Malang di Kampung Pemulung: Hidup Tanpa Adminduk dan Bantuan Pemerintah
loading...
A
A
A
MAKASSAR - Puluhan tahun silam, Kota Makassar menjadi harapan bagi penghuni Kampung Pemulung untuk mengubah nasib. Sayang, harapan itu di luar ekspektasi.
Nama Kampung Pemulung diambil dari aktivitas rata-rata para penghuni di permukiman kecil itu. Mereka menjadikan aktivitas memulung sebagai sumber pendapatan. Makan, minum, serta hidup mereka dari hasil mencari dan menjual barang-barang bekas. Dari sinilah mereka menyematkan nama tersebut.
Secara geografis, kawasan permukiman kecil itu berada di Jalan Mirah Seruni, RT 05 RW 07, Kelurahan Pandang, Kecamatan Panakkukang, Kota Makassar. Lokasinya tepat berada di samping pusat perbelanjaan kelas 1 di Ibu Kota Sulawesi Selatan, yakni Panakkukang Square dan Mal Panakkukang. Sangat strategis.
Namun siapa sangka, sebagian penghuni yang sudah puluhan tahun menempati permukiman itu tak pernah dianggap keberadaannya oleh pemerintah setempat. Hal ini yang kemudian menjadi persoalan pelik bagi mereka selama menetap di Kota Daeng—julukan Kota Makassar.
Alasannya pun cukup kompleks. Administrasi kependudukan (adminduk) jadi dalangnya. Sebab sebelumnya, mereka memang berasal dari luar Kota Makassar. Sehingga, mereka dianggap pemerintah setempat sebagai warga daerah lain. Tak bisa begitu saja diakui.
Di permukiman dengan luas ribuan meter persegi itu, saat ini terdapat 60-70 unit rumah semi permanen. Semua terbuat dari material kayu. Dari situ ada sekitar 90 keluarga, dengan estimasi antara 3-5 orang dalam satu keluarga. Namun ada juga 28 di antaranya telah memiliki dokumen adminduk lengkap di Kota Makassar.
Persoalannya, rata-rata dari mereka yang bermukim di Kampung Pemulung adalah perantau. Ada dari Gowa, Takalar, Jeneponto, hingga Nunukan. Bahkan adapula yang berasal dari luar negeri seperti Malaysia.
Dahulu, mereka bermigrasi dari daerah-daerah tersebut menuju Makassar sebagai Ibu Kota Sulawesi Selatan, demi cita-cita mendapatkan hidup yang lebih layak. Hanya saja, mereka datang tidak bersama dengan identitas daerah asal alias dokumen kependudukan. Belakangan ini, mereka baru menyadarinya.
Sebenarnya tak ada yang ingat pasti. Namun berdasarkan penuturan sejumlah penghuni, kawasan permukiman yang mereka tempati saat ini dahulu hanyalah tanah lapang. Akhirnya, beberapa dari mereka memanfaatkan lahan tersebut untuk membangun tempat tinggal.
Seiring berjalannya waktu, banyak orang yang ikut membangun rumah di lahan tersebut. Warga asli Makassar juga ada. Mereka kemudian saling mengajak satu sama lain. Entah itu keluarga maupun kerabat yang senasib.
Halima Daeng Tena, salah satu penghuni yang sudah cukup lama tinggal di Kampung Pemulung. Cuma, ia tak ingat betul bagaimana permukiman ini bisa menjadi ramai. Yang paling dia ingat, mulai berada di sini sejak 1991 silam.
Sehari-hari, ia berjuang mencari nafkah di jalan. Gelas dan botol platik bekas jadi incarannya. Teriknya mentari sudah menjadi makanan rutin baginya. Rela berpanas-panasan demi bisa bertahan hidup tinggal di antara gedung-gedung bertingkat.
Apalagi saat ini, bebannya kian besar setelah suaminya meninggal dunia. Ia kini menjadi tulang punggung keluarga. Sebelum matahari terbit, ia sudah lebih dahulu bekerja menysuri jalan. Terkadang, bisa sampai jam 10 malam. Istirahat hanya saat waktu salat saja.
“Biasanya di belakang Carrefour (Pannakkukang) saya ambil sampah botol plastik dan dos-dos beskas. Yang penting bisa jadi uang. Biasanya itu dapat tiga kantong hitam yang botol plastik,” tuturnya, terbata-bata.
Soal kehidupannya, Halima mengakui selama ini memang tak pernah tersentuh perhatian pemerintah. Namun ia tak mempersoalkannya. Apalagi dirinya berasal dari Kabupaten Jeneponto, sebelum berhijrah ke Kota Makassar selama 30 tahun terakhir.
"Saya dulu tinggal di Desa Bangkala, Jeneponto. Tidak ada lagi keluarga di sana jadi pindah ke sini. Jadi di sini cari nafkah untuk hidup,” ucap dia, lalu melanjutkan perjalanan mencari botol dan gelas plastik bekas.
