PPKM Diperpanjang, Seniman Tulungagung Sebut Kelaparan Juga Membunuh Rakyat
loading...
A
A
A
Dilarangnya acara resepsi pernikahan, kata Koko membuat semuanya tidak bisa berproduksi lagi. "Begitu juga di ruang-ruang berkesenian lain, nasibnya sama," kata Koko. Tidak ada opsi lain selain banting stir. Terjadinya pandemi dan berlakunya PPKM darurat, secara ekonomis profesi seniman sudah tidak bisa diandalkan.
Agar tetap bisa bertahan hidup , kata Koko banyak seniman yang beralih menjadi ojek online. Tidak sedikit yang ke sawah dan ladang, menjadi petani. Kemudian menjadi kuli bangunan, berdagang online dan lain sebagainya. Intinya, apa saja dilakukan. Koko sendiri lebih menekuni usaha kafe kecil yang cukup lama ia tekuni.
Koko memiliki keluarga yang harus dihidupi. Mempunyai tiga anak yang harus dibesarkan dengan baik. Sementara dengan berlakunya PPKM darurat , usaha kafe kecilnya sudah tidak bisa diharapkan. Menurut Koko, negara terlalu berkosentrasi dengan urusan COVID-19, namun di satu sisi kurang memperhatikan hajat hidup rakyat. Negara telah lupa.
Tidak hanya COVID-19 yang bisa membunuh rakyat. Kelaparan juga bisa membunuh rakyat. "Dulu (sebelum pandemi) rata-rata per malam bisa 100 cangkir kopi. Sekarang dapat 10 cangkir saja sudah untung," terang Koko.
Pernah suatu ketika para seniman Tulungagung mencoba peruntungan dengan membuat konten kreatif melalui platform digital. Namun mengingat waktu yang dibutuhkan untuk monetizing relatif lama, mereka pesimis. Sama pesimisnya dengan program bantuan sosial yang diberikan negara. Mulai BLT subsidi gaji maupun bansos lainnya, para pekerja seni, khususnya di Tulungagung pesimis akan ikut dapat bantuan. Apalagi di Tulungagung.
Menurut Koko, mereka yang mendapatkan bansos adalah orang-orang yang memiliki kedekatan dengan perangkat pemerintah. Ia juga melihat pemberlakukan aturan PPKM kepada aparat, tidak seketat dengan yang diterapkan kepada rakyat. "Mereka masih bisa menggelar acara seremonial lebih leluasa," pungkas Koko.
Hal senada disampaikan Arief Setiawan, seorang musisi Blitar. Pandemi COVID-19 yang diperketat dengan PPKM darurat membuatnya harus lebih menekuni usaha jualan ketan. Setiap mulai pukul 16.00 WIB. Dengan sebuah gerobak dorong, ia mangkal di pinggir Jalan Tanjung Kota Blitar.
Gitaris sebuah band Kota Blitar tersebut, menjajakan sejumlah varian makanan ketan, yakni mulai harga Rp4 ribu-6 ribu. Sebab job-job manggung reguler setiap pekan, praktis sudah tidak bisa diharapkan. "Yang berhubungan dengan entertainment nangis. Terutama musisi cafe, tukang sound, tukang panggung," ujarnya.
Agar tetap bisa bertahan hidup , kata Koko banyak seniman yang beralih menjadi ojek online. Tidak sedikit yang ke sawah dan ladang, menjadi petani. Kemudian menjadi kuli bangunan, berdagang online dan lain sebagainya. Intinya, apa saja dilakukan. Koko sendiri lebih menekuni usaha kafe kecil yang cukup lama ia tekuni.
Koko memiliki keluarga yang harus dihidupi. Mempunyai tiga anak yang harus dibesarkan dengan baik. Sementara dengan berlakunya PPKM darurat , usaha kafe kecilnya sudah tidak bisa diharapkan. Menurut Koko, negara terlalu berkosentrasi dengan urusan COVID-19, namun di satu sisi kurang memperhatikan hajat hidup rakyat. Negara telah lupa.
Tidak hanya COVID-19 yang bisa membunuh rakyat. Kelaparan juga bisa membunuh rakyat. "Dulu (sebelum pandemi) rata-rata per malam bisa 100 cangkir kopi. Sekarang dapat 10 cangkir saja sudah untung," terang Koko.
Pernah suatu ketika para seniman Tulungagung mencoba peruntungan dengan membuat konten kreatif melalui platform digital. Namun mengingat waktu yang dibutuhkan untuk monetizing relatif lama, mereka pesimis. Sama pesimisnya dengan program bantuan sosial yang diberikan negara. Mulai BLT subsidi gaji maupun bansos lainnya, para pekerja seni, khususnya di Tulungagung pesimis akan ikut dapat bantuan. Apalagi di Tulungagung.
Menurut Koko, mereka yang mendapatkan bansos adalah orang-orang yang memiliki kedekatan dengan perangkat pemerintah. Ia juga melihat pemberlakukan aturan PPKM kepada aparat, tidak seketat dengan yang diterapkan kepada rakyat. "Mereka masih bisa menggelar acara seremonial lebih leluasa," pungkas Koko.
Hal senada disampaikan Arief Setiawan, seorang musisi Blitar. Pandemi COVID-19 yang diperketat dengan PPKM darurat membuatnya harus lebih menekuni usaha jualan ketan. Setiap mulai pukul 16.00 WIB. Dengan sebuah gerobak dorong, ia mangkal di pinggir Jalan Tanjung Kota Blitar.
Gitaris sebuah band Kota Blitar tersebut, menjajakan sejumlah varian makanan ketan, yakni mulai harga Rp4 ribu-6 ribu. Sebab job-job manggung reguler setiap pekan, praktis sudah tidak bisa diharapkan. "Yang berhubungan dengan entertainment nangis. Terutama musisi cafe, tukang sound, tukang panggung," ujarnya.