Empat Faktor Pangeran Diponegoro Marah ke Belanda hingga Memicu Perang Jawa
loading...

Ada empat faktor yang membuat Pangeran Diponegoro angkat senjata memberikan perlawanan sengit ke Belanda, sehingga terjadi Perang Jawa. FOTO/IST
A
A
A
JAKARTA - Pergeseran patok makam leluhur Pangeran Diponegoro untuk pembuatan jalan oleh Belanda bukanlah menjadi satu-satunya pemicu Perang Jawa . Konon ada beberapa pemicu yang membuat Pangeran Diponegoro, ulama sekaligus kaum bangsawan keturunan Sultan Yogyakarta itu angkat senjata memberikan perlawanan sengit ke Belanda.
Catatan Pangeran Diponegoro, sebagaimana disampaikan oleh Pangeran Mangkudiningrat saudaranya, mengungkap bagaimana Pangeran Diponegoro dibuat jengkel akan empat hal lainnya. Hal ini diungkapkan Pangeran Mangkudiningrat, komandan pasukan Pangeran Diponegoro di Magelang, saat memberikan pernyataan tertulis atau istilah dalam bahasa Belanda affidavit, setelah ia menyerah kepada Jenderal de Kock pada 1 Desember 1826.
Mangkudiningrat menjelaskan, ada empat penyebab timbulnya pernyataan itu sebagaimana dikutip dari buku "Sejarah Nasional Indonesia IV : Kemunculan Penjajahan di Indonesia". Pertama, Diponegoro sakit hati terhadap Residen Smissaert yang suka duduk di dampar (takhta) Sultan.
Kedua, Diponegoro tidak suka terhadap cara mengembalikan uang sewa tanah di Bedoyo yang berstatus milik Raja. Karena para bangsawan tidak mampu membayar utang-utang pengembalian sewa tanah, oleh para penyewa dibebankan kepada Sultan (kerajaan).
Ketiga, adanya pengusiran terhadap rakyat. Rakyat dipaksa pindah oleh para planters karena desanya termasuk tanah yang disewakan. Keempat, aktivitas para rentenir China yang memaksa petani menggadaikan sawahnya dan menentukan secara sepihak harga jual hasil panennya ditambah dengan bunganya secara paksa, sehingga banyak orang kecil keluar dari desanya membantu Diponegoro.
Sumber lain dari surat Pangeran Blitar (adik Sultan Sepuh) kepada Sultan Sepuh Hamengkubuwono II pada 10 Oktober 1826. Di dalamnya dijelaskan sebab-sebab Diponegoro memberontak. Pertama, tingkah laku Patih Danurejo terhadap anak-anak dan keluarganya Pangeran Diponegoro.
Kedua, Patih Danurejo telah berbuat melampaui kewenangannya yaitu mengubah susunan kehakiman. Ketiga, surat-menyurat dari Residen Smissaert tidak pernah menyebut gelar Pangeran hanya menulis Diponegoro. Penyebutan nama tersebut rupanya atas inisiatif penerjemah Dietre dengan persetujuan Patih Danurejo dan Kolonel Wironegoro.
Keempat, sekitar penggantian Penghulu Rahmanuddin sebagai imam kerajaan dengan alasan sudah tua. Ratu Kencono, Janda Sultan IV, anak Danurejo IV, yang tidak mau mendengar nasihat Diponegoro dan menyerahkan semua permasalahan kepada Patih. Imam Besar hanya diangkat oleh Sultan sendiri, karena Sultan masih kecil tidak mungkin mengangkat seorang Imam Besar. Atas peristiwa ini Diponegoro merasa terhina.
Catatan Pangeran Diponegoro, sebagaimana disampaikan oleh Pangeran Mangkudiningrat saudaranya, mengungkap bagaimana Pangeran Diponegoro dibuat jengkel akan empat hal lainnya. Hal ini diungkapkan Pangeran Mangkudiningrat, komandan pasukan Pangeran Diponegoro di Magelang, saat memberikan pernyataan tertulis atau istilah dalam bahasa Belanda affidavit, setelah ia menyerah kepada Jenderal de Kock pada 1 Desember 1826.
Mangkudiningrat menjelaskan, ada empat penyebab timbulnya pernyataan itu sebagaimana dikutip dari buku "Sejarah Nasional Indonesia IV : Kemunculan Penjajahan di Indonesia". Pertama, Diponegoro sakit hati terhadap Residen Smissaert yang suka duduk di dampar (takhta) Sultan.
Kedua, Diponegoro tidak suka terhadap cara mengembalikan uang sewa tanah di Bedoyo yang berstatus milik Raja. Karena para bangsawan tidak mampu membayar utang-utang pengembalian sewa tanah, oleh para penyewa dibebankan kepada Sultan (kerajaan).
Ketiga, adanya pengusiran terhadap rakyat. Rakyat dipaksa pindah oleh para planters karena desanya termasuk tanah yang disewakan. Keempat, aktivitas para rentenir China yang memaksa petani menggadaikan sawahnya dan menentukan secara sepihak harga jual hasil panennya ditambah dengan bunganya secara paksa, sehingga banyak orang kecil keluar dari desanya membantu Diponegoro.
Sumber lain dari surat Pangeran Blitar (adik Sultan Sepuh) kepada Sultan Sepuh Hamengkubuwono II pada 10 Oktober 1826. Di dalamnya dijelaskan sebab-sebab Diponegoro memberontak. Pertama, tingkah laku Patih Danurejo terhadap anak-anak dan keluarganya Pangeran Diponegoro.
Kedua, Patih Danurejo telah berbuat melampaui kewenangannya yaitu mengubah susunan kehakiman. Ketiga, surat-menyurat dari Residen Smissaert tidak pernah menyebut gelar Pangeran hanya menulis Diponegoro. Penyebutan nama tersebut rupanya atas inisiatif penerjemah Dietre dengan persetujuan Patih Danurejo dan Kolonel Wironegoro.
Keempat, sekitar penggantian Penghulu Rahmanuddin sebagai imam kerajaan dengan alasan sudah tua. Ratu Kencono, Janda Sultan IV, anak Danurejo IV, yang tidak mau mendengar nasihat Diponegoro dan menyerahkan semua permasalahan kepada Patih. Imam Besar hanya diangkat oleh Sultan sendiri, karena Sultan masih kecil tidak mungkin mengangkat seorang Imam Besar. Atas peristiwa ini Diponegoro merasa terhina.
(abd)