Mengintip Petilasan Ken Dedes, Ibu Para Raja Nusantara
A
A
A
Pendopo kecil sederhana, memayungi batu andesit kuno berbentuk bulat. Di sekitarnya, juga nampak batu-batu andesit tidak beraturan. Di samping pendopo, berdiri tegak pohon yang sangat rindang. “Inilah batu-batu kuno, yang tersisa di Situs Ken Dedes,” ujar Dosen Sejarah Universitas Negeri Malang (UM), Dwi Cahyono saat disambangi penulis beberapa waktu lalu.
Ken Dedes adalah nama permaisuri dari Ken Arok pendiri Kerajaan Tumapel (Singhasari) Dia merupakan sosok wanita hebat di masanya. Ken Dedes, telah menjadi wanita terpelajar di masanya, atas bimbingan ayahnya sendiri Mpu Purwa, yang mendirikan tempat pendidikan di wilayah Polowijen, yang dahulu dikenal dengan Panawijen.
Menurut Pararaton, Ken Dedes adalah putri dari Mpu Purwa, seorang pendeta Buddha aliran Mahayana dari desa Panawijen. Pada suatu hari Tunggul Ametung akuwu Tumapel singgah di rumahnya. Tunggul Ametung jatuh hati padanya dan segera mempersunting gadis itu. Karena saat itu ayahnya sedang berada di hutan, Ken Dedes meminta Tunggul Ametung supaya sabar menunggu.
Namun Tunggul Ametung tidak kuasa menahan diri. Ken Dedes pun dibawanya pulang dengan paksa ke Tumapel untuk dinikahi.
Ketika Mpu Purwa pulang ke rumah, dia marah mendapati putrinya telah diculik. Ia pun mengutuk "Hai orang yang melarikan anak ku, semoga tidak mengenyam kenikmatan, matilah dia dibunuh dengan keris. demikian juga orang-orang Panawijen, keringlah sumurnya, semoga tidak keluar air dari kolamnya".
Lalu wanita berpendidikan, yang sempat dinikahi secara paksa oleh Tunggul Ametung ini kemudian direbut oleh Ken Arok dan pada akhirnya menjadi wanita yang melahirkan banyak raja besar di Nusantara.
Sayangnya, generasi masa kini tidak sepenuhnya mengenal sosok wanita hebat, yang dikenal sebagai Pratnya Paramitha. Yaitu dewi ilmu pengetahuan. “Sebelumnya, saya tidak tahu siapa Ken Dedes. Baru tahu saat ikut jalan-jalan ini tadi,” ujar Nurhidayati (11) dengan polosnya.
Di hadapan Dwi Cahyono, nampak Hani Nurhidayati dan temannya Vanesa Zaliyanti (10) duduk bersila bersama teman-temannya yang lain. Mentari senja musim kemarau, menghadirkan warna jingga di seberang situs tersebut.
Berkas sinar jingga, menerpa wajah lugu anak-anak yang masih duduk di kelas lima sekolah dasar tersebut. Terkadang mereka nampak mengeryitkan dahi, sebagai tanda kebingungannya terhadap segala penjelasan tentang sejarah Ken Dedes.
Dalam kebingungannya, mereka tetap mencoba duduk di dalam pendopo. Mereka mencoba mencatat, apa saja yang bisa dicatat dari penjelasan sang dosen dan ahli sejarah tersebut. Mungkin, terlalu banyak istilah masa lampau yang asing di telinga anak-anak itu. Tetapi, mereka tetap saja mencoba belajar dan mencernanya.
Sore itu, Hani Nurhidayati, dan Vanesa Zaliyanti, bergabung bersama para peserta Ajar Pusaka Budaya. Pesertanya beragam jenis.
Ada mahasiswa, ada masyarakat umum pecinta sejarah, dan banyak pula pelajar mulai tingkat sekolah dasar, hingga sekolah menengah atas.
Mereka bergitu bersemangat, membelah jalan-jalan setapak di tengah pemakaman umum Kelurahan Polowijen, Kecamatan Blimbing, Kota Malang. Setelah melintasi area pemakaman, mereka berjalan menuruni jalan setapak.
Tepat di antara lereng pemakaman umum, dan area persawahan yang sempit, terdapat pendopo kecil, tempat situs Ken Dedes berdiri.
Hani dan Vanesa, merasa senang bisa mengenal sejarah bangsanya sendiri, yang selama ini belum banyak diketahuinya.
“Tadi ada cerita tentang Singhasari. Saya pernah ke candinya di Singosari. Kalau belajar langsung begini, menjadi lebih enak,” ujar Vanesa.
Situs Ken Dedes, tidak lebihnya hanya sebuah cekungan tanah di sebelah selatan pemakaman umum Kelurahan Polowijen. Tidak banyak orang yang tahu, karena tidak ada akses jalan besar untuk masuk ke wilayah tersebut.
Tetapi, setelah melintasi jalan sempit, barulah akan diketahui keberadaan situs bersejarah tersebut, melalui bangunan pendopo, dan keterangan yang ada di depannya.
