Berkuasanya Raja La Maddaremeng Hapus Perbudakan di Kerajaan Bone
loading...
A
A
A
Cerita pagi kali ini menyajikan kisah perbudakan di Kerajaan Bone atau sering disebut Akkarungeng ri Bone mendapat penentangan dari Raja Bone XIII La Maddaremeng Matinroe ri Bukaka. Selama masa kepemimpinannya 1631-1640, Raja La Maddaremeng menerapkan aturan Islam dengan ketat termasuk menghapus praktik perbudakan.
Tidak hanya di dalam wilayahnya, Raja La Maddaremeng menerapkan ajaran Islam hingga ke Kerajaan Wajo dan Soppeng. Dia sangat menentang perbudakan dengan mengeluarkan perintah untuk tidak lagi mempekerjakan ata (budak). Dia menilai semua umat Islam adalah orang yang merdeka. Bila seseorang mempekerjakan seseorang maka orang tersebut harus mendapatkan nafkah sewajarnya.
Ketika Sultan Alaudin, raja Gowa XIV, menerima Islam sebagai agama resmi kerajaan, seluruh kerajaan taklukannya di Sulawesi Selatan wajib masuk Islam. Namun, persekutuan kerajaan dalam ikrar tellu bocco, yakni Bone, Soppeng dan Wajo tidak menerima begitu saja.
Ajakan masuk Islam oleh Gowa dianggap sebagai upaya menanamkan kekuasaan di wilayah kerajaan itu. Akhirnya, selama empat tahun, Gowa menyerang tiga kerajaan itu. Perang ini dikenal dengan nama Musu Selleng (Peperangan Islam). Sidenreng dan Soppeng diislamkan pada 1690, Wajo pada 1610 dan Bone pada 1611.
Selain membebaskan budak, La Maddaremeng juga menghancurkan berhala dan tidak mengizinkan kepercayaan leluhur yang tidak sesuai syariat Islam. Namun, tindakan itu tak begitu disenangi rakyat dan kalangan istana, bahkan ibunya sendiri, We Tenrisoloreng Datu Pattiro.
Kerajaan tetangga yang merasa tertekan dengan aturan La Maddaremeng secara perlahan menggalang kekuatan dengan kerajaan Gowa. Pada 1640, tulis Mattulada dalam Menyusuri Jejak Kehadiran Makassar Dalam Sejarah, menyebutkan We Tenrisoloreng Datu Pattiro ibunda sang raja melakukan perjalanan dan menuju Makassar untuk meminta perlindungan pada Sultan Malikussaid, raja Gowa XV (periode 1639-1653) pengganti Sultan Alaudin yang mangkat.
Dalam lontara’ kerajaan Gowa Tallo, beberapa kali utusan kerajaan Gowa menuju Bone untuk meminta penghentian aturan tersebut, namun tak pernah digubris La Madderemeng. Akhirnya, perang pun kembali berkobar. Gowa didukung Wajo, Soppeng dan Sidenreng menghimpun pasukan dalam jumlah besar dan menyerang Bone.
Pada 1644, Bone ditaklukkan. La Maddaremeng ditangkap dan ditawan di Makassar. Sementara adiknya La Tenriaja yang mendukung segala aturan La Madderemeng, melarikan diri. Kekalahan inilah yang kemudian dalam lontara’ Bone dituliskan, “Naripoatana Bone seppulo pitu taung ittana.” (maka diperbudaklah (Bone) tujuh belas tahun lamanya).
Kekosongan takhta di kerajaan Bone saat itu, menunjuk Karaeng Patingaloang sebagai Mangkubumi Kerajaan Gowa sekaligus paman dari Sultan Malikussaid menjadi raja. Namun, permintaan tersebut ditolak. Dan akhirnya Sultan Malikussaid menjadi raja Bone sekaligus Gowa.
Tidak hanya di dalam wilayahnya, Raja La Maddaremeng menerapkan ajaran Islam hingga ke Kerajaan Wajo dan Soppeng. Dia sangat menentang perbudakan dengan mengeluarkan perintah untuk tidak lagi mempekerjakan ata (budak). Dia menilai semua umat Islam adalah orang yang merdeka. Bila seseorang mempekerjakan seseorang maka orang tersebut harus mendapatkan nafkah sewajarnya.
Ketika Sultan Alaudin, raja Gowa XIV, menerima Islam sebagai agama resmi kerajaan, seluruh kerajaan taklukannya di Sulawesi Selatan wajib masuk Islam. Namun, persekutuan kerajaan dalam ikrar tellu bocco, yakni Bone, Soppeng dan Wajo tidak menerima begitu saja.
Ajakan masuk Islam oleh Gowa dianggap sebagai upaya menanamkan kekuasaan di wilayah kerajaan itu. Akhirnya, selama empat tahun, Gowa menyerang tiga kerajaan itu. Perang ini dikenal dengan nama Musu Selleng (Peperangan Islam). Sidenreng dan Soppeng diislamkan pada 1690, Wajo pada 1610 dan Bone pada 1611.
Selain membebaskan budak, La Maddaremeng juga menghancurkan berhala dan tidak mengizinkan kepercayaan leluhur yang tidak sesuai syariat Islam. Namun, tindakan itu tak begitu disenangi rakyat dan kalangan istana, bahkan ibunya sendiri, We Tenrisoloreng Datu Pattiro.
Kerajaan tetangga yang merasa tertekan dengan aturan La Maddaremeng secara perlahan menggalang kekuatan dengan kerajaan Gowa. Pada 1640, tulis Mattulada dalam Menyusuri Jejak Kehadiran Makassar Dalam Sejarah, menyebutkan We Tenrisoloreng Datu Pattiro ibunda sang raja melakukan perjalanan dan menuju Makassar untuk meminta perlindungan pada Sultan Malikussaid, raja Gowa XV (periode 1639-1653) pengganti Sultan Alaudin yang mangkat.
Dalam lontara’ kerajaan Gowa Tallo, beberapa kali utusan kerajaan Gowa menuju Bone untuk meminta penghentian aturan tersebut, namun tak pernah digubris La Madderemeng. Akhirnya, perang pun kembali berkobar. Gowa didukung Wajo, Soppeng dan Sidenreng menghimpun pasukan dalam jumlah besar dan menyerang Bone.
Pada 1644, Bone ditaklukkan. La Maddaremeng ditangkap dan ditawan di Makassar. Sementara adiknya La Tenriaja yang mendukung segala aturan La Madderemeng, melarikan diri. Kekalahan inilah yang kemudian dalam lontara’ Bone dituliskan, “Naripoatana Bone seppulo pitu taung ittana.” (maka diperbudaklah (Bone) tujuh belas tahun lamanya).
Kekosongan takhta di kerajaan Bone saat itu, menunjuk Karaeng Patingaloang sebagai Mangkubumi Kerajaan Gowa sekaligus paman dari Sultan Malikussaid menjadi raja. Namun, permintaan tersebut ditolak. Dan akhirnya Sultan Malikussaid menjadi raja Bone sekaligus Gowa.