Pansus COVID-19 DPRD Kota Surabaya Gagal, Ini Kata Pengamat
loading...
A
A
A
SURABAYA - Upaya pembentukan Panitia Khusus (Pansus) COVID-19 DPRD Kota Surabaya kandas, setelah usulan lima fraksi dikalahkan lewat hasil voting dalam rapat Badan Musyawarah (Bamus) bersama segenap pimpinan dewan, Jumat (15/5/2020). Dua fraksi yang menolak pembentukan Pansus COVID-19 adalah Fraksi Partai Demokrat-Nasdem dan Fraksi Partai Golkar.
(Baca juga: Senin Pertama PSBB Malang Raya, Antrian Kendaraan Mengular )
"Sikap Ketua Fraksi Demokrat-Nasdem DPRD Kota Surabaya, Herlina Harsono Njoto, yang menolak usulan Pansus COVID-19 lewat voting di rapat Bamus itu suatu kewajaran," kata Pengamat Politik Universitas Trunojoyo Madura (UTM), Surokim Abdussalam, Senin (18/5/2020).
Menurutnya, setiap partai politik punya kebijakan tersendiri. Herlina, kata dia, yang merupakan kader Partai Demokrat bersikap selaras dengan tipikal partai yang didirikan SBY itu. Yakni, bersikap moderat dalam keputusan dan tidak pernah ekstrim.
"Kalau Herlina menolak Pansus, tentu wajar. Karena kader memang tipikalnya tidak jauh dengan sikap partai. Saya tidak tahu apakah Herlina ada perintah atau tidak dari partai. Tapi feeling saya sikap seperti itu memang bersifat moderat yang biasa diambil Partai Demokrat. Dan kader memang tidak jauh dari partai," ujar Surokim.
Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Budaya (FISIB) UTM ini menduga, Herlina punya perhitungan mengapa harus menolak usulan Pansus COVID-19 . Terlebih mempertimbangkan kepentingan publik, respon lingkungan dan pemberitaan media. Perhitungan itu, diantaranya menjaga Partai Demokrat di mata masyarakat. Bukan hal-hal lain yang bersifat individual
"Nah, kalau sampai ada politikus yang menuding bahwa Herlina menolak karena adanya kedekatan atau kepentingan dengan, atau, terhadap seseorang dalam hal urusan politik, itu hanya pemikiran individu saja. Jadi tidak relevan untuk dimunculkan," lanjut Surokim.
Oleh sebab itu, terlepas usulan Pansus COVID-19 itu jadi dibentuk atau tidak, seharusnya pembahasan tetap pada koridor. Tidak perlu pada hal-hal individu atau yang bersifat sekunder. DPRD Surabaya, lanjut Surokim, rumusnya adalah mata batin rakyat. Untuk merumuskan sesuatu, harus berdasarkan pada alasan primer. Artinya, fokus terhadap kepentingan publik secara luas.
"Makanya alasan sekunder, jangan sampai jadi alasan primer. Nah, soal kedekatan politik atau kepentingan politik, itu hanya alasan individu atau bersifat sekunder. Dalam hal ini, pansus terlaksana atau tidak, alasan sekunder jangan dijadikan alasan primer. Nanti yang timbul malah gaduh dan merembet kemana-mana. Jadi, sekali lagi saya katakan, tudingan soal kedekatan politik, tidak usah dikaitkan," lanjutnya.
Surokim juga sependapat dengan Herlina yang menolak Pansus COVID- 19 . Sekalipun awalnya diusulkan oleh fraksinya, Fraksi Demokrat-Nasdem. "Wajar kalau berubah haluan. Situasi politik kan terus berkembang. Juga menghitung respon masyarakat dan pentingnya menjaga Partai Demokrat di mata masyarakat," ujarnya.
Sebab, katanya, penggunaan pansus harus benar benar selektif. Jika kasusnya tidak mendesak, seyogyanya tidak perlu membentuk pansus. Karena justru akan memakan energi dan biaya politik yang lumayan besar.