Dwi Cahyono menyebutkan, sebelum dikenal sebagai situs Ken Dedes, masyarakat setempat lebih mengenalnya sebagai Sendang Dedes, atau Sumur Windu.
“Kawasan ini, dikenal sebagai permukiman kuno. Letaknya di sisi utara Kota Malang, yang berdekatan dengan wilayah Kabupaten Malang,” tuturnya.
Situs yang ada saat ini, pada awalnya merupakan sumber air yang sangat besar. Tetapi, di era tahun 1900-an, kondisinya telah mengering. Sebelumnya, sumber air tersebut digunakan masyarakat kuno untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Di kawasan tersebut, juga ditemukan banyak peninggalan arkeologi. Menurut Dwi, di areal makam, banyak ditemukan struktur bata kuno, fragmen gerabah dan keramik kuno, dan bahkan mata uang kuno.
“Dari hasil eskavasi Pusat Peneliti Arkeologi Nasional, pada tahun 1998. Ditemukan fondasi rumah tinggal dari bata, dan sebuah umpak,” terangnya.
Masyarakat yang tinggal di kawasan tersebut, juga sering menemukan adanya arung. Yaitu, saluran air bawah tanah kuno, yang dibuat masyarakat pada masa lalu sebagai saluran untuk mengairi area persawahan yang banyak ditanami padi gaga. Hal ini, juga termuat pada prasasti Kanjuruhan B, yang dibuat tahun 943 Masehi.
Pada prasasti Wurandungan, yang juga terbit pada tahun 943 Masehi. Menurut Dwi, desa ini masuk dalam desa pertanian yang maju. Yakni, sebagai desa swasembada pangan. “Kondisi tersebut, dapat dilihat dari statusnya dalam prasasti Wurandungan, yang menyatakan Panawijen, sebagai sima sawah, atau tanah perdikan pertanian,” ungkapnya.
Jauh sebelum masa Mpu Purwa, Dwi menduga, kawasan ini sudah menjadi wilayah kehidupan masa prasejarah.
Hal itu dapat dilihat dari penemuan watu kenong, dan lumping batu. Watu kenong ini, diduga menjadi landasan atau pondasi untuk mendirikan rumah panggung.
Wilayah Polowijen, diakuinya merupakan kawasan yang kaya akan peninggalan sejarah. Bahkan, di kawasan ini Mpu Purwa telah mampu mendirikan tempat pendidikan yang maju, serta menjadi tanah pertanian yang subur dan penghasil pangan.
“Saya berharap, kawasan ini bisa menjadi wilayah yang dilestarikan, untuk penelitian sejarah, pendidikan, dan wisata sejarah,” ungkapnya. yuswantoro
Ken Dedes adalah nama permaisuri dari Ken Arok pendiri Kerajaan Tumapel (Singhasari) Dia merupakan sosok wanita hebat di masanya. Ken Dedes, telah menjadi wanita terpelajar di masanya, atas bimbingan ayahnya sendiri Mpu Purwa, yang mendirikan tempat pendidikan di wilayah Polowijen, yang dahulu dikenal dengan Panawijen.
Menurut Pararaton, Ken Dedes adalah putri dari Mpu Purwa, seorang pendeta Buddha aliran Mahayana dari desa Panawijen. Pada suatu hari Tunggul Ametung akuwu Tumapel singgah di rumahnya. Tunggul Ametung jatuh hati padanya dan segera mempersunting gadis itu. Karena saat itu ayahnya sedang berada di hutan, Ken Dedes meminta Tunggul Ametung supaya sabar menunggu.
Namun Tunggul Ametung tidak kuasa menahan diri. Ken Dedes pun dibawanya pulang dengan paksa ke Tumapel untuk dinikahi.
Ketika Mpu Purwa pulang ke rumah, dia marah mendapati putrinya telah diculik. Ia pun mengutuk "Hai orang yang melarikan anak ku, semoga tidak mengenyam kenikmatan, matilah dia dibunuh dengan keris. demikian juga orang-orang Panawijen, keringlah sumurnya, semoga tidak keluar air dari kolamnya".
Lalu wanita berpendidikan, yang sempat dinikahi secara paksa oleh Tunggul Ametung ini kemudian direbut oleh Ken Arok dan pada akhirnya menjadi wanita yang melahirkan banyak raja besar di Nusantara.
Sayangnya, generasi masa kini tidak sepenuhnya mengenal sosok wanita hebat, yang dikenal sebagai Pratnya Paramitha. Yaitu dewi ilmu pengetahuan. “Sebelumnya, saya tidak tahu siapa Ken Dedes. Baru tahu saat ikut jalan-jalan ini tadi,” ujar Nurhidayati (11) dengan polosnya.
Di hadapan Dwi Cahyono, nampak Hani Nurhidayati dan temannya Vanesa Zaliyanti (10) duduk bersila bersama teman-temannya yang lain. Mentari senja musim kemarau, menghadirkan warna jingga di seberang situs tersebut.
