Martha Christina Tiahahu, Panglima Perang Perempuan Termuda yang Ditakuti Kompeni Belanda
loading...
A
A
A
Martha Christina Tiahahu adalah gadis pejuang kemerdekaan yang mengangkat senjata di usia 17 tahun. Gadis kelahiran 1800 tersebut terjun di medan pertempuran melawan tentara kolonial Belanda dalam Perang Pattimura tahun 1817. Dia merupakan anak dari Paulus Tiahahu, kapitan dari negeri Abubu yang juga pembantu Thomas Matulessy dalam Perang Pattimura tahun 1817 melawan Belanda.
Keberanian dan konsekuennya gadis kelahiran Desa Abubu di Pulau Nusalaut sangat terkenal di kalangan pejuang, masyarakat luas, bahkan para musuh. Meski seorang perempuan dan masih remaja, semangatnya menggelora untuk mengalahkan musuh.
Baca juga: Nyimas Gamparan, Pimpin Pendekar Perempuan Banten Melawan Belanda hingga Kalang Kabut
Mengutip Ensiklopedi Pahlawan Nasional, sejak awal perjuangan, ia selalu ikut mengambil bagian dan pantang mundur. Dengan rambutnya yang panjang terurai ke belakang serta berikat kepala sehelai kain berang (merah) ia tetap mendampingi ayahnya dalam setiap pertempuran baik di Pulau Nusalaut maupun di Pulau Saparua.
Siang dan malam ia selalu hadir dan ikut dalam pembuatan kubu-kubu pertahanan. Ia bukan saja mengangkat senjata, tetapi juga memberi semangat kepada kaum wanita di negeri-negeri agar ikut membantu kaum pria di setiap medan pertempuran sehingga Belanda kewalahan menghadapi kaum wanita yang ikut berjuang.
Di dalam pertempuran yang sengit di Desa Ouw – Ullath jasirah tenggara Pulau Saparua yang tampak betapa hebat srikandi ini menggempur musuh bersama para pejuang rakyat. Namun akhirnya karena tidak seimbang dalam persenjataan, tipu daya musuh dan pengkhianatan, para tokoh pejuang dapat ditangkap dan menjalani hukuman.
Baca juga: Kisah Buah Maja Lambang Kebesaran dan Kemenangan Majapahit usai Menghancurkan Kediri
Ada yang harus mati digantung dan ada yang dibuang ke Pulau Jawa. Kapitan Paulus Tiahahu divonis hukum mati tembak. Martha Christina Tiahahu berjuang untuk melepaskan ayahnya dari hukuman mati, tetapi ia tidak berdaya dan meneruskan bergerilyanya di hutan, tetapi akhirnya tertangkap dan hendak diasingkan ke Pulau Jawa. Saat itulah ia jatuh sakit, namun ia menolak diobati oleh orang Belanda.
Di Kapal Perang Eversten, Martha Christina Tiahahu menemui ajalnya dan dengan penghormatan militer jasadnya diluncurkan di Laut Banda tepatnya di antara Pulau Buru dan Pulau Manipa pada tanggal 2 Januari 1818. Untuk menghargai jasa dan pengorbanannya, pemerintah Indonesia mengukuhkan Martha Christina Tiahahu sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional.
Pemberani dan Teguh Pendirian
Selama hidupnya, Martha Christina Tiahahu tak terpisahkan dari sang ayah, Paulus Tiahahu. Karenanya, dua menjadi sosol pemberani dan teguh pendirian.
Keberanian dan konsekuennya gadis kelahiran Desa Abubu di Pulau Nusalaut sangat terkenal di kalangan pejuang, masyarakat luas, bahkan para musuh. Meski seorang perempuan dan masih remaja, semangatnya menggelora untuk mengalahkan musuh.
Baca juga: Nyimas Gamparan, Pimpin Pendekar Perempuan Banten Melawan Belanda hingga Kalang Kabut
Mengutip Ensiklopedi Pahlawan Nasional, sejak awal perjuangan, ia selalu ikut mengambil bagian dan pantang mundur. Dengan rambutnya yang panjang terurai ke belakang serta berikat kepala sehelai kain berang (merah) ia tetap mendampingi ayahnya dalam setiap pertempuran baik di Pulau Nusalaut maupun di Pulau Saparua.
Siang dan malam ia selalu hadir dan ikut dalam pembuatan kubu-kubu pertahanan. Ia bukan saja mengangkat senjata, tetapi juga memberi semangat kepada kaum wanita di negeri-negeri agar ikut membantu kaum pria di setiap medan pertempuran sehingga Belanda kewalahan menghadapi kaum wanita yang ikut berjuang.
Di dalam pertempuran yang sengit di Desa Ouw – Ullath jasirah tenggara Pulau Saparua yang tampak betapa hebat srikandi ini menggempur musuh bersama para pejuang rakyat. Namun akhirnya karena tidak seimbang dalam persenjataan, tipu daya musuh dan pengkhianatan, para tokoh pejuang dapat ditangkap dan menjalani hukuman.
Baca juga: Kisah Buah Maja Lambang Kebesaran dan Kemenangan Majapahit usai Menghancurkan Kediri
Ada yang harus mati digantung dan ada yang dibuang ke Pulau Jawa. Kapitan Paulus Tiahahu divonis hukum mati tembak. Martha Christina Tiahahu berjuang untuk melepaskan ayahnya dari hukuman mati, tetapi ia tidak berdaya dan meneruskan bergerilyanya di hutan, tetapi akhirnya tertangkap dan hendak diasingkan ke Pulau Jawa. Saat itulah ia jatuh sakit, namun ia menolak diobati oleh orang Belanda.
Di Kapal Perang Eversten, Martha Christina Tiahahu menemui ajalnya dan dengan penghormatan militer jasadnya diluncurkan di Laut Banda tepatnya di antara Pulau Buru dan Pulau Manipa pada tanggal 2 Januari 1818. Untuk menghargai jasa dan pengorbanannya, pemerintah Indonesia mengukuhkan Martha Christina Tiahahu sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional.
Pemberani dan Teguh Pendirian
Selama hidupnya, Martha Christina Tiahahu tak terpisahkan dari sang ayah, Paulus Tiahahu. Karenanya, dua menjadi sosol pemberani dan teguh pendirian.