Martha Christina Tiahahu, Panglima Perang Perempuan Termuda yang Ditakuti Kompeni Belanda

Jum'at, 14 Januari 2022 - 05:00 WIB
loading...
A A A
Mengutip buku MARTHA CHRISINA TIAHAHU: Mutiara dari Nusa Laut yang Cinta Tanah Air karya Indah Ratna, Martha kerap diikutsertakan dalam rapat pejuang untuk melawan penjajah Belanda. Dengan kebiasaan itu, Martha lama-kelamaan menjadi paham bahwa keadaan tanah kelahirannya dalam kondisi tak baik. Dia bertekad untuk menjadi pejuang seperti sang ayah sejak berusia muda.

Saat tumbuh menjadi seorang remaja, Martha memiliki pesona dengan rambut hitam ikalnya yang digerai panjang. Ia memiliki senyum yang manis, gigi putih nan rapi, serta bergerak dengan begitu lincah.

Kala itu banyak remaja seusianya yang merasa kagum pada Martha. Meski begitu, ia tak memedulikannya dan hanya berfokus pada perjuangan demi desa dan tanah kelahiran. Saat itu, teman-teman Martha sudah menikah dan memiliki anak. Namun ia sangat berbeda karena memilih untuk sibuk dalam berbagai pertempuran.

Perjuangan yang Martha lakukan pun turut didukung oleh ayahanda. Ayahnya tak pernah melarang putri semata wayangnya itu untuk terus bergerilya. Bahkan dia ditugaskan sebagai pembawa senjata saat berperang.

Ayah dan anak ini menjadi kompak dan sebagai pendukung bagi satu sama lain selama di medan perang. Martha selalu mendampingi sang ayah di mana pun perang berlangsung dan tak jarang ia turut angkat senjata saat perjuangan tersebut tengah berlangsung.

Martha pun tak lupa memberi semangat bagi wanita di Ouw dan Ulath. Ia berharap agar kaum wanita di sana ikut membantu pria dalam peperangan. Keikutsertaan wanita dalam perang saat itu sempat membuat Belanda kewalahan. Mereka juga merasa khawatir karena baru di tanah Maluku lah, pejuang wanitanya memiliki semangat juang yang tinggi. Bahkan Martha sendiri menjadi sosok yang disegani oleh penjajah Belanda sebagai lawannya kala itu.

Selama perjuangan melawan penjajah, hidup serba susah dan berada dalam hutan yang jauh dari perkampungan penduduk menjadi hal lumrah bagi Martha Christian Tiahahu. Termasuk saat ia ikut dalam perundingan di tengah hutan belantara bersama sang ayah sebagai komando perang.

Perundingan para pahlawan pada 14 Mei 1817 itu berisi strategi untuk melumpuhkan kekuasaan Belanda. Saat itu Martha yang baru menginjak usia 17 tahun ikut mengambil sumpah.

Dari hasil perundingan tersebut, diputuskan bahwa Martha menjadi salah satu pemimpin pasukan bersama sang ayah dan yang lainnya. Semua pasukan yang terlibat kala itu berada di bawah komando Kapitan Pattimura.

Serangan yang mereka lakukan dimulai menjelang fajar di Benteng Beverwihj. Saat semua prajurit terlelap, Martha bersama ayahnya menyusup masuk.
Halaman :
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1434 seconds (0.1#10.140)