Institut Halal dan Baik: Kekawatiran 'Konflik Fatwa' Berlebihan
loading...
A
A
A
"Perlu juga dicatat, fatwa adalah tahap paling akhir dari pemeriksaan halal yang dilakukan auditor halal/LPH. Standarnya ketat. 99,9% urusan sertifikasi halal selesai pada tahap pemeriksaan. Fatwa hanya gong penutup," jelas Andy.
Ia melanjutkan, perbedaan dalam masalah fiqih yang sifatnya cabang tidak perlu dikhawatirkan. Masyarakat muslim sudah semakin memahami hal ini.
"Kekhawatiran bahwa umat akan kebingungan adalah penghinaan terhadap kecerdasan dan kedewasaan umat Islam di Indonesia," tutur Andy. (Baca juga: ABG Korban Pemerkosaan Diperkosa Kembali Oknum P2TP2A, Polisi Periksa Saksi )
Bagi Andy, alasan spesifik fatwa tidak boleh lagi dimonopoli MUI adalah untuk menghindari bottle neck (antrian panjang) dalam sertifikasi produk halal. Selama era voluntary MUI hanya sanggup menangani sekitar 50.000-80.000 produk. Padahal setelah mandatory akan muncul kebutuhan jaminan halal untuk jutaan produk per tahun.
"Klaim sepihak bahwa MUI mampu melaksanakan 102 juta fatwa dalam satu tahun justru membuka kecurigaan apa sesungguhnya motivasi MUI? Faktanya dari sekitar 5.000 pengajuan sertifikasi produk halal yang telah dialihkan ke LPPOM dan MUI sejak 17 Oktober 2019 hingga saat ini (Juni 2020) hanya 30 produk yang sudah selesai penetapan fatwa halalnya," urai Andy lagi.
Kemudian gambaran kemudahan terlihat dalam draft RUU Ciptaker. Misalnya memodifikasi kewajiban sertifikat halal untuk pelaku usaha mikro dan kecil. Yakni cukup dengan pernyataan (self declare) berdasarkan standar halal yang ditetapkan BPJPH.
"Batas waktu dalam prosesnya lebih singkat dan ada perubahan sanksi administratif maupun sanksi pidana," katanya. (Baca juga: Kasus COVID-19 di Jatim Tak Kunjung Turun, Ini Usulan Kapolda )
Sementara mengenai pernyataan (Self Declare) halal dari Pelaku Usaha Mikro dan Kecil, Andy menilai kebijakan ini dibuat dengan mempertimbangkan kondisi umum pelaku usaha di Indonesia dimana mayoritas mata pencaharian penduduk di Indonesia adalah dari sektor informal, termasuk di dalamnya pelaku usaha mikro dan kecil yang meliputi 99% dari seluruh pelaku usaha (sekitar 64 juta pelaku usaha).
"Pelaku usaha mikro dan kecil yang modalnya terbatas, harus dimudahkan pengurusan jaminan produk halalnya. Agar usaha mereka bertahan atau berkembang tanpa melanggar jaminan produk halal, bisa ditempuh 2 (dua) opsi, yakni subsidi pembiayaan dari pemerintah dan modifikasi atau penurunan level aturan jaminan produk halal. Nah, self declare berbasis standar halal yang dikeluarkan oleh BPJPH itu bentuk modifikasi," tandasnya.
Ia melanjutkan, perbedaan dalam masalah fiqih yang sifatnya cabang tidak perlu dikhawatirkan. Masyarakat muslim sudah semakin memahami hal ini.
"Kekhawatiran bahwa umat akan kebingungan adalah penghinaan terhadap kecerdasan dan kedewasaan umat Islam di Indonesia," tutur Andy. (Baca juga: ABG Korban Pemerkosaan Diperkosa Kembali Oknum P2TP2A, Polisi Periksa Saksi )
Bagi Andy, alasan spesifik fatwa tidak boleh lagi dimonopoli MUI adalah untuk menghindari bottle neck (antrian panjang) dalam sertifikasi produk halal. Selama era voluntary MUI hanya sanggup menangani sekitar 50.000-80.000 produk. Padahal setelah mandatory akan muncul kebutuhan jaminan halal untuk jutaan produk per tahun.
"Klaim sepihak bahwa MUI mampu melaksanakan 102 juta fatwa dalam satu tahun justru membuka kecurigaan apa sesungguhnya motivasi MUI? Faktanya dari sekitar 5.000 pengajuan sertifikasi produk halal yang telah dialihkan ke LPPOM dan MUI sejak 17 Oktober 2019 hingga saat ini (Juni 2020) hanya 30 produk yang sudah selesai penetapan fatwa halalnya," urai Andy lagi.
Kemudian gambaran kemudahan terlihat dalam draft RUU Ciptaker. Misalnya memodifikasi kewajiban sertifikat halal untuk pelaku usaha mikro dan kecil. Yakni cukup dengan pernyataan (self declare) berdasarkan standar halal yang ditetapkan BPJPH.
"Batas waktu dalam prosesnya lebih singkat dan ada perubahan sanksi administratif maupun sanksi pidana," katanya. (Baca juga: Kasus COVID-19 di Jatim Tak Kunjung Turun, Ini Usulan Kapolda )
Sementara mengenai pernyataan (Self Declare) halal dari Pelaku Usaha Mikro dan Kecil, Andy menilai kebijakan ini dibuat dengan mempertimbangkan kondisi umum pelaku usaha di Indonesia dimana mayoritas mata pencaharian penduduk di Indonesia adalah dari sektor informal, termasuk di dalamnya pelaku usaha mikro dan kecil yang meliputi 99% dari seluruh pelaku usaha (sekitar 64 juta pelaku usaha).
"Pelaku usaha mikro dan kecil yang modalnya terbatas, harus dimudahkan pengurusan jaminan produk halalnya. Agar usaha mereka bertahan atau berkembang tanpa melanggar jaminan produk halal, bisa ditempuh 2 (dua) opsi, yakni subsidi pembiayaan dari pemerintah dan modifikasi atau penurunan level aturan jaminan produk halal. Nah, self declare berbasis standar halal yang dikeluarkan oleh BPJPH itu bentuk modifikasi," tandasnya.
(eyt)