Kisah Ki Ageng Selo Sang Penakluk Petir dan Anti Kesambet
loading...
A
A
A
Kemudian mereka berdoa dengan khusyuk memohon kepada Tuhan agar masjid selamat dari sambaran petir. Gambar itu sekarang masih ditemukan di Masjid Demak pada ukiran Lawang Bledheg yang terdapat di pintu masjid. Sampai sekarang ukiran yang diabadikan dari peristiwa penaklukan petir itu masih dapat disaksikan di Masjid Demak.
Kisah tersebutlah yang membuat Ki Ageng Selo dikenal luas sebagai sang penakluk petir. Kisah Ki Ageng Selo menaklukkan petir diabadikan dalam ukiran pada lawang bledheg atau pintu Masjid Agung Demak.
Sampai sekarang, pintu tersebut masih dapat disaksikan. Ukiran pada daun pintu tersebut memperhatikan motif tumbuh-tumbuhan, suluran, jambangan, mahkota mirip stupa, tumpal, camara dan dua kepala naga yang menyemburkan api.
Lawang Bledheg ini sekaligus menjadi prasasti berwujud sengkalan memet (chronogram) dibaca “Naga Mulat Salira Wani” yang menunjukkan angka tahun 1388 S atau 1466. Tahun itu diyakini sebagai cikal bakal berdirinya Masjid Agung Demak.
Di kemudian hari ia benar-benar menjadi orang yang berpengaruh. Desa tempatnya tinggal bernama Desa Sela. Nama Sela berkaitan dengan keberadaan bukit/gunung berapi, dan merupakan sumber banyak garam dan api abadi yang terdapat dari wilayah Grobogan. Di desa tersebut juga Ki Ageng Selo meninggal dan dimakamkan.
Sepeninggal Ki Ageng Selo hingga kini, berkembang mitos bahwa jika ingin terhindar dari petir maka harus membaca mantra (password) yang berbunyi, “Gandrik! Aku iki putune Ki Ageng Selo” yang artinya, “Gandrik! Saya adalah cucunya Ki Ageng Selo.”
Kalimat itu sakral bagi sebagian penduduk lereng Gunung Merapi dan Gunung Merbabu. Mereka percaya kalimat itu adalah mantra yang menghindarkan mereka dari sambaran petir ketika hujan.
Ki Ageng Selo hijrah ke sebuah desa di sebelah timur Tawangharjo, Kabupaten Grobogan. Dia hidup sebagai petani dan memperdalam spiritualitas, filsafat serta ilmu kepemimpinan. Desa tempatnya tinggal kini kemudian dinamakan Desa Selo. Di desa ini juga dia meninggal dan dimakamkan.
Kisah tersebutlah yang membuat Ki Ageng Selo dikenal luas sebagai sang penakluk petir. Kisah Ki Ageng Selo menaklukkan petir diabadikan dalam ukiran pada lawang bledheg atau pintu Masjid Agung Demak.
Sampai sekarang, pintu tersebut masih dapat disaksikan. Ukiran pada daun pintu tersebut memperhatikan motif tumbuh-tumbuhan, suluran, jambangan, mahkota mirip stupa, tumpal, camara dan dua kepala naga yang menyemburkan api.
Lawang Bledheg ini sekaligus menjadi prasasti berwujud sengkalan memet (chronogram) dibaca “Naga Mulat Salira Wani” yang menunjukkan angka tahun 1388 S atau 1466. Tahun itu diyakini sebagai cikal bakal berdirinya Masjid Agung Demak.
Di kemudian hari ia benar-benar menjadi orang yang berpengaruh. Desa tempatnya tinggal bernama Desa Sela. Nama Sela berkaitan dengan keberadaan bukit/gunung berapi, dan merupakan sumber banyak garam dan api abadi yang terdapat dari wilayah Grobogan. Di desa tersebut juga Ki Ageng Selo meninggal dan dimakamkan.
Sepeninggal Ki Ageng Selo hingga kini, berkembang mitos bahwa jika ingin terhindar dari petir maka harus membaca mantra (password) yang berbunyi, “Gandrik! Aku iki putune Ki Ageng Selo” yang artinya, “Gandrik! Saya adalah cucunya Ki Ageng Selo.”
Kalimat itu sakral bagi sebagian penduduk lereng Gunung Merapi dan Gunung Merbabu. Mereka percaya kalimat itu adalah mantra yang menghindarkan mereka dari sambaran petir ketika hujan.
Ki Ageng Selo hijrah ke sebuah desa di sebelah timur Tawangharjo, Kabupaten Grobogan. Dia hidup sebagai petani dan memperdalam spiritualitas, filsafat serta ilmu kepemimpinan. Desa tempatnya tinggal kini kemudian dinamakan Desa Selo. Di desa ini juga dia meninggal dan dimakamkan.