Ketua RT setempat, Nuraeni Dg Sunggu juga banyak tahu tentang Kampung Pemulung. Dia bahkan tinggal di kawasan yang sama dengan mereka. Sejak 1990-an. Nuraeni merupakan warga asli Makassar, yang sebelumnya tinggal di Jalan Landak, Kota Makassar. Hanya saja ia juga tak tahu pasti bagaimana dan kapan permukiman ini bisa ada.
"Mereka itu rata-rata berdomisili di luar Makassar. Ada dari Jeneponto, ada dari kecil ikut sama mamanya dari Nunukan, Malaysia malah ada juga. Pernah saya rekomendasikan untuk urus KTP-nya, tapi tetap harus ada pengantar di sana (lokasi asal)," tuturnya, saat ditemui belum lama ini.
Karena itu, selama menetap di sana, Kartu Tanda Penduduk (KTP), Kartu Keluarga (KK), hingga akte kelahiran anak sudah tidak begitu mereka hiraukan. Mereka bahkan menikahkan anak dan cucunya tidak melalui Kantor Urusan Agama (KUA) alias nikah siri. Lagi-lagi karena tak punya dokumen kependudukan.
Kondisi inilah yang terus terjadi. Akibatnya, anak dan cucu mereka ikut kena imbasnya. Tidak ada satupun yang bersekolah lataran tak punya akta kelahiran . Sedangkan, penerbitan akta kelahiran tersebut salah satunya harus dilengkapi dengan buku nikah kedua orang tua.
“Misalnya itu yang dari Malaysia, dia kan dibawa sama keluarganya ke sini. Kalau seumpama keluarganya sudah meninggal, bagaimana caranya dia kembali ke Malaysia ambil keterangan berdomisili. Nah lama sekalimi itu,” kata Nuraeni.
Komunikasi dengan aparatur pemerintah setempat seperti Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil ( Disdukcapil ) Kota Makassar sudah beberapa kali ia dilakukan. Hasilnya sama saja. Kata dia, tidak ada solusi lain, kecuali ada surat pengatar dari lokasi asal mereka.
“Begitu-begitu terus alasannya. Nah mereka ini juga tidak tahu harus ke mana kalau kembali ke kampung,” sambungnya.
Di sisi lain, bagi mereka yang mayoritas bekerja sebagai pemulung, waktu sangatlah berarti. Sehari saja tak bekerja, bisa-bisa dua hari ke depan tak makan. Apalagi dari pengakuan warga setempat penghasilan satu keluarga hanya sekitar Rp50 ribu sampai Rp100 ribu dalam sehari.
Luput dari Bantuan
Beranjak dari situ, warga Kampung Pemulung hanya bisa pasrah, sekalipun dokumen adminduk begitu berharga bagi mereka. Betapa lagi dokumen adminduk kini nyaris menjadi persyaratan dalam pelbagai bentuk pelayanan publik. Termasuk jadi acuan bagi pemerintah untuk memberi perhatian.
Hanya keberanian dan tekat yang kuat menjadi pegangan bagi mereka saat ini. Rumah super sederhana yang tebuat dari kayu, papan bekas, dan beralaskan tikar tak jadi masalah. Bagi mereka, yang terpenting adalah punya tempat untuk tidur dan makan. Itu sudah lebih dari cukup.
Persoalan dokumen kependudukan yang mereka hadapi ini baru terasa betul dampaknya bagi mereka beberapa tahun terakhir. Tarulah saat memasuki masa pandemi Covid-19. Riak-riak berebut bantuan sosial terjadi di mana-mana. Sedangkan mereka hanya bisa gigit jari.
Selama dua tahun terakhir di masa pandemi, mereka tidak sekalipun mendapat bantuan dalam bentuk apapun dari pemerintah. Penyemprotan disinfektan apalagi. Tidak pernah tersentuh perhatian. Kawasan permukiman mereka seolah-olah dianggap tak ada.
“Masker saja itu kadang pakai kadang tidak, karena mereka tidak punya kasihan. Biasa ada orang yang kasih baru mereka pakai. Kalau tidak ada yang kasih, tidak adami itu bisa mereka pakai. Tidak ada uang untuk beli,” ujar Nuraeni, dengan mata yang mulai memerah.
Nuraeni mengaku sudah berkali-kali memohon bantuan kepada pemerintah setempat. Mulai lurah, camat, hingga Dinas Sosial (Dinsos) Kota Makassar . Namun, mereka hanya diminta bersabar. Dijanji akan difasilitasi, tetapi tak kunjung ditepati.
"Saya mohon sama orang-orang yang di atas, supaya warga di sini betul-betul diperhatikan kondisinya. Tolonglah turun ke sini melihat langsung bagaimana kondisinya, rumahnya, pekerjaan mereka,” pintanya, sembari meneteskan air mata.