Dampaknya, relasi hubungan juga akan lebih menyulitkan daripada melalui mekanisme antara komisi dan prosedur yang normal. "Jadi, kalau pembentukan pansus itu tidak terjadi di Bamus, ya harus diterima sebagai suatu fakta kekuatan politik. Memang harus bisa melihat konteksnya," tutup Surokim.
(Baca juga: Senin Pertama PSBB Malang Raya, Antrian Kendaraan Mengular )
"Sikap Ketua Fraksi Demokrat-Nasdem DPRD Kota Surabaya, Herlina Harsono Njoto, yang menolak usulan Pansus COVID-19 lewat voting di rapat Bamus itu suatu kewajaran," kata Pengamat Politik Universitas Trunojoyo Madura (UTM), Surokim Abdussalam, Senin (18/5/2020).
Menurutnya, setiap partai politik punya kebijakan tersendiri. Herlina, kata dia, yang merupakan kader Partai Demokrat bersikap selaras dengan tipikal partai yang didirikan SBY itu. Yakni, bersikap moderat dalam keputusan dan tidak pernah ekstrim.
"Kalau Herlina menolak Pansus, tentu wajar. Karena kader memang tipikalnya tidak jauh dengan sikap partai. Saya tidak tahu apakah Herlina ada perintah atau tidak dari partai. Tapi feeling saya sikap seperti itu memang bersifat moderat yang biasa diambil Partai Demokrat. Dan kader memang tidak jauh dari partai," ujar Surokim.
Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Budaya (FISIB) UTM ini menduga, Herlina punya perhitungan mengapa harus menolak usulan Pansus COVID-19 . Terlebih mempertimbangkan kepentingan publik, respon lingkungan dan pemberitaan media. Perhitungan itu, diantaranya menjaga Partai Demokrat di mata masyarakat. Bukan hal-hal lain yang bersifat individual
"Nah, kalau sampai ada politikus yang menuding bahwa Herlina menolak karena adanya kedekatan atau kepentingan dengan, atau, terhadap seseorang dalam hal urusan politik, itu hanya pemikiran individu saja. Jadi tidak relevan untuk dimunculkan," lanjut Surokim.
Oleh sebab itu, terlepas usulan Pansus COVID-19 itu jadi dibentuk atau tidak, seharusnya pembahasan tetap pada koridor. Tidak perlu pada hal-hal individu atau yang bersifat sekunder. DPRD Surabaya, lanjut Surokim, rumusnya adalah mata batin rakyat. Untuk merumuskan sesuatu, harus berdasarkan pada alasan primer. Artinya, fokus terhadap kepentingan publik secara luas.
"Makanya alasan sekunder, jangan sampai jadi alasan primer. Nah, soal kedekatan politik atau kepentingan politik, itu hanya alasan individu atau bersifat sekunder. Dalam hal ini, pansus terlaksana atau tidak, alasan sekunder jangan dijadikan alasan primer. Nanti yang timbul malah gaduh dan merembet kemana-mana. Jadi, sekali lagi saya katakan, tudingan soal kedekatan politik, tidak usah dikaitkan," lanjutnya.
Surokim juga sependapat dengan Herlina yang menolak Pansus COVID- 19 . Sekalipun awalnya diusulkan oleh fraksinya, Fraksi Demokrat-Nasdem. "Wajar kalau berubah haluan. Situasi politik kan terus berkembang. Juga menghitung respon masyarakat dan pentingnya menjaga Partai Demokrat di mata masyarakat," ujarnya.
Sebab, katanya, penggunaan pansus harus benar benar selektif. Jika kasusnya tidak mendesak, seyogyanya tidak perlu membentuk pansus. Karena justru akan memakan energi dan biaya politik yang lumayan besar.
Dampaknya, relasi hubungan juga akan lebih menyulitkan daripada melalui mekanisme antara komisi dan prosedur yang normal. "Jadi, kalau pembentukan pansus itu tidak terjadi di Bamus, ya harus diterima sebagai suatu fakta kekuatan politik. Memang harus bisa melihat konteksnya," tutup Surokim.
(eyt)