Bandar Laut Besar Itu Bernama Pasuruan

Minggu, 29 November 2020 - 05:00 WIB
loading...
Bandar Laut Besar Itu...
Kapal-kapal kayu bersandar di Pelabuhan Kota Pasuruan. Pelabuhan ini merupakan sisa kemashuran transportasi laut internasional di Indonesia. Foto/SINDOnews/Yuswantoro
A A A
Terik mentari, begitu menyengat siang itu. Udara panas pesisir , menjadi teman para buruh yang sedang berpeluh mengangkut ratusan karung berisi pupuk. Tak peduli kulitnya terbakar mentari, para buruh berbadan kekar itu dengan semangat mengosongkan isi lambung kapal.

(Baca juga: Mas-mas TRIP Berjuang Hingga Akhir Zaman... )

Langkah-langkah kaki para buruh beradu cepat dengan datangnya suara azan duhur yang berkumandang dari masjid di tengah kampung padat. Saat azan berkumandang, ratusan karung putih itu telah berpindah dari lambung kapal kayu ke bak truk yang siap berjalan ke tengah kota.

Beberapa nelayan yang ada di sekitarnya, nampak lebih sibuk dengan alat pemotong dan penghalus kayu, serta aroma cat bercampur tiner yang menyengat. Mereka memperbaiki kapal kayu itu, agar tak patah dihantam gelombang samudera.

Anak-anak nelayan, begitu riang bermain di air dermaga yang nampak menghijau bercampur dengan air sungai yang melaju ke laut. Mereka berlompatan dari ujung perahu, dan menghempaskan badannya ke air dermaga.

(Baca juga: Dwarapala Saksi Bisu Ketangguhan Desa Menjaga Arjuna )

Sementara beberapa orang ibu-ibu nampak bersantai, melepas lelah bersandar di tiang-tiang kayu teras rumahnya, sambil menunggu jemuran ikan-ikan kecil yang telah dibelah dan diurapi garam untuk menjadi ikan asin.

Aktivitas siang yang tak begitu penat, di antara suara deru mesin perahu kelotok yang baru pulang melaut di tepian untuk mencari ikan, dan gudang-gudan besar yang pintunya tertutup rapat.

Bandar Laut Besar Itu Bernama Pasuruan


Ya...aktivitas siang di Pelabuhan Kota Pasuruan , kini seolah hanya penghias dari keriuhan di jalur Pantura Daendels, yang hanya berjarak beberapa langkah saja dengan pelabuhan dan jalur kereta api.

Bandar laut yang kini masih mencoba memancarkan kegagahannya menghadap samudera itu, menyisakan sejarah panjang Nusantara. Dari pelabuhan inilah, titik awal hasil bumi tanah Nusantara, berlayar jauh menuju berbagai belahan dunia.

Pasuruan yang di masa lalu dikenal dengan nama Paravan, dan orang orang China menyebutnya Yanwang atau Basuluan, tak pernah sepi dari aktivitas perdagangan besar internasional, karena adanya Pelabuhan Tanjung Tembikar .

(Baca juga: Di Patirtan Ini, Cinta Pandangan Pertama Arok-Dedes Bersemi )

Ramainya Pasuruan oleh aktivitas perdagangan, dan pelabuhan di sepanjang abad 19 tersebut. Membuat wilayah ini juga dipadankan dengan penggabungan dua kata, yakni "Passer" dan "Oeang", apabila digabungkan menjadi "Passer Oeang" atau pasar uang.

Keberadaan pelabuhan di Kota Pasuruan , yang sempat menjadi sebuah karesidenan di masa kolonial Belanda tersebut, menjadi daya tarik para saudagar dunia untuk berdagang dan bertransaksi di kota ini.

Kota dan pelabuhan ini, tidak pernah terpisahkan perkembangannya. Pemerintahan di Kota Pasuruan, menurut catatan sejarahnya, mulai ada setelah dibentuknya Residensi Pasuruan pada 1 Januari 1901 oleh Pemerintah Hindia Belanda.