Kampung Pemulung adalah bagian kecil dari cerita masyarakat yang bertaruh hidup di Kota Makassar. Sejatinya masih banyak lagi warga yang tak pernah mendapat perhatian dari pemerintah setempat.
Bisa Bersyarat
Disdukcapil pun menyebut mereka sebagai penduduk rentan karena tidak punya dokumen kependudukan. Sementara, perpindahan mereka dari daerah asal ke Kota Makassar tidak bisa begitu saja dibuatkan dokumennya.
Apalagi, status penghuni Kampung Pemulung juga masih sangat dinamis. Persoalannya, tanah yang mereka duduki saat ini rawan sengketa. Sebab sejauh ini belum jelas siapa tuan tanah di lahan seluas sekitar ribuan meter persegi itu.
“Karena dikhawatirkan, bisa jadi sebenarnya mereka ini musiman. Mereka sudah tercatat di daerahnya, tetapi karena mereka beraktivitas di Makassar dianggap dia tidak punya dokumen kependudukannya Makassar,” ujar Plt Kepala Disdukcapil Kota Makassar, Aryati Puspasari.
Kendati begitu, dokumen kependudukan para penghuni Kampung Pemulung sejatinya bisa difasilitasi. Hanya saja, Disdukcapil menekankan harus adanya alamat tetap. Sebab jika tidak ada, mereka bisa dianggap sebagai penduduk yang berpindah-pindah alias nomaden.
“Di sistem administrasi kependudukan dia harus punya alamat. Nah sekarang apakah ada tokoh masyarakat di situ misalnya yang bersedia untuk dijadikan tempat sebagai alamatnya ini, nah itu juga dulu difasilitasi,” tutur Puspa—sapaan Aryati Puspasari.
Alamat domisili tersebut diakuinya cukup riskan. Makanya perlu diverifikasi betul. Sebab, sebelumnya sudah ada kasus alamat domisili yang mereka masukkan adalah fasilitas umum dan fasilitas sosial (fasum-fasos) milik pemerintah.
“Nah seakan-akan kita memberikan legitimasi bahwa rumah yang dia miliki itu miliknya mi. Jadi boomerang juga untuk kita. Jadi memang harus pasti di mana dia bertempat tinggal yang tetap,” ucapnya.
Setelah persoalan alamat domisili selesai, Puspa menyebut masih ada proses verifikasi melalui pengecekan biometrik. Terutama sidik jari. Dari sinilah mereka bisa terdeteksi apakah sudah pernah memiliki KTP elektronik.
Jika hasilnya tak terdeteksi, barulah mereka bisa mengajukan data baru. Namun mereka tetap mesti mengantongi surat pernyataan dari tuan rumah atau tuan tanah. Kemudian mendapatkan rekomendasi dari RT/RW, lurah, maupun camat wilayah mereka tinggal.
Bagaimana dengan mereka yang dari luar negeri seperti Malaysia? Puspa mengaku harus memastikan dahulu statusnya. Apakah dia adalah warga Indonesia yang tinggal di Malaysia, ataukah merupakan warga kebangsaan Malaysia yang berimigrasi ke Indonesia.
Puspa menjelaskan, kalau dalam kasus ini mereka adalah warga kebangsaan yang tercatat di Malaysia, maka urusannya akan panjang. Mesti melalui Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia ( Kemenkumham ) dahulu. Di situ proses perpindahannya akan difasilitasi.
“Nanti ada pernyataan resmi dia sudah menjadi warga negara Indonesia dari Kementerian Hukum dan HAM baru bisa ke Disdukcapil untuk dicatat sebagai WNI dan diterbitkan dokumen kependudukannya,” jelasnya.
Peluang Bantuan
Bantuan sosial (bansos) yang tidak tepat sasaran mungkin tidak asing lagi bagi masyarakat. Sudah jadi rahasia umum. Bahkan, belakangan mencuat kasus aparatur sipil negara (ASN) yang masuk dalam daftar calon penerima bantuan.
Hal itu terungkap usai Kementerian Sosial ( Kemensos ) merilis ada 31.624 aparatur sipil negara (ASN) yang terindikasi ikut menerima bantuan sosial (bansos). Kemudian disusul Dinsos Sulsel yang menyebut ada lebih dari 1.000 ASN yang terindikasi hal serupa.
Indikasi distribusi bansos tidak tepat sasaran itu kemudian perlahan ikut terungkap di Kota Makassar. Data terakhir, sudah ada 35 ASN maupun TNI atau keluarganya yang ikut masuk dalam daftar penerima bansos.
Berdasarkan informasi, bansos yang terindikasi diterima abdi negara atau keluarganya itu adalah periode Juli-September 2021. Bansos tersebut merupakan program Kemensos yang disalurkan melalui Bank BRI kepada seluruh keluarga penerima manfaat (KPM).
