Cak Durasim dan Kidung Perlawanan Terhadap Jepang
loading...
A
A
A
SURABAYA - Mengenal Surabaya adalah memahami hakikat perlawanan. Tidak hanya lewat senjata, perlawanan itu juga terbungkus melalui kata-kata. Dan kidungan Cak Durasim yang berisi perlawanan masih melayang-layang abadi di langit-langit Surabaya sampai saat ini.
"Pagupon omahe doro, melu Nipon tambah Soro" salah satu penggalan kidung milik Cak Durasim. Kidung atau parikan sederhana sederhana itu menembus panggung-panggung hiburan rakyat. Masuk dalam pikiran dan memerintahkan kaki-kaki untuk melawan penjajah.
Gondo Durasim, atau lebih akrab dikenal dengan sebutan Cak Durasim membuat cara baru dalam melawan penjajah. Panggung kesenian menjadi medan perangnya untuk bisa mengajak semua warga ikut melawan. Tidak boleh ada yang lemah dan tunduk pada penjajahan.
Baca juga: Gempar, Ini Penampakan Uang Kertas Kuno Bergambar Wayang Seharga Rp1,5 Miliar
Kesenian Ludruk menjadi strategi gerilya yang mujarab. Lewat kesenian itu, benih perlawanan terus ditabuh melalui jula-juli yang didendangkan di atas panggung. Cak Durasim menempatkan dirinya sebagai seniman sekaligus pejuang yang terus membakar semangat warga dalam mengusir penjajah lewat parikannya.
Benih perlawanan yang ditanam Cak Durasim mulai dicium oleh Jepang. Gerakannya masif dan mampu mengajak orang-orang untuk ikut melawan Jepang. Mereka murka, dan para tentara Nippon yang menduduki Kota Surabaya terus memburunya. Dan kidung sederhana miliknya menjadi senjata yang terpatri di kepala setiap pejuang dan arek-arek Suroboyo, "Pagupon rumahnya burung dara. Dijajah Nipon tambah sengsara".
Nama Cak Durasim masih begitu lekat dengan setiap sisi perlawanan warga Surabaya. Ia adalah seniman sekaligus pelopor Ludruk Surabaya. Caranya melawan narasi propaganda Jepang melalui parikan menjadi simbol perlawanan yang tak pernah surut. Jula-julinya disukai warga dan memompa semangat mereka untuk menolak tunduk pada penjajahan.
Dalam setiap narasinya, Cak Durasim di atas panggung Ludruk selalu menyebut kewaspadaan pada propaganda Jepang yang menegaskan dirinya sebagai saudara tua bangsa Indonesia. Serta menyampaikan dan akan melepaskan dari belenggu penjajahan Belanda yang sudah dilakukan selama ratusan tahun.
Baca juga: Wanita Muda Asal Jawa Barat Ditemukan Tewas Telanjang di Kamar Hotel
Cak Durasim menilai propaganda hanya rayuan Jepang dan usaha tipu muslihat untuk merayu rakyat Indonesia saja. Cak Durasim menyampaikan pesan untuk menghindari propaganda melalui kesenian Ludruk. Melalui lakon cerita berbentuk perlawanan terhadap penjajah. Ludruk tampil memikat, namun juga berperan mengajak masyarakat agar tak tertipu terhadap rayuan Jepang.
"Pagupon omahe doro, melu Nipon tambah Soro" salah satu penggalan kidung milik Cak Durasim. Kidung atau parikan sederhana sederhana itu menembus panggung-panggung hiburan rakyat. Masuk dalam pikiran dan memerintahkan kaki-kaki untuk melawan penjajah.
Gondo Durasim, atau lebih akrab dikenal dengan sebutan Cak Durasim membuat cara baru dalam melawan penjajah. Panggung kesenian menjadi medan perangnya untuk bisa mengajak semua warga ikut melawan. Tidak boleh ada yang lemah dan tunduk pada penjajahan.
Baca juga: Gempar, Ini Penampakan Uang Kertas Kuno Bergambar Wayang Seharga Rp1,5 Miliar
Kesenian Ludruk menjadi strategi gerilya yang mujarab. Lewat kesenian itu, benih perlawanan terus ditabuh melalui jula-juli yang didendangkan di atas panggung. Cak Durasim menempatkan dirinya sebagai seniman sekaligus pejuang yang terus membakar semangat warga dalam mengusir penjajah lewat parikannya.
Benih perlawanan yang ditanam Cak Durasim mulai dicium oleh Jepang. Gerakannya masif dan mampu mengajak orang-orang untuk ikut melawan Jepang. Mereka murka, dan para tentara Nippon yang menduduki Kota Surabaya terus memburunya. Dan kidung sederhana miliknya menjadi senjata yang terpatri di kepala setiap pejuang dan arek-arek Suroboyo, "Pagupon rumahnya burung dara. Dijajah Nipon tambah sengsara".
Nama Cak Durasim masih begitu lekat dengan setiap sisi perlawanan warga Surabaya. Ia adalah seniman sekaligus pelopor Ludruk Surabaya. Caranya melawan narasi propaganda Jepang melalui parikan menjadi simbol perlawanan yang tak pernah surut. Jula-julinya disukai warga dan memompa semangat mereka untuk menolak tunduk pada penjajahan.
Dalam setiap narasinya, Cak Durasim di atas panggung Ludruk selalu menyebut kewaspadaan pada propaganda Jepang yang menegaskan dirinya sebagai saudara tua bangsa Indonesia. Serta menyampaikan dan akan melepaskan dari belenggu penjajahan Belanda yang sudah dilakukan selama ratusan tahun.
Baca juga: Wanita Muda Asal Jawa Barat Ditemukan Tewas Telanjang di Kamar Hotel
Cak Durasim menilai propaganda hanya rayuan Jepang dan usaha tipu muslihat untuk merayu rakyat Indonesia saja. Cak Durasim menyampaikan pesan untuk menghindari propaganda melalui kesenian Ludruk. Melalui lakon cerita berbentuk perlawanan terhadap penjajah. Ludruk tampil memikat, namun juga berperan mengajak masyarakat agar tak tertipu terhadap rayuan Jepang.