Upaya BKSDA Blitar Melacak 'Sang Legenda' Harimau Jawa di Lereng Wilis
loading...
A
A
A
TULUNGAGUNG - Harimau Jawa (loreng), harimau tutul, macan kumbang, termasuk burung merak, menjadi atensi BKSDA (Badan Konservasi Sumber Daya Alam), wilayah konservasi II Blitar (termasuk meliputi Tulungagung dan Trenggalek).
Terutama keluarga kucing besar (harimau) . Di kawasan hutan lereng Gunung Wilis wilayah Kabupaten Tulungagung, yang secara habitat dinilai memenuhi syarat, BKSDA meyakini eksistensi hewan pemakan daging tersebut, belum sepenuhnya punah.
"Keluarga kucing besar , termasuk merak menjadi atensi BKSDA," ujar Kepala Resor Wilayah Konservasi II Blitar BKSDA, Joko Dwiyono kepada SINDOnews.com.
Pada tahun 1976, harimau Jawa (panthera tigris sondaica) , hanya tinggal 3-5 ekor dan semuanya bertempat di suaka alam Meru Betiri, Jember, Jawa Timur. Sejak tahun 1980an, populasi macan Jawa tersebut diasumsikan telah punah. Keberadaanya sulit dijumpai.
Karenanya, begitu menerima laporan warga Kecamatan Sendang, Kabupaten Tulungagung yang mengaku melihat kucing besar yang diduga sebagai harimau Jawa , kata Joko, tim langsung bergerak. Laporan yang disertai bukti jejak telapak kaki binatang tersebut, masuk pada akhir tahun 2020.
Dikatakan bahwa harimau itu tengah berjalan bersama anaknya. Badannya berbulu kuning, bergaris hitam mengkilap, yang itu merujuk pada ciri khas motif macan Jawa . "Yang melapor warga yang tengah mencari rumput. Bukan pemburu," terang Joko.
Tim BKSDA langsung mendatangi lokasi. Jejak yang dikatakan sebagai tapak kaki macan , dicek. Jejak itu, diakui Joko memang ada. Namun sayang, kondisinya sudah tidak sempurna. Sebagian besar teksturnya telah rusak akibat guyuran air hujan.
BKSDA tidak bisa memakai sebagai acuan data primer. "Sudah tidak layak sebagai sumber data yang baik (jejak kaki). Karena posisinya sudah rusak karena hujan," kata Joko. Namun di sisi lain, kawasan hutan yang ada, dianggap memenuhi syarat habitat harimau .
Hutannya relatif tebal. Di bagian atas lereng juga terdapat sumber mata air yang jernih. Kejernihan yang dipengaruhi adanya vegetasi besar yang berfungsi sebagai tutupan. "Lebih ke dalam hutannya semakin tebal," tambah Joko.
Selama berada di lokasi, Joko memang tidak berjumpa kawanan babi hutan atau rombongan rusa. Namun dari keterangan warga, babi hutan masih ada. Saat mencari rumput di hutan, mereka bertemu beberapa kali.
Keterangan tersebut, kata Joko semakin menguatkan, bahwa lokasi yang ada memang layak sebagai habitat harimau . Yakni ada sumber pakan yang tersedia. "Di lokasi cukup tersedia sumber pakan. Mungkin (babi hutan) ada di kedalaman rimba," terang Joko.
Untuk memastikan kebenaran informasi warga terkait adanya harimau Jawa, pada bulan Januari lalu, petugas BKSDA memasang tujuh unit kamera pengintai . Tiga kamera dipasang di kawasan hutan Desa Nyawangan, dan empat kamera di Desa Ngulurup. Penempatan kamera berada di lokasi yang diduga sebagai jalur makan dan bermain.
Secara berkala, yakni setiap dua pekan sekali, tim BKSDA akan datang ke lokasi untuk mengecek hasil. Joko mengakui, pelacakan yang mereka lakukan tidak mudah mendapatkan hasil. Hal itu terkait dengan sifat harimau yang sensitif dengan hal asing. Harimau memiliki naluri yang tajam.