Berkas sinar jingga, menerpa wajah lugu anak-anak yang masih duduk di kelas lima sekolah dasar tersebut. Terkadang mereka nampak mengeryitkan dahi, sebagai tanda kebingungannya terhadap segala penjelasan tentang sejarah Ken Dedes.
Dalam kebingungannya, mereka tetap mencoba duduk di dalam pendopo. Mereka mencoba mencatat, apa saja yang bisa dicatat dari penjelasan sang dosen dan ahli sejarah tersebut. Mungkin, terlalu banyak istilah masa lampau yang asing di telinga anak-anak itu. Tetapi, mereka tetap saja mencoba belajar dan mencernanya.
Sore itu, Hani Nurhidayati, dan Vanesa Zaliyanti, bergabung bersama para peserta Ajar Pusaka Budaya. Pesertanya beragam jenis.
Ada mahasiswa, ada masyarakat umum pecinta sejarah, dan banyak pula pelajar mulai tingkat sekolah dasar, hingga sekolah menengah atas.
Mereka bergitu bersemangat, membelah jalan-jalan setapak di tengah pemakaman umum Kelurahan Polowijen, Kecamatan Blimbing, Kota Malang. Setelah melintasi area pemakaman, mereka berjalan menuruni jalan setapak.
Tepat di antara lereng pemakaman umum, dan area persawahan yang sempit, terdapat pendopo kecil, tempat situs Ken Dedes berdiri.
Hani dan Vanesa, merasa senang bisa mengenal sejarah bangsanya sendiri, yang selama ini belum banyak diketahuinya.
“Tadi ada cerita tentang Singhasari. Saya pernah ke candinya di Singosari. Kalau belajar langsung begini, menjadi lebih enak,” ujar Vanesa.
Situs Ken Dedes, tidak lebihnya hanya sebuah cekungan tanah di sebelah selatan pemakaman umum Kelurahan Polowijen. Tidak banyak orang yang tahu, karena tidak ada akses jalan besar untuk masuk ke wilayah tersebut.
Tetapi, setelah melintasi jalan sempit, barulah akan diketahui keberadaan situs bersejarah tersebut, melalui bangunan pendopo, dan keterangan yang ada di depannya.
Dwi Cahyono menyebutkan, sebelum dikenal sebagai situs Ken Dedes, masyarakat setempat lebih mengenalnya sebagai Sendang Dedes, atau Sumur Windu.
“Kawasan ini, dikenal sebagai permukiman kuno. Letaknya di sisi utara Kota Malang, yang berdekatan dengan wilayah Kabupaten Malang,” tuturnya.
Situs yang ada saat ini, pada awalnya merupakan sumber air yang sangat besar. Tetapi, di era tahun 1900-an, kondisinya telah mengering. Sebelumnya, sumber air tersebut digunakan masyarakat kuno untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Di kawasan tersebut, juga ditemukan banyak peninggalan arkeologi. Menurut Dwi, di areal makam, banyak ditemukan struktur bata kuno, fragmen gerabah dan keramik kuno, dan bahkan mata uang kuno.
“Dari hasil eskavasi Pusat Peneliti Arkeologi Nasional, pada tahun 1998. Ditemukan fondasi rumah tinggal dari bata, dan sebuah umpak,” terangnya.
Masyarakat yang tinggal di kawasan tersebut, juga sering menemukan adanya arung. Yaitu, saluran air bawah tanah kuno, yang dibuat masyarakat pada masa lalu sebagai saluran untuk mengairi area persawahan yang banyak ditanami padi gaga. Hal ini, juga termuat pada prasasti Kanjuruhan B, yang dibuat tahun 943 Masehi.
Pada prasasti Wurandungan, yang juga terbit pada tahun 943 Masehi. Menurut Dwi, desa ini masuk dalam desa pertanian yang maju. Yakni, sebagai desa swasembada pangan. “Kondisi tersebut, dapat dilihat dari statusnya dalam prasasti Wurandungan, yang menyatakan Panawijen, sebagai sima sawah, atau tanah perdikan pertanian,” ungkapnya.
Jauh sebelum masa Mpu Purwa, Dwi menduga, kawasan ini sudah menjadi wilayah kehidupan masa prasejarah.
Hal itu dapat dilihat dari penemuan watu kenong, dan lumping batu. Watu kenong ini, diduga menjadi landasan atau pondasi untuk mendirikan rumah panggung.
Wilayah Polowijen, diakuinya merupakan kawasan yang kaya akan peninggalan sejarah. Bahkan, di kawasan ini Mpu Purwa telah mampu mendirikan tempat pendidikan yang maju, serta menjadi tanah pertanian yang subur dan penghasil pangan.
“Saya berharap, kawasan ini bisa menjadi wilayah yang dilestarikan, untuk penelitian sejarah, pendidikan, dan wisata sejarah,” ungkapnya. yuswantoro
(sms)