Ketimpangan ini menjadi salah satu saksi lemahnya sistem verifikasi warga miskin di Indonesia, termasuk di Kota Makassar. Akibat kejadian seperti itu, banyak warga miskin lainnya yang harus dikorbankan, sementara mereka jauh lebih layak menjadi penerima manfaat.
Sejauh ini tercatat sebanyak 509.032 orang masuk dalam Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) di Dinsos Kota Makassar per November 2021. Jumlah ini tentunya cukup besar, mengingat pertumbuhan penduduk Kota Makassar yang telah mencapi angka 1.423.877 jiwa di 2020.
Dengan data tersebut, peluang warga miskin menjadi penerima manfaat menjadi sulit dipastikan. Dari seluruh warga yang masuk dalam DTKS, tidak semua bisa terakomodasi untuk menapatkan bantuan.
Kepala Bidang Bantuan Jaminan Kesejahteraan Sosial (BJKS) Dinsos Kota Makassar Andi Salman mengungkapkan, untuk 2021 ini penerima manfaat dari bantuan rutin pemerintah sangat jauh dari DTKS yang ada. Hanya 60.039 orang yang masuk dalam daftar penerima manfaat.
Penerima manfaat itu terbagi dalam dua jenis bantuan rutin setiap tahunnya. Yakni melalui Program Keluarga Harapan (PKH) sebanyak 21.912 penerima dan Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) sebanyak 38.127 penerima.
Semua bantuan yang disalurkan inilah yang diambil dari data kependudukan. Tim verifikasi yang berada di lapangan mesti memastikan orang-orang yang terdata memiliki dokumen adminduk yang lengkap. Jika tidak, maka akan sulit untuk mendapatkan bantuan.
“Kami melakukan verifikasi data berdasarkan dokumen kependudukan yang mereka punya. Itu menjadi dasar kami untuk memasukkan data ke Kementerian Sosial,” sebut Salman.
Dari 509.032 total masyarakat penyandang masalah kesejahteraan sosial ( PMKS ), Dinsos Kota Makassar menemukan setidaknya ada 85.508 dari mereka yang dokumen kependudukannya tidak lengkap. Mulai dari NIK, KK, alamat, tanggal lahir, dan kecamatan/kelurahan.
“Untuk menjadi penerima manfaat kita tidak bisa cover semua. Jadi berdasarkan data yang kita input, nanti dari Kementerian Sosial yang keluarkan kuotanya dan nama-namanya,” jelasnya.
Namun, dalam perjalanannya, penerima manfaat dari dua jenis bantuan rutin tersebut bisa sewaktu-waktu diganti. Lebih fleksibel. Misalnya, ada penerima manfaat yang terdaftar namun kini kehidupannya sudah lebih layak. Bisa diganti dengan mengusulkan calon penerima baru.
“Ada juga yang karena sudah meninggal orangnya, makanya sebaiknya kita alihkan ke orang lain yang juga membutuhkan. Itu juga bisa kita ganti sewaktu-waktu. Di sini ada peran RT/RW yang lebih memgetahui kondisi warganya,” beber Salman.
Respons Wali Kota
Kondisi yang terjadi di Kampung Pemulung rupanya sudah pernah didengar langsung Wali Kota Makassar Moh Ramdhan ‘Danny’ Pomanto. Dia mengakui memang miris melihat kondisi tersebut di tengah Kota Makassar.
Persoalan yang mereka hadapi pun disebutnya cukup pelik. Pasalnya, mereka adalah orang-orang dari daerah lain yang kini menetap di Kota Makassar. Hanya saja, mereka datang tanpa membawa dokumen kependudukan selama puluhan tahun lamanya.
“Ini mereka sudah ke saya semua itu. Karena ternyata orang tidak ada surat nikahnya. Itu masalahnya. Nah tidak ada surat nikahnya, dia tidak keluar akte kelahirannya. Begitu prosedurnya,” ucap wali kota dua periode itu.
Namun, diakuinya kondisi yang mereka hadapi bukan berarti tak ada solusi. Danny pun bakal memfasilitasinya, meski secara terbatas. Salah satu yang nantinya bisa dilakukan adalah menyiapkan program nikah massal khusus untuk warga Kampung Pemulung. Begitu juga dokumen kependudukannya.
“Makanya ini kan dua tahun ini tidak ada kawin massal. Itu gunanya seperti orang begini kasihan. Terkatung-katung dia. Susah dapat bantuan, masuk DTKS tidak bisa,” katanya.
Persoalan kependudukan ini pun dikatakannya merupakan hal serius. Urbanisasi di Kota Makassar memang tak bisa dipungkiri. Sangat kronis. Bahkan ke depan disebut akan terus berdatangan orang-orang dari daerah lain untuk menetap di Kota Makassar.