Misalnya, menjauhi bau manusia. Begitu juga terhadap suara, yakni seperti bunyi mesin atau sepeda. Harimau biasanya merasa terganggu, dan memilih menghindar. Sementara kawasan hutan lereng Gunung Wilis relatif luas, yakni meliputi enam kabupaten.
Mulai Kabupaten Tulungagung, Kabupaten Trenggalek, Kabupaten Kediri, Kabupaten Nganjuk, Kabupaten Ponorogo, hingga Kabupaten Madiun. Jika harimau itu ada, kata Joko kemungkinan berpindah tempat karena terganggu aktivitas manusia, sangat mungkin terjadi.
"Jadi istilah orang Jawa bejo bejan (untung untungan)," terang Joko sembari tertawa. Pelacakan harimau dengan menggunakan kamera pengintai juga bukan pertama kalinya dilakukan. Beberapa tahun lalu, di wilayah Kabupaten Pacitan, BKSDA juga pernah memasang kamera pengintai.
Aktifitas dilakukan menyusul adanya laporan warga yang melihat seekor macan kumbang . Dan sampai kamera diambil kembali, belum juga memperoleh hasil. "Sejauh ini, kamera pengintai yang kita pasang untuk melacak kucing besar, belum pernah mendapatkan hasil," kata Joko.
Begitu juga dengan tujuh kamera pengintai yang dipasang di lereng Gunung Wilis. Juga belum mendapatkan hasil. Setidaknya sampai akhir bulan Januari, belum merekam tanda adanya harimau . Joko mengatakan, belum tahu pasti sampai kapan kamera akan dipasang.
Menurut dia, untuk memperluas area pelacakan, ada kemungkinan jumlah kamera pengintai akan ditambah. Joko juga mengatakan, pelacakan tidak hanya berlaku untuk harimau Jawa . Tetapi juga macan kumbang, macan tutul serta burung merak.
Begitu juga dengan lokasi pelacakan. Tidak hanya di kawasan lereng Gunung Wilis. Tapi juga berlaku pada lereng Gunung Kelud yang juga memiliki kawasan hutan cukup tebal. "Karenanya jika mendapat informasi terkait dengan keberadaan mereka ( harimau dan merak ), silahkan dilaporkan ke BKSDA," pungkas Joko.
Baca Juga
Terutama keluarga kucing besar (harimau) . Di kawasan hutan lereng Gunung Wilis wilayah Kabupaten Tulungagung, yang secara habitat dinilai memenuhi syarat, BKSDA meyakini eksistensi hewan pemakan daging tersebut, belum sepenuhnya punah.
"Keluarga kucing besar , termasuk merak menjadi atensi BKSDA," ujar Kepala Resor Wilayah Konservasi II Blitar BKSDA, Joko Dwiyono kepada SINDOnews.com.
Pada tahun 1976, harimau Jawa (panthera tigris sondaica) , hanya tinggal 3-5 ekor dan semuanya bertempat di suaka alam Meru Betiri, Jember, Jawa Timur. Sejak tahun 1980an, populasi macan Jawa tersebut diasumsikan telah punah. Keberadaanya sulit dijumpai.
Karenanya, begitu menerima laporan warga Kecamatan Sendang, Kabupaten Tulungagung yang mengaku melihat kucing besar yang diduga sebagai harimau Jawa , kata Joko, tim langsung bergerak. Laporan yang disertai bukti jejak telapak kaki binatang tersebut, masuk pada akhir tahun 2020.
Dikatakan bahwa harimau itu tengah berjalan bersama anaknya. Badannya berbulu kuning, bergaris hitam mengkilap, yang itu merujuk pada ciri khas motif macan Jawa . "Yang melapor warga yang tengah mencari rumput. Bukan pemburu," terang Joko.
Tim BKSDA langsung mendatangi lokasi. Jejak yang dikatakan sebagai tapak kaki macan , dicek. Jejak itu, diakui Joko memang ada. Namun sayang, kondisinya sudah tidak sempurna. Sebagian besar teksturnya telah rusak akibat guyuran air hujan.
