Malang di Kampung Pemulung: Hidup Tanpa Adminduk dan Bantuan Pemerintah
loading...
A
A
A
Halima Daeng Tena, salah satu penghuni yang sudah cukup lama tinggal di Kampung Pemulung. Cuma, ia tak ingat betul bagaimana permukiman ini bisa menjadi ramai. Yang paling dia ingat, mulai berada di sini sejak 1991 silam.
Sehari-hari, ia berjuang mencari nafkah di jalan. Gelas dan botol platik bekas jadi incarannya. Teriknya mentari sudah menjadi makanan rutin baginya. Rela berpanas-panasan demi bisa bertahan hidup tinggal di antara gedung-gedung bertingkat.
Apalagi saat ini, bebannya kian besar setelah suaminya meninggal dunia. Ia kini menjadi tulang punggung keluarga. Sebelum matahari terbit, ia sudah lebih dahulu bekerja menysuri jalan. Terkadang, bisa sampai jam 10 malam. Istirahat hanya saat waktu salat saja.
“Biasanya di belakang Carrefour (Pannakkukang) saya ambil sampah botol plastik dan dos-dos beskas. Yang penting bisa jadi uang. Biasanya itu dapat tiga kantong hitam yang botol plastik,” tuturnya, terbata-bata.
Soal kehidupannya, Halima mengakui selama ini memang tak pernah tersentuh perhatian pemerintah. Namun ia tak mempersoalkannya. Apalagi dirinya berasal dari Kabupaten Jeneponto, sebelum berhijrah ke Kota Makassar selama 30 tahun terakhir.
"Saya dulu tinggal di Desa Bangkala, Jeneponto. Tidak ada lagi keluarga di sana jadi pindah ke sini. Jadi di sini cari nafkah untuk hidup,” ucap dia, lalu melanjutkan perjalanan mencari botol dan gelas plastik bekas.
Ketua RT setempat, Nuraeni Dg Sunggu juga banyak tahu tentang Kampung Pemulung. Dia bahkan tinggal di kawasan yang sama dengan mereka. Sejak 1990-an. Nuraeni merupakan warga asli Makassar, yang sebelumnya tinggal di Jalan Landak, Kota Makassar. Hanya saja ia juga tak tahu pasti bagaimana dan kapan permukiman ini bisa ada.
"Mereka itu rata-rata berdomisili di luar Makassar. Ada dari Jeneponto, ada dari kecil ikut sama mamanya dari Nunukan, Malaysia malah ada juga. Pernah saya rekomendasikan untuk urus KTP-nya, tapi tetap harus ada pengantar di sana (lokasi asal)," tuturnya, saat ditemui belum lama ini.
Karena itu, selama menetap di sana, Kartu Tanda Penduduk (KTP), Kartu Keluarga (KK), hingga akte kelahiran anak sudah tidak begitu mereka hiraukan. Mereka bahkan menikahkan anak dan cucunya tidak melalui Kantor Urusan Agama (KUA) alias nikah siri. Lagi-lagi karena tak punya dokumen kependudukan.
Kondisi inilah yang terus terjadi. Akibatnya, anak dan cucu mereka ikut kena imbasnya. Tidak ada satupun yang bersekolah lataran tak punya akta kelahiran . Sedangkan, penerbitan akta kelahiran tersebut salah satunya harus dilengkapi dengan buku nikah kedua orang tua.
Sehari-hari, ia berjuang mencari nafkah di jalan. Gelas dan botol platik bekas jadi incarannya. Teriknya mentari sudah menjadi makanan rutin baginya. Rela berpanas-panasan demi bisa bertahan hidup tinggal di antara gedung-gedung bertingkat.
Apalagi saat ini, bebannya kian besar setelah suaminya meninggal dunia. Ia kini menjadi tulang punggung keluarga. Sebelum matahari terbit, ia sudah lebih dahulu bekerja menysuri jalan. Terkadang, bisa sampai jam 10 malam. Istirahat hanya saat waktu salat saja.
“Biasanya di belakang Carrefour (Pannakkukang) saya ambil sampah botol plastik dan dos-dos beskas. Yang penting bisa jadi uang. Biasanya itu dapat tiga kantong hitam yang botol plastik,” tuturnya, terbata-bata.
Soal kehidupannya, Halima mengakui selama ini memang tak pernah tersentuh perhatian pemerintah. Namun ia tak mempersoalkannya. Apalagi dirinya berasal dari Kabupaten Jeneponto, sebelum berhijrah ke Kota Makassar selama 30 tahun terakhir.
"Saya dulu tinggal di Desa Bangkala, Jeneponto. Tidak ada lagi keluarga di sana jadi pindah ke sini. Jadi di sini cari nafkah untuk hidup,” ucap dia, lalu melanjutkan perjalanan mencari botol dan gelas plastik bekas.
Ketua RT setempat, Nuraeni Dg Sunggu juga banyak tahu tentang Kampung Pemulung. Dia bahkan tinggal di kawasan yang sama dengan mereka. Sejak 1990-an. Nuraeni merupakan warga asli Makassar, yang sebelumnya tinggal di Jalan Landak, Kota Makassar. Hanya saja ia juga tak tahu pasti bagaimana dan kapan permukiman ini bisa ada.
"Mereka itu rata-rata berdomisili di luar Makassar. Ada dari Jeneponto, ada dari kecil ikut sama mamanya dari Nunukan, Malaysia malah ada juga. Pernah saya rekomendasikan untuk urus KTP-nya, tapi tetap harus ada pengantar di sana (lokasi asal)," tuturnya, saat ditemui belum lama ini.
Karena itu, selama menetap di sana, Kartu Tanda Penduduk (KTP), Kartu Keluarga (KK), hingga akte kelahiran anak sudah tidak begitu mereka hiraukan. Mereka bahkan menikahkan anak dan cucunya tidak melalui Kantor Urusan Agama (KUA) alias nikah siri. Lagi-lagi karena tak punya dokumen kependudukan.
Kondisi inilah yang terus terjadi. Akibatnya, anak dan cucu mereka ikut kena imbasnya. Tidak ada satupun yang bersekolah lataran tak punya akta kelahiran . Sedangkan, penerbitan akta kelahiran tersebut salah satunya harus dilengkapi dengan buku nikah kedua orang tua.