“Namanya juga kita Makassar untuk semua. Risikonya itu. Termasuk orang datang juga. Ini sudah menyangkut kemanusiaan. Tidak lagi menyalahkan dari mana berasal. Selama ada di kota ini, menjadi tanggung jawab kita,” tegasnya.
Nama Kampung Pemulung diambil dari aktivitas rata-rata para penghuni di permukiman kecil itu. Mereka menjadikan aktivitas memulung sebagai sumber pendapatan. Makan, minum, serta hidup mereka dari hasil mencari dan menjual barang-barang bekas. Dari sinilah mereka menyematkan nama tersebut.
Secara geografis, kawasan permukiman kecil itu berada di Jalan Mirah Seruni, RT 05 RW 07, Kelurahan Pandang, Kecamatan Panakkukang, Kota Makassar. Lokasinya tepat berada di samping pusat perbelanjaan kelas 1 di Ibu Kota Sulawesi Selatan, yakni Panakkukang Square dan Mal Panakkukang. Sangat strategis.
Namun siapa sangka, sebagian penghuni yang sudah puluhan tahun menempati permukiman itu tak pernah dianggap keberadaannya oleh pemerintah setempat. Hal ini yang kemudian menjadi persoalan pelik bagi mereka selama menetap di Kota Daeng—julukan Kota Makassar.
Alasannya pun cukup kompleks. Administrasi kependudukan (adminduk) jadi dalangnya. Sebab sebelumnya, mereka memang berasal dari luar Kota Makassar. Sehingga, mereka dianggap pemerintah setempat sebagai warga daerah lain. Tak bisa begitu saja diakui.
Di permukiman dengan luas ribuan meter persegi itu, saat ini terdapat 60-70 unit rumah semi permanen. Semua terbuat dari material kayu. Dari situ ada sekitar 90 keluarga, dengan estimasi antara 3-5 orang dalam satu keluarga. Namun ada juga 28 di antaranya telah memiliki dokumen adminduk lengkap di Kota Makassar.
Persoalannya, rata-rata dari mereka yang bermukim di Kampung Pemulung adalah perantau. Ada dari Gowa, Takalar, Jeneponto, hingga Nunukan. Bahkan adapula yang berasal dari luar negeri seperti Malaysia.
Dahulu, mereka bermigrasi dari daerah-daerah tersebut menuju Makassar sebagai Ibu Kota Sulawesi Selatan, demi cita-cita mendapatkan hidup yang lebih layak. Hanya saja, mereka datang tidak bersama dengan identitas daerah asal alias dokumen kependudukan. Belakangan ini, mereka baru menyadarinya.
Sebenarnya tak ada yang ingat pasti. Namun berdasarkan penuturan sejumlah penghuni, kawasan permukiman yang mereka tempati saat ini dahulu hanyalah tanah lapang. Akhirnya, beberapa dari mereka memanfaatkan lahan tersebut untuk membangun tempat tinggal.
Seiring berjalannya waktu, banyak orang yang ikut membangun rumah di lahan tersebut. Warga asli Makassar juga ada. Mereka kemudian saling mengajak satu sama lain. Entah itu keluarga maupun kerabat yang senasib.
Halima Daeng Tena, salah satu penghuni yang sudah cukup lama tinggal di Kampung Pemulung. Cuma, ia tak ingat betul bagaimana permukiman ini bisa menjadi ramai. Yang paling dia ingat, mulai berada di sini sejak 1991 silam.
Sehari-hari, ia berjuang mencari nafkah di jalan. Gelas dan botol platik bekas jadi incarannya. Teriknya mentari sudah menjadi makanan rutin baginya. Rela berpanas-panasan demi bisa bertahan hidup tinggal di antara gedung-gedung bertingkat.
Apalagi saat ini, bebannya kian besar setelah suaminya meninggal dunia. Ia kini menjadi tulang punggung keluarga. Sebelum matahari terbit, ia sudah lebih dahulu bekerja menysuri jalan. Terkadang, bisa sampai jam 10 malam. Istirahat hanya saat waktu salat saja.
“Biasanya di belakang Carrefour (Pannakkukang) saya ambil sampah botol plastik dan dos-dos beskas. Yang penting bisa jadi uang. Biasanya itu dapat tiga kantong hitam yang botol plastik,” tuturnya, terbata-bata.
Soal kehidupannya, Halima mengakui selama ini memang tak pernah tersentuh perhatian pemerintah. Namun ia tak mempersoalkannya. Apalagi dirinya berasal dari Kabupaten Jeneponto, sebelum berhijrah ke Kota Makassar selama 30 tahun terakhir.
"Saya dulu tinggal di Desa Bangkala, Jeneponto. Tidak ada lagi keluarga di sana jadi pindah ke sini. Jadi di sini cari nafkah untuk hidup,” ucap dia, lalu melanjutkan perjalanan mencari botol dan gelas plastik bekas.