Kemudian ditindaklanjuti pembentukan Kota Praja (Gementee) Pasuruan, seperti termaktub dalam Staatblat 1918 No. 320 dengan nama Stads Gementee van Pasoeroean pada tanggal 20 Juni 1918.

(Baca juga: Mengintip Petilasan Ken Dedes, Ibu Para Raja Nusantara )

Setelah Indonesia merdeka, Pasuruan masuk wilayah Indonesia, dan dinyatakan sebagai Kotamadya dengan wilayah kekuasaan terdiri dari tiga desa dan satu kecamatan. Pada 21 Desember 1982 Kotamadya Pasuruan diperluas menjadi tiga kecamatan dengan 19 kelurahan dan 15 desa.

Pasuruan pada masa lalu adalah sebuah karesidenan yang terdiri dari tiga kabupaten, yaitu Kabupaten Pasuruan , Kabupaten Bangil, dan Kabupaten Malang. Kabupaten Pasuruan sendiri tardiri dari 12 distrik; Kraton, Kota, Rajasa, Winongan, Keboncandi, Jati, Grati, Melaten, Gempeng, Ngempit, Tengger, dan Wangkal.

Bandar Laut Besar Itu Bernama Pasuruan


Sepanjang abad 19, kota dan pelabuhan ini berada di masa kejayaannya. Hal itu salah satunya dibuktikan dengan banyaknya peninggalan berupa bangunan megah yang tersebar di hampir seluruh Pasuruan.

Aliran Sungai Gombong yang membelah kota dari utara ke selatan, menjadi aliran penting bagi transportasi dari wilayah pedalaman menuju pelabuhan di masa itu. Sebelum adanya jaringan jalan darat, semua hasil bumi yang akan dikapalkan diangkut melalui jalur sungai.

(Baca juga: Jejak Bhatara Katong, Putra Brawijaya V Raja Terakhir Majapahit )

Daerah pedalaman (hinterland) sekitar Pasuruan , merupakan salah satu daerah pertanian yang tersubur di Jawa. Sepanjang abad 19 pelabuhan di Kota Pasuruan, dipakai sebagai kota pelabuhan untuk membawa hasil perkebunan tersebut langsung ke pelabuhan–pelabuhan di Eropa.

Pasuruan juga dipakai sebagai kota "collecting center", yakni berfungsi sebagai distribusi dan perdagangan bagi hasil bumi dari daerah di sekitarnya. Sehingga tata ruang dan pembangunan jalan utama dibuat sesuai dengan keperluan sebagai kontrol administrasi dan kelancaran produksi, serta distribusi atas hasil bumi di daerah hinterland.

Adanya jalan raya pos (grotepostweg) yang dibangun pada masa pemerintahan Daendels, tahun 1808-1811, turut membuat kota ini menjadi wilayah yang terhubung dengan kota-kota lain seperti Surabaya, Probolinggo, serta daerah pedalaman seperti Malang.

Perkembangan kota dan pelabuhan itu semakin pesat, dengan adanya jalur kereta api yang dibangun tahun 1867. Berbagai infrastruktur yang terhubung dengan berbagai wilayah pedalaman, dan jalur laut internasional, membuat kota ini dahulu dijuluki "Passer Oeang" menjadi tujuan perdagangan bagi daerah sekitarnya.

(Baca juga: RS Simpang, Perjalanan Penuh Wabah dan Penampung Korban Perang )

Pasuruan mempunyai penduduk yang relatif lebih heterogen dibandingkan kota-kota pedalaman di Jawa, dan ini dipengaruhi oleh keberadaan pelabuhan besar. Ramainya perdagangan, membuat berbagai etnis bermukim di kota ini.

Kini pelabuhan itu tetap menghadirkan geloranya, meskipun harus tersingkir dari bising jalur darat di depannya. Kejayaan Nusantara, masih terpancar dari pintu menuju samudera raya, dan ingin terus bergerak seperti gelombang samuderanya.
(eyt)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2213 seconds (0.1#10.140)