Kisah Ki Ageng Selo Sang Penakluk Petir dan Anti Kesambet
loading...
A
A
A
Ki Ageng Selo lahir di abad -15 atau awal abad 16, di masa kecilnya, dia memiliki nama Bagus Songgom, dan merupakan keturunan Ki Getas Pandawa .
Kisah Ki Ageng Selo dengan kesaktiannya bisa menaklukkan petir bermula saat dia membuka ladang, kisah ini terdapat dalam naskah kuno Serat Kandha
Saat itu, langit tiba-tiba menjadi mendung dan mulai turun hujan, seketika datang petir dan kilat yang menyambar-nyambar, merasa terganggu dengan kehadiran petir Ki Ageng Selo pun menantang petir untuk menampakkan wujudnya.
Seketika, petir tersebut berubah menjadi naga dan berubah wujud berkali-kali menjadi makhluk mengerikan. Ki Ageng Selo yang merasa kesal karena diganggu oleh makhluk tersebut maka terjadi perkelahian antara keduanya diiringi petir yang menggelegar.
Pada akhirnya, Ki Ageng Selo berhasil mengalahkan makhluk tersebut dan mengikatnya di sebuah pohon Gandrik, tak lama kemudian, makhluk tersebut berubah menjadi kakek tua.
Ki Ageng Selo pun membawa kakek tua yang terus berubah-ubah wujud tersebut ke Demak untuk dilaporkan kepada sultan.
Lalu kemudian menyerahkannya kepada para wali, yang membuat gambar - gambarnya di pintu gerbang utama Masjid Demak.
Kakek tersebut disimpan dalam kerangken di alun-alun dan menjadi tontonan warga yang berdatangan dan berbagai penjuru, termasuk seorang nenek yang menyiramkan air ke tubuh sang kakek. Sontak saja suara petir menggelegar, hingga kakek-nenek itu hilang mendadak.
Kemudian mereka berdoa dengan khusyuk memohon kepada Tuhan agar masjid selamat dari sambaran petir. Gambar itu sekarang masih ditemukan di Masjid Demak pada ukiran Lawang Bledheg yang terdapat di pintu masjid. Sampai sekarang ukiran yang diabadikan dari peristiwa penaklukan petir itu masih dapat disaksikan di Masjid Demak.
Kisah tersebutlah yang membuat Ki Ageng Selo dikenal luas sebagai sang penakluk petir. Kisah Ki Ageng Selo menaklukkan petir diabadikan dalam ukiran pada lawang bledheg atau pintu Masjid Agung Demak.
Sampai sekarang, pintu tersebut masih dapat disaksikan. Ukiran pada daun pintu tersebut memperhatikan motif tumbuh-tumbuhan, suluran, jambangan, mahkota mirip stupa, tumpal, camara dan dua kepala naga yang menyemburkan api.
Lawang Bledheg ini sekaligus menjadi prasasti berwujud sengkalan memet (chronogram) dibaca “Naga Mulat Salira Wani” yang menunjukkan angka tahun 1388 S atau 1466. Tahun itu diyakini sebagai cikal bakal berdirinya Masjid Agung Demak.
Di kemudian hari ia benar-benar menjadi orang yang berpengaruh. Desa tempatnya tinggal bernama Desa Sela. Nama Sela berkaitan dengan keberadaan bukit/gunung berapi, dan merupakan sumber banyak garam dan api abadi yang terdapat dari wilayah Grobogan. Di desa tersebut juga Ki Ageng Selo meninggal dan dimakamkan.
Sepeninggal Ki Ageng Selo hingga kini, berkembang mitos bahwa jika ingin terhindar dari petir maka harus membaca mantra (password) yang berbunyi, “Gandrik! Aku iki putune Ki Ageng Selo” yang artinya, “Gandrik! Saya adalah cucunya Ki Ageng Selo.”
Kalimat itu sakral bagi sebagian penduduk lereng Gunung Merapi dan Gunung Merbabu. Mereka percaya kalimat itu adalah mantra yang menghindarkan mereka dari sambaran petir ketika hujan.
Ki Ageng Selo hijrah ke sebuah desa di sebelah timur Tawangharjo, Kabupaten Grobogan. Dia hidup sebagai petani dan memperdalam spiritualitas, filsafat serta ilmu kepemimpinan. Desa tempatnya tinggal kini kemudian dinamakan Desa Selo. Di desa ini juga dia meninggal dan dimakamkan.
Cicit Ki Ageng Selo bernama Sutawijaya yang berjuluk Ngabehi Loring Pasar adalah pendiri Kerajaan Mataram II atau Kesultanan Mataram. Sutawijaya memerintah sebagai raja pertama pada tahun 1587-1601.
Meski dikenal karena kesaktiannya, namun Ki Ageng Selo pernah ditolak menjadi anggota prajurit tamtama Kerajaan Demak.
Karena dalam ujian mengalahkan banteng, dia memanglingkan kepalanya, ketika akibat pukulannya, darah yang menyembur dari kepala banteng, mengenai matanya.
Karena memalingkan kepalanya itu, dia dipandang tidak tahan melihat darah, dan karena itu tidak memenuhi syarat. Penolakan itu membuat Ki Ageng Selo kecewa. Bila cita-cita ini tidak dapat tercapai olehnya sendiri, maka dia mengharapkan keturunannya nanti menjadi seorang pemimpin yang pemberani.
Ki Ageng Selo bertempat tinggal di sebuah desa di sebelah timur Tawangharjo, Kabupaten Grobogan. Ia hidup berprofesi sebagai petani yang gemar memperdalam ilmu agama dan tumbuh sebagai seorang yang religius.