Ketua RT setempat, Nuraeni Dg Sunggu juga banyak tahu tentang Kampung Pemulung. Dia bahkan tinggal di kawasan yang sama dengan mereka. Sejak 1990-an. Nuraeni merupakan warga asli Makassar, yang sebelumnya tinggal di Jalan Landak, Kota Makassar. Hanya saja ia juga tak tahu pasti bagaimana dan kapan permukiman ini bisa ada.
"Mereka itu rata-rata berdomisili di luar Makassar. Ada dari Jeneponto, ada dari kecil ikut sama mamanya dari Nunukan, Malaysia malah ada juga. Pernah saya rekomendasikan untuk urus KTP-nya, tapi tetap harus ada pengantar di sana (lokasi asal)," tuturnya, saat ditemui belum lama ini.
Karena itu, selama menetap di sana, Kartu Tanda Penduduk (KTP), Kartu Keluarga (KK), hingga akte kelahiran anak sudah tidak begitu mereka hiraukan. Mereka bahkan menikahkan anak dan cucunya tidak melalui Kantor Urusan Agama (KUA) alias nikah siri. Lagi-lagi karena tak punya dokumen kependudukan.
Kondisi inilah yang terus terjadi. Akibatnya, anak dan cucu mereka ikut kena imbasnya. Tidak ada satupun yang bersekolah lataran tak punya akta kelahiran . Sedangkan, penerbitan akta kelahiran tersebut salah satunya harus dilengkapi dengan buku nikah kedua orang tua.
“Misalnya itu yang dari Malaysia, dia kan dibawa sama keluarganya ke sini. Kalau seumpama keluarganya sudah meninggal, bagaimana caranya dia kembali ke Malaysia ambil keterangan berdomisili. Nah lama sekalimi itu,” kata Nuraeni.
Komunikasi dengan aparatur pemerintah setempat seperti Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil ( Disdukcapil ) Kota Makassar sudah beberapa kali ia dilakukan. Hasilnya sama saja. Kata dia, tidak ada solusi lain, kecuali ada surat pengatar dari lokasi asal mereka.
“Begitu-begitu terus alasannya. Nah mereka ini juga tidak tahu harus ke mana kalau kembali ke kampung,” sambungnya.
Di sisi lain, bagi mereka yang mayoritas bekerja sebagai pemulung, waktu sangatlah berarti. Sehari saja tak bekerja, bisa-bisa dua hari ke depan tak makan. Apalagi dari pengakuan warga setempat penghasilan satu keluarga hanya sekitar Rp50 ribu sampai Rp100 ribu dalam sehari.
Luput dari Bantuan
Beranjak dari situ, warga Kampung Pemulung hanya bisa pasrah, sekalipun dokumen adminduk begitu berharga bagi mereka. Betapa lagi dokumen adminduk kini nyaris menjadi persyaratan dalam pelbagai bentuk pelayanan publik. Termasuk jadi acuan bagi pemerintah untuk memberi perhatian.
Hanya keberanian dan tekat yang kuat menjadi pegangan bagi mereka saat ini. Rumah super sederhana yang tebuat dari kayu, papan bekas, dan beralaskan tikar tak jadi masalah. Bagi mereka, yang terpenting adalah punya tempat untuk tidur dan makan. Itu sudah lebih dari cukup.
Persoalan dokumen kependudukan yang mereka hadapi ini baru terasa betul dampaknya bagi mereka beberapa tahun terakhir. Tarulah saat memasuki masa pandemi Covid-19. Riak-riak berebut bantuan sosial terjadi di mana-mana. Sedangkan mereka hanya bisa gigit jari.
Selama dua tahun terakhir di masa pandemi, mereka tidak sekalipun mendapat bantuan dalam bentuk apapun dari pemerintah. Penyemprotan disinfektan apalagi. Tidak pernah tersentuh perhatian. Kawasan permukiman mereka seolah-olah dianggap tak ada.
“Masker saja itu kadang pakai kadang tidak, karena mereka tidak punya kasihan. Biasa ada orang yang kasih baru mereka pakai. Kalau tidak ada yang kasih, tidak adami itu bisa mereka pakai. Tidak ada uang untuk beli,” ujar Nuraeni, dengan mata yang mulai memerah.
Nuraeni mengaku sudah berkali-kali memohon bantuan kepada pemerintah setempat. Mulai lurah, camat, hingga Dinas Sosial (Dinsos) Kota Makassar . Namun, mereka hanya diminta bersabar. Dijanji akan difasilitasi, tetapi tak kunjung ditepati.
"Saya mohon sama orang-orang yang di atas, supaya warga di sini betul-betul diperhatikan kondisinya. Tolonglah turun ke sini melihat langsung bagaimana kondisinya, rumahnya, pekerjaan mereka,” pintanya, sembari meneteskan air mata.
Kampung Pemulung adalah bagian kecil dari cerita masyarakat yang bertaruh hidup di Kota Makassar. Sejatinya masih banyak lagi warga yang tak pernah mendapat perhatian dari pemerintah setempat.
