Bandar Laut Besar Itu Bernama Pasuruan
loading...
A
A
A
Bandar laut yang kini masih mencoba memancarkan kegagahannya menghadap samudera itu, menyisakan sejarah panjang Nusantara. Dari pelabuhan inilah, titik awal hasil bumi tanah Nusantara, berlayar jauh menuju berbagai belahan dunia.
Pasuruan yang di masa lalu dikenal dengan nama Paravan, dan orang orang China menyebutnya Yanwang atau Basuluan, tak pernah sepi dari aktivitas perdagangan besar internasional, karena adanya Pelabuhan Tanjung Tembikar .
(Baca juga: Di Patirtan Ini, Cinta Pandangan Pertama Arok-Dedes Bersemi )
Ramainya Pasuruan oleh aktivitas perdagangan, dan pelabuhan di sepanjang abad 19 tersebut. Membuat wilayah ini juga dipadankan dengan penggabungan dua kata, yakni "Passer" dan "Oeang", apabila digabungkan menjadi "Passer Oeang" atau pasar uang.
Keberadaan pelabuhan di Kota Pasuruan , yang sempat menjadi sebuah karesidenan di masa kolonial Belanda tersebut, menjadi daya tarik para saudagar dunia untuk berdagang dan bertransaksi di kota ini.
Kota dan pelabuhan ini, tidak pernah terpisahkan perkembangannya. Pemerintahan di Kota Pasuruan, menurut catatan sejarahnya, mulai ada setelah dibentuknya Residensi Pasuruan pada 1 Januari 1901 oleh Pemerintah Hindia Belanda.
Kemudian ditindaklanjuti pembentukan Kota Praja (Gementee) Pasuruan, seperti termaktub dalam Staatblat 1918 No. 320 dengan nama Stads Gementee van Pasoeroean pada tanggal 20 Juni 1918.
(Baca juga: Mengintip Petilasan Ken Dedes, Ibu Para Raja Nusantara )
Setelah Indonesia merdeka, Pasuruan masuk wilayah Indonesia, dan dinyatakan sebagai Kotamadya dengan wilayah kekuasaan terdiri dari tiga desa dan satu kecamatan. Pada 21 Desember 1982 Kotamadya Pasuruan diperluas menjadi tiga kecamatan dengan 19 kelurahan dan 15 desa.
Pasuruan pada masa lalu adalah sebuah karesidenan yang terdiri dari tiga kabupaten, yaitu Kabupaten Pasuruan , Kabupaten Bangil, dan Kabupaten Malang. Kabupaten Pasuruan sendiri tardiri dari 12 distrik; Kraton, Kota, Rajasa, Winongan, Keboncandi, Jati, Grati, Melaten, Gempeng, Ngempit, Tengger, dan Wangkal.
Pasuruan yang di masa lalu dikenal dengan nama Paravan, dan orang orang China menyebutnya Yanwang atau Basuluan, tak pernah sepi dari aktivitas perdagangan besar internasional, karena adanya Pelabuhan Tanjung Tembikar .
(Baca juga: Di Patirtan Ini, Cinta Pandangan Pertama Arok-Dedes Bersemi )
Ramainya Pasuruan oleh aktivitas perdagangan, dan pelabuhan di sepanjang abad 19 tersebut. Membuat wilayah ini juga dipadankan dengan penggabungan dua kata, yakni "Passer" dan "Oeang", apabila digabungkan menjadi "Passer Oeang" atau pasar uang.
Keberadaan pelabuhan di Kota Pasuruan , yang sempat menjadi sebuah karesidenan di masa kolonial Belanda tersebut, menjadi daya tarik para saudagar dunia untuk berdagang dan bertransaksi di kota ini.
Kota dan pelabuhan ini, tidak pernah terpisahkan perkembangannya. Pemerintahan di Kota Pasuruan, menurut catatan sejarahnya, mulai ada setelah dibentuknya Residensi Pasuruan pada 1 Januari 1901 oleh Pemerintah Hindia Belanda.
Kemudian ditindaklanjuti pembentukan Kota Praja (Gementee) Pasuruan, seperti termaktub dalam Staatblat 1918 No. 320 dengan nama Stads Gementee van Pasoeroean pada tanggal 20 Juni 1918.
(Baca juga: Mengintip Petilasan Ken Dedes, Ibu Para Raja Nusantara )
Setelah Indonesia merdeka, Pasuruan masuk wilayah Indonesia, dan dinyatakan sebagai Kotamadya dengan wilayah kekuasaan terdiri dari tiga desa dan satu kecamatan. Pada 21 Desember 1982 Kotamadya Pasuruan diperluas menjadi tiga kecamatan dengan 19 kelurahan dan 15 desa.
Pasuruan pada masa lalu adalah sebuah karesidenan yang terdiri dari tiga kabupaten, yaitu Kabupaten Pasuruan , Kabupaten Bangil, dan Kabupaten Malang. Kabupaten Pasuruan sendiri tardiri dari 12 distrik; Kraton, Kota, Rajasa, Winongan, Keboncandi, Jati, Grati, Melaten, Gempeng, Ngempit, Tengger, dan Wangkal.