(sumber: Dok.Sindonews/wikipedia)
Lihat Juga: Peringatan Dini Cuaca Jakarta: Waspadai Hujan Petir Plus Angin Kencang Siang hingga Sore
Kisah Ki Ageng Selo dengan kesaktiannya bisa menaklukkan petir bermula saat dia membuka ladang, kisah ini terdapat dalam naskah kuno Serat Kandha
Saat itu, langit tiba-tiba menjadi mendung dan mulai turun hujan, seketika datang petir dan kilat yang menyambar-nyambar, merasa terganggu dengan kehadiran petir Ki Ageng Selo pun menantang petir untuk menampakkan wujudnya.
Seketika, petir tersebut berubah menjadi naga dan berubah wujud berkali-kali menjadi makhluk mengerikan. Ki Ageng Selo yang merasa kesal karena diganggu oleh makhluk tersebut maka terjadi perkelahian antara keduanya diiringi petir yang menggelegar.
Pada akhirnya, Ki Ageng Selo berhasil mengalahkan makhluk tersebut dan mengikatnya di sebuah pohon Gandrik, tak lama kemudian, makhluk tersebut berubah menjadi kakek tua.
Ki Ageng Selo pun membawa kakek tua yang terus berubah-ubah wujud tersebut ke Demak untuk dilaporkan kepada sultan.
Lalu kemudian menyerahkannya kepada para wali, yang membuat gambar - gambarnya di pintu gerbang utama Masjid Demak.
Kakek tersebut disimpan dalam kerangken di alun-alun dan menjadi tontonan warga yang berdatangan dan berbagai penjuru, termasuk seorang nenek yang menyiramkan air ke tubuh sang kakek. Sontak saja suara petir menggelegar, hingga kakek-nenek itu hilang mendadak.
Kemudian mereka berdoa dengan khusyuk memohon kepada Tuhan agar masjid selamat dari sambaran petir. Gambar itu sekarang masih ditemukan di Masjid Demak pada ukiran Lawang Bledheg yang terdapat di pintu masjid. Sampai sekarang ukiran yang diabadikan dari peristiwa penaklukan petir itu masih dapat disaksikan di Masjid Demak.
Kisah tersebutlah yang membuat Ki Ageng Selo dikenal luas sebagai sang penakluk petir. Kisah Ki Ageng Selo menaklukkan petir diabadikan dalam ukiran pada lawang bledheg atau pintu Masjid Agung Demak.
Sampai sekarang, pintu tersebut masih dapat disaksikan. Ukiran pada daun pintu tersebut memperhatikan motif tumbuh-tumbuhan, suluran, jambangan, mahkota mirip stupa, tumpal, camara dan dua kepala naga yang menyemburkan api.
Lawang Bledheg ini sekaligus menjadi prasasti berwujud sengkalan memet (chronogram) dibaca “Naga Mulat Salira Wani” yang menunjukkan angka tahun 1388 S atau 1466. Tahun itu diyakini sebagai cikal bakal berdirinya Masjid Agung Demak.
Di kemudian hari ia benar-benar menjadi orang yang berpengaruh. Desa tempatnya tinggal bernama Desa Sela. Nama Sela berkaitan dengan keberadaan bukit/gunung berapi, dan merupakan sumber banyak garam dan api abadi yang terdapat dari wilayah Grobogan. Di desa tersebut juga Ki Ageng Selo meninggal dan dimakamkan.
Sepeninggal Ki Ageng Selo hingga kini, berkembang mitos bahwa jika ingin terhindar dari petir maka harus membaca mantra (password) yang berbunyi, “Gandrik! Aku iki putune Ki Ageng Selo” yang artinya, “Gandrik! Saya adalah cucunya Ki Ageng Selo.”
Kalimat itu sakral bagi sebagian penduduk lereng Gunung Merapi dan Gunung Merbabu. Mereka percaya kalimat itu adalah mantra yang menghindarkan mereka dari sambaran petir ketika hujan.
Ki Ageng Selo hijrah ke sebuah desa di sebelah timur Tawangharjo, Kabupaten Grobogan. Dia hidup sebagai petani dan memperdalam spiritualitas, filsafat serta ilmu kepemimpinan. Desa tempatnya tinggal kini kemudian dinamakan Desa Selo. Di desa ini juga dia meninggal dan dimakamkan.
Cicit Ki Ageng Selo bernama Sutawijaya yang berjuluk Ngabehi Loring Pasar adalah pendiri Kerajaan Mataram II atau Kesultanan Mataram. Sutawijaya memerintah sebagai raja pertama pada tahun 1587-1601.
Meski dikenal karena kesaktiannya, namun Ki Ageng Selo pernah ditolak menjadi anggota prajurit tamtama Kerajaan Demak.
Karena dalam ujian mengalahkan banteng, dia memanglingkan kepalanya, ketika akibat pukulannya, darah yang menyembur dari kepala banteng, mengenai matanya.
Karena memalingkan kepalanya itu, dia dipandang tidak tahan melihat darah, dan karena itu tidak memenuhi syarat. Penolakan itu membuat Ki Ageng Selo kecewa. Bila cita-cita ini tidak dapat tercapai olehnya sendiri, maka dia mengharapkan keturunannya nanti menjadi seorang pemimpin yang pemberani.
Ki Ageng Selo bertempat tinggal di sebuah desa di sebelah timur Tawangharjo, Kabupaten Grobogan. Ia hidup berprofesi sebagai petani yang gemar memperdalam ilmu agama dan tumbuh sebagai seorang yang religius.
(sumber: Dok.Sindonews/wikipedia)
Lihat Juga: Peringatan Dini Cuaca Jakarta: Waspadai Hujan Petir Plus Angin Kencang Siang hingga Sore
(nic)