Bisa Bersyarat
Disdukcapil pun menyebut mereka sebagai penduduk rentan karena tidak punya dokumen kependudukan. Sementara, perpindahan mereka dari daerah asal ke Kota Makassar tidak bisa begitu saja dibuatkan dokumennya.
Apalagi, status penghuni Kampung Pemulung juga masih sangat dinamis. Persoalannya, tanah yang mereka duduki saat ini rawan sengketa. Sebab sejauh ini belum jelas siapa tuan tanah di lahan seluas sekitar ribuan meter persegi itu.
“Karena dikhawatirkan, bisa jadi sebenarnya mereka ini musiman. Mereka sudah tercatat di daerahnya, tetapi karena mereka beraktivitas di Makassar dianggap dia tidak punya dokumen kependudukannya Makassar,” ujar Plt Kepala Disdukcapil Kota Makassar, Aryati Puspasari.
Kendati begitu, dokumen kependudukan para penghuni Kampung Pemulung sejatinya bisa difasilitasi. Hanya saja, Disdukcapil menekankan harus adanya alamat tetap. Sebab jika tidak ada, mereka bisa dianggap sebagai penduduk yang berpindah-pindah alias nomaden.
“Di sistem administrasi kependudukan dia harus punya alamat. Nah sekarang apakah ada tokoh masyarakat di situ misalnya yang bersedia untuk dijadikan tempat sebagai alamatnya ini, nah itu juga dulu difasilitasi,” tutur Puspa—sapaan Aryati Puspasari.
Alamat domisili tersebut diakuinya cukup riskan. Makanya perlu diverifikasi betul. Sebab, sebelumnya sudah ada kasus alamat domisili yang mereka masukkan adalah fasilitas umum dan fasilitas sosial (fasum-fasos) milik pemerintah.
“Nah seakan-akan kita memberikan legitimasi bahwa rumah yang dia miliki itu miliknya mi. Jadi boomerang juga untuk kita. Jadi memang harus pasti di mana dia bertempat tinggal yang tetap,” ucapnya.
Setelah persoalan alamat domisili selesai, Puspa menyebut masih ada proses verifikasi melalui pengecekan biometrik. Terutama sidik jari. Dari sinilah mereka bisa terdeteksi apakah sudah pernah memiliki KTP elektronik.
Jika hasilnya tak terdeteksi, barulah mereka bisa mengajukan data baru. Namun mereka tetap mesti mengantongi surat pernyataan dari tuan rumah atau tuan tanah. Kemudian mendapatkan rekomendasi dari RT/RW, lurah, maupun camat wilayah mereka tinggal.
Bagaimana dengan mereka yang dari luar negeri seperti Malaysia? Puspa mengaku harus memastikan dahulu statusnya. Apakah dia adalah warga Indonesia yang tinggal di Malaysia, ataukah merupakan warga kebangsaan Malaysia yang berimigrasi ke Indonesia.
Puspa menjelaskan, kalau dalam kasus ini mereka adalah warga kebangsaan yang tercatat di Malaysia, maka urusannya akan panjang. Mesti melalui Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia ( Kemenkumham ) dahulu. Di situ proses perpindahannya akan difasilitasi.
“Nanti ada pernyataan resmi dia sudah menjadi warga negara Indonesia dari Kementerian Hukum dan HAM baru bisa ke Disdukcapil untuk dicatat sebagai WNI dan diterbitkan dokumen kependudukannya,” jelasnya.
Peluang Bantuan
Bantuan sosial (bansos) yang tidak tepat sasaran mungkin tidak asing lagi bagi masyarakat. Sudah jadi rahasia umum. Bahkan, belakangan mencuat kasus aparatur sipil negara (ASN) yang masuk dalam daftar calon penerima bantuan.
Hal itu terungkap usai Kementerian Sosial ( Kemensos ) merilis ada 31.624 aparatur sipil negara (ASN) yang terindikasi ikut menerima bantuan sosial (bansos). Kemudian disusul Dinsos Sulsel yang menyebut ada lebih dari 1.000 ASN yang terindikasi hal serupa.
Indikasi distribusi bansos tidak tepat sasaran itu kemudian perlahan ikut terungkap di Kota Makassar. Data terakhir, sudah ada 35 ASN maupun TNI atau keluarganya yang ikut masuk dalam daftar penerima bansos.
Berdasarkan informasi, bansos yang terindikasi diterima abdi negara atau keluarganya itu adalah periode Juli-September 2021. Bansos tersebut merupakan program Kemensos yang disalurkan melalui Bank BRI kepada seluruh keluarga penerima manfaat (KPM).
Ketimpangan ini menjadi salah satu saksi lemahnya sistem verifikasi warga miskin di Indonesia, termasuk di Kota Makassar. Akibat kejadian seperti itu, banyak warga miskin lainnya yang harus dikorbankan, sementara mereka jauh lebih layak menjadi penerima manfaat.
