Cak Durasim dan Kidung Perlawanan Terhadap Jepang

Jum'at, 26 Maret 2021 - 05:00 WIB
loading...
Cak Durasim dan Kidung...
Seniman Ludruk Surabaya, Kartolo.
A A A
SURABAYA - Mengenal Surabaya adalah memahami hakikat perlawanan. Tidak hanya lewat senjata, perlawanan itu juga terbungkus melalui kata-kata. Dan kidungan Cak Durasim yang berisi perlawanan masih melayang-layang abadi di langit-langit Surabaya sampai saat ini.

"Pagupon omahe doro, melu Nipon tambah Soro" salah satu penggalan kidung milik Cak Durasim. Kidung atau parikan sederhana sederhana itu menembus panggung-panggung hiburan rakyat. Masuk dalam pikiran dan memerintahkan kaki-kaki untuk melawan penjajah.

Gondo Durasim, atau lebih akrab dikenal dengan sebutan Cak Durasim membuat cara baru dalam melawan penjajah. Panggung kesenian menjadi medan perangnya untuk bisa mengajak semua warga ikut melawan. Tidak boleh ada yang lemah dan tunduk pada penjajahan.

Baca juga: Gempar, Ini Penampakan Uang Kertas Kuno Bergambar Wayang Seharga Rp1,5 Miliar

Kesenian Ludruk menjadi strategi gerilya yang mujarab. Lewat kesenian itu, benih perlawanan terus ditabuh melalui jula-juli yang didendangkan di atas panggung. Cak Durasim menempatkan dirinya sebagai seniman sekaligus pejuang yang terus membakar semangat warga dalam mengusir penjajah lewat parikannya.

Benih perlawanan yang ditanam Cak Durasim mulai dicium oleh Jepang. Gerakannya masif dan mampu mengajak orang-orang untuk ikut melawan Jepang. Mereka murka, dan para tentara Nippon yang menduduki Kota Surabaya terus memburunya. Dan kidung sederhana miliknya menjadi senjata yang terpatri di kepala setiap pejuang dan arek-arek Suroboyo, "Pagupon rumahnya burung dara. Dijajah Nipon tambah sengsara".

Nama Cak Durasim masih begitu lekat dengan setiap sisi perlawanan warga Surabaya. Ia adalah seniman sekaligus pelopor Ludruk Surabaya. Caranya melawan narasi propaganda Jepang melalui parikan menjadi simbol perlawanan yang tak pernah surut. Jula-julinya disukai warga dan memompa semangat mereka untuk menolak tunduk pada penjajahan.

Dalam setiap narasinya, Cak Durasim di atas panggung Ludruk selalu menyebut kewaspadaan pada propaganda Jepang yang menegaskan dirinya sebagai saudara tua bangsa Indonesia. Serta menyampaikan dan akan melepaskan dari belenggu penjajahan Belanda yang sudah dilakukan selama ratusan tahun.

Baca juga: Wanita Muda Asal Jawa Barat Ditemukan Tewas Telanjang di Kamar Hotel

Cak Durasim menilai propaganda hanya rayuan Jepang dan usaha tipu muslihat untuk merayu rakyat Indonesia saja. Cak Durasim menyampaikan pesan untuk menghindari propaganda melalui kesenian Ludruk. Melalui lakon cerita berbentuk perlawanan terhadap penjajah. Ludruk tampil memikat, namun juga berperan mengajak masyarakat agar tak tertipu terhadap rayuan Jepang.

Pertunjukan Ludruk yang melawan propaganda Jepang sampai ke telinga Jepang. Cak Durasim menjadi orang yang paling dicari militer Jepang. Pertunjukan luduruk itu merugikan Jepang. Keluarga Cak Durasim teruma istrinya sangat mengkhawatirkan nasib suaminya.

Meimura, seniman yang juga sutradara teater dan pegiat Ludruk menuturkan, atas tindakan keras Cak Durasim itu, akibatnya Cak Durasim diburu tentara Nippon yang sedang berkuasa atas Asia. Suara sumbang sang seniman dari atas panggung, membawanya gugur oleh pedang katana pasukan Nippon.

"Akibat kidungan itu, pasukan Jepang jadi murka dan dibunuhlah beliau di atas panggung dengan katana," kata Meimura.

Bagi Meimura, minimnya literasi di dunia pendidikan, menjadikan nama Cak Durasim hanya sebagai plakat yang menempel di Taman Budaya Jawa Timur, tanpa dimengerti siapa dan bagaimana Cak Durasim berjuang dengan keseniannya. Sosok Cak Durasim, tidak pernah gentar sedikitpun untuk bersuara lewat kesenian tradisional, meski menjadi incaran tentara Jepang.

Cak Durasim juga memprakasai perkumpulan Ludruk di Surabaya. Pada tahun 1937 mempopulerkan cerita-cerita legenda Soerabaja dalam bentuk drama. Saat tentara Jepang menguasai Surabaya pada 1942, Cak Durasim bersama kelompoknya memanfaatkan Ludruk sebagai media siar perjuangannya menyemangati arek-arek Suroboyo dalam mengusir penjajah.

Cak Durasim juga mengkritik pemerintah penjajah dalam pementasan drama Ludruknya. Selain menceritakan legenda Surabaya Cak Durasim juga mementaskan cerita perjuangan-perjuangan lokal masyarakat di Jawa Timur.

Seniman Ludruk Legendaris Surabaya Cak Kartolo menuturkan, kesenian rakyat seperti Ludruk tak akan mati. Meskipun zaman telah berubah, tapi semangat Ludruk tetap sama.

Kidungan dari Cak Durasim bermakna kehidupan pada zaman Jepang lebih sengsara dibanding dengan kehidupan di zaman penjajah Belanda. Selain itu, gendhing Jula-Juli Surabaya isinya juga mengkritik penjajah.

Cak Durasim pun ditangkap, dijebloskan ke dalam penjara dan disika. Hingga pada 1944 Cak Durasim menghembuskan nafas terakhir di dalam penjara dan dimakamkan di Makam Islam Tembok.

Kisah Cak Durasim tak pernah akan sirna. Sampai saat ini berbagai pertunjukan Ludruk masih menampilkan parikan perlawanan dari Cak Durasim. Dan parikan itu tetaplah abadi. Masih menjadi motivasi generasi muda yang tetap berjuang dalam generasi yang berbeda.
(msd)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1624 seconds (0.1#10.140)