahkan sebagai orang yang mengerti bahasa binatang, hal ini diduga hanya sebagai simbol tentang kepeduliannya terhadap kesusahan rakyat jelata.

Situasi berbalik, ketika Belanda membuang Pakubuwana VI ke Ambon, pada tahun 1830 dan Pakubuwana IX naik takhta. Pakubuwana VI dibuang ke Ambon, karena dituduh mendukung Pangeran Diponegoro.

Sebelum Pakubuwana VI ditangkap Belanda, dan dibuang ke Ambon. Diduga, Belanda terlebih dahulu menangkap ayah Ranggawarsita, Mas Pajangswara yang merupakan juru tulis keraton. Mas Pajangswara ditangkap dan disiksa hingga tewas, untuk mengungkap hubungan Pakubuwana VI dengan Pangeran Diponegoro.

Namun, siksaan yang keji dari Belanda, hingga membuat Mas Pajangswara tewas, tidak merubah sedikitpun sikap Mas Pajangswara. Sikap diam dan tak membocorkan hubungan Pakubuwana VI dengan Pangeran Diponegoro, diambil Mas Pajangswara dengan segala konsekuensi logisnya.

Belanda tetap saja licik. Meski tak menemukan bukti hubungan Pakubuwana VI dengan Pangeran Diponegoro, tetap saja Pakubuwana ditangkap dan dibuang ke Ambon, dengan menyebarkan berita bohong, bahwa Mas Pajangswara telah memnocorkan seluruh informasi hubungan Pakubuwana VI dengan Pangeran Diponegoro.



Fitnah keji Belanda terhadap Mas Pajangswara, akhirnya membuat Pakubuwana IX yang kala itu bertakhta, tak menyukai putra Mas Pajangswara, Ranggawarsita. Belanda juga turut tak menyukai Ranggawarsita. Bahkan seluruh kegiatan Ranggawarsita, selalu diawasi oleh Belanda.

Belanda melihat Ranggawarsita sebagai jurnalis berbahaya, meskipun dia bersahabat dan memiliki murid keturunan Belanda, C.F. Winter, Sr. Melalui tulisan-tulisannya, Ranggawarsita dinilai Belanda dapat membangkitkan semangat perlawanan para pribumi.

Tekanan dan kecurigaan yang kian menjadi-jadi dari Belanda melalui orang-orang suruhannya, membuat Ranggawarsita harus melepaskan jabatannya sebagai redaksi di surat kabar Bramartani, pada tahun 1870.

Dia menjadi saksi bagaimana menderitanya rakyat Jawa, usai perang Diponegoro. Belanda dengan semena-mena menerapkan program tabam paksa. Kondisi ini juga membuat hati Ranggawarsita terluka.
Halaman :
tulis komentar anda
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More