Sejauh ini tercatat sebanyak 509.032 orang masuk dalam Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) di Dinsos Kota Makassar per November 2021. Jumlah ini tentunya cukup besar, mengingat pertumbuhan penduduk Kota Makassar yang telah mencapi angka 1.423.877 jiwa di 2020.
Dengan data tersebut, peluang warga miskin menjadi penerima manfaat menjadi sulit dipastikan. Dari seluruh warga yang masuk dalam DTKS, tidak semua bisa terakomodasi untuk menapatkan bantuan.
Kepala Bidang Bantuan Jaminan Kesejahteraan Sosial (BJKS) Dinsos Kota Makassar Andi Salman mengungkapkan, untuk 2021 ini penerima manfaat dari bantuan rutin pemerintah sangat jauh dari DTKS yang ada. Hanya 60.039 orang yang masuk dalam daftar penerima manfaat.
Penerima manfaat itu terbagi dalam dua jenis bantuan rutin setiap tahunnya. Yakni melalui Program Keluarga Harapan (PKH) sebanyak 21.912 penerima dan Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) sebanyak 38.127 penerima.
Semua bantuan yang disalurkan inilah yang diambil dari data kependudukan. Tim verifikasi yang berada di lapangan mesti memastikan orang-orang yang terdata memiliki dokumen adminduk yang lengkap. Jika tidak, maka akan sulit untuk mendapatkan bantuan.
“Kami melakukan verifikasi data berdasarkan dokumen kependudukan yang mereka punya. Itu menjadi dasar kami untuk memasukkan data ke Kementerian Sosial,” sebut Salman.
Dari 509.032 total masyarakat penyandang masalah kesejahteraan sosial ( PMKS ), Dinsos Kota Makassar menemukan setidaknya ada 85.508 dari mereka yang dokumen kependudukannya tidak lengkap. Mulai dari NIK, KK, alamat, tanggal lahir, dan kecamatan/kelurahan.
“Untuk menjadi penerima manfaat kita tidak bisa cover semua. Jadi berdasarkan data yang kita input, nanti dari Kementerian Sosial yang keluarkan kuotanya dan nama-namanya,” jelasnya.
Namun, dalam perjalanannya, penerima manfaat dari dua jenis bantuan rutin tersebut bisa sewaktu-waktu diganti. Lebih fleksibel. Misalnya, ada penerima manfaat yang terdaftar namun kini kehidupannya sudah lebih layak. Bisa diganti dengan mengusulkan calon penerima baru.
“Ada juga yang karena sudah meninggal orangnya, makanya sebaiknya kita alihkan ke orang lain yang juga membutuhkan. Itu juga bisa kita ganti sewaktu-waktu. Di sini ada peran RT/RW yang lebih memgetahui kondisi warganya,” beber Salman.
Respons Wali Kota
Kondisi yang terjadi di Kampung Pemulung rupanya sudah pernah didengar langsung Wali Kota Makassar Moh Ramdhan ‘Danny’ Pomanto. Dia mengakui memang miris melihat kondisi tersebut di tengah Kota Makassar.
Persoalan yang mereka hadapi pun disebutnya cukup pelik. Pasalnya, mereka adalah orang-orang dari daerah lain yang kini menetap di Kota Makassar. Hanya saja, mereka datang tanpa membawa dokumen kependudukan selama puluhan tahun lamanya.
“Ini mereka sudah ke saya semua itu. Karena ternyata orang tidak ada surat nikahnya. Itu masalahnya. Nah tidak ada surat nikahnya, dia tidak keluar akte kelahirannya. Begitu prosedurnya,” ucap wali kota dua periode itu.
Namun, diakuinya kondisi yang mereka hadapi bukan berarti tak ada solusi. Danny pun bakal memfasilitasinya, meski secara terbatas. Salah satu yang nantinya bisa dilakukan adalah menyiapkan program nikah massal khusus untuk warga Kampung Pemulung. Begitu juga dokumen kependudukannya.
“Makanya ini kan dua tahun ini tidak ada kawin massal. Itu gunanya seperti orang begini kasihan. Terkatung-katung dia. Susah dapat bantuan, masuk DTKS tidak bisa,” katanya.
Persoalan kependudukan ini pun dikatakannya merupakan hal serius. Urbanisasi di Kota Makassar memang tak bisa dipungkiri. Sangat kronis. Bahkan ke depan disebut akan terus berdatangan orang-orang dari daerah lain untuk menetap di Kota Makassar.
“Namanya juga kita Makassar untuk semua. Risikonya itu. Termasuk orang datang juga. Ini sudah menyangkut kemanusiaan. Tidak lagi menyalahkan dari mana berasal. Selama ada di kota ini, menjadi tanggung jawab kita,” tegasnya.
(agn)