BKSDA tidak bisa memakai sebagai acuan data primer. "Sudah tidak layak sebagai sumber data yang baik (jejak kaki). Karena posisinya sudah rusak karena hujan," kata Joko. Namun di sisi lain, kawasan hutan yang ada, dianggap memenuhi syarat habitat harimau .
Hutannya relatif tebal. Di bagian atas lereng juga terdapat sumber mata air yang jernih. Kejernihan yang dipengaruhi adanya vegetasi besar yang berfungsi sebagai tutupan. "Lebih ke dalam hutannya semakin tebal," tambah Joko.
Selama berada di lokasi, Joko memang tidak berjumpa kawanan babi hutan atau rombongan rusa. Namun dari keterangan warga, babi hutan masih ada. Saat mencari rumput di hutan, mereka bertemu beberapa kali.
Keterangan tersebut, kata Joko semakin menguatkan, bahwa lokasi yang ada memang layak sebagai habitat harimau . Yakni ada sumber pakan yang tersedia. "Di lokasi cukup tersedia sumber pakan. Mungkin (babi hutan) ada di kedalaman rimba," terang Joko.
Untuk memastikan kebenaran informasi warga terkait adanya harimau Jawa, pada bulan Januari lalu, petugas BKSDA memasang tujuh unit kamera pengintai . Tiga kamera dipasang di kawasan hutan Desa Nyawangan, dan empat kamera di Desa Ngulurup. Penempatan kamera berada di lokasi yang diduga sebagai jalur makan dan bermain.
Secara berkala, yakni setiap dua pekan sekali, tim BKSDA akan datang ke lokasi untuk mengecek hasil. Joko mengakui, pelacakan yang mereka lakukan tidak mudah mendapatkan hasil. Hal itu terkait dengan sifat harimau yang sensitif dengan hal asing. Harimau memiliki naluri yang tajam.
Baca Juga
Misalnya, menjauhi bau manusia. Begitu juga terhadap suara, yakni seperti bunyi mesin atau sepeda. Harimau biasanya merasa terganggu, dan memilih menghindar. Sementara kawasan hutan lereng Gunung Wilis relatif luas, yakni meliputi enam kabupaten.
Mulai Kabupaten Tulungagung, Kabupaten Trenggalek, Kabupaten Kediri, Kabupaten Nganjuk, Kabupaten Ponorogo, hingga Kabupaten Madiun. Jika harimau itu ada, kata Joko kemungkinan berpindah tempat karena terganggu aktivitas manusia, sangat mungkin terjadi.
"Jadi istilah orang Jawa bejo bejan (untung untungan)," terang Joko sembari tertawa. Pelacakan harimau dengan menggunakan kamera pengintai juga bukan pertama kalinya dilakukan. Beberapa tahun lalu, di wilayah Kabupaten Pacitan, BKSDA juga pernah memasang kamera pengintai.
Aktifitas dilakukan menyusul adanya laporan warga yang melihat seekor macan kumbang . Dan sampai kamera diambil kembali, belum juga memperoleh hasil. "Sejauh ini, kamera pengintai yang kita pasang untuk melacak kucing besar, belum pernah mendapatkan hasil," kata Joko.
Begitu juga dengan tujuh kamera pengintai yang dipasang di lereng Gunung Wilis. Juga belum mendapatkan hasil. Setidaknya sampai akhir bulan Januari, belum merekam tanda adanya harimau . Joko mengatakan, belum tahu pasti sampai kapan kamera akan dipasang.
Menurut dia, untuk memperluas area pelacakan, ada kemungkinan jumlah kamera pengintai akan ditambah. Joko juga mengatakan, pelacakan tidak hanya berlaku untuk harimau Jawa . Tetapi juga macan kumbang, macan tutul serta burung merak.
Baca Juga
Begitu juga dengan lokasi pelacakan. Tidak hanya di kawasan lereng Gunung Wilis. Tapi juga berlaku pada lereng Gunung Kelud yang juga memiliki kawasan hutan cukup tebal. "Karenanya jika mendapat informasi terkait dengan keberadaan mereka ( harimau dan merak ), silahkan dilaporkan ke BKSDA," pungkas Joko.
(eyt)