Pemilik Lapo Tuak Teriak: Dari Mana Biaya Kuliah Anak Kalau RUU Minol Disahkan
loading...
A
A
A
SIMALUNGUN - Pemilik lapo (kedai) tuak di Kabupaten Simalungun dan Kota Pematangsiantar menolak disahkannya RUU Larangan Minuman Beralkohol (Minol) karena bisa mematikan sumber penghidupan keluarga.
Sejumlah pemilik lapo tuak yang ditemui, Minggu (15/11/2020) mengatakan,menjual minuman khas atau tradisional tuak sudah sejak lama dilakukan menjadi sumber penghidupan.
Maruli Silaban pemilik lapo tuak di Desa Jangger Leto Kecamatan Panei, mengatakan jika tuak resmi dilarang pemerintah maka, ribuan manusia yang selama ini menggantungkan hidup dari menjual tuak akan terancam hidupnya. (BACA JUGA: PPP Ajak Koalisi Keumatan Lakukan Langkah Nyata Perjuangkan RUU Minol)
"Jika tuak dilarang oleh pemerintah siapa yang akan menanggung biaya kuliah anak saya dan hidup keluarga saya,karena selama ini biaya kuliah anak saya dan hidup keluarga saya dari menjual tuak yang merupakan minuman tradsional," ujar Silaban.
Ketua Himpunan Masyarakat Toba (Humatob) Kabupaten Simalungun Pardomuan Nauli Simanjuntak mengharapkan pemerintah dan legeslatif tidak gegabah dan membahas dan mengesahkan RUU Larangan Minuman Beralkohol.
Ribuan orang Batak, kata dia menggantungkan hidup dari menjual tuak dan mengolahnya di Sumatera Utara.
"Pemerintah dan DPR jangan gegabah,ribuan orang Batak akan kehilangan mata pencarian jika tuak yang merupakan minuman tradisional khas beralkohol dilarang dijual," sebut mantan anggota DPRD Sumatera Utara itu. (BACA JUGA: Minimalisasi Kasus OD, PCNU Dukung RUU Larangan Minol)
Sekadar diketahui tuak adalah minum tradisional beralkohol yang dikelolah etnis Batak, terutama etnis Batak beragama Non-Muslim.
Sebelumnya, Karo Penmas Divisi Humas Polri, Brigjen Pol Awi Setiyono menuturkan ada beberapa kasus di kepolisian yang dilatarbelakangi minuman beralkohol.
"Kalau boleh kami berikan gambaran, memang dalam beberapa kasus tindak pidana memang ada hal-hal yang memang dilatarbelakangi karena alkohol," ujar Awi di Bareskrim Polri, Jakarta, Jumat (13/11/2020).
Berdasarkan catatan kepolisian sejak 2018 hingga 2020, kata Awi, perkara pidana yang dilatarbelakangi minuman keras ada sebanyak 223 kasus. "Jadi kasus ini biasanya misalnya kasus-kasus pemerkosaan, setelah diperiksa tersangkanya positif minum alkohol, kemudian terkait dengan kejahatan," jelasnya.
Sejumlah pemilik lapo tuak yang ditemui, Minggu (15/11/2020) mengatakan,menjual minuman khas atau tradisional tuak sudah sejak lama dilakukan menjadi sumber penghidupan.
Maruli Silaban pemilik lapo tuak di Desa Jangger Leto Kecamatan Panei, mengatakan jika tuak resmi dilarang pemerintah maka, ribuan manusia yang selama ini menggantungkan hidup dari menjual tuak akan terancam hidupnya. (BACA JUGA: PPP Ajak Koalisi Keumatan Lakukan Langkah Nyata Perjuangkan RUU Minol)
"Jika tuak dilarang oleh pemerintah siapa yang akan menanggung biaya kuliah anak saya dan hidup keluarga saya,karena selama ini biaya kuliah anak saya dan hidup keluarga saya dari menjual tuak yang merupakan minuman tradsional," ujar Silaban.
Ketua Himpunan Masyarakat Toba (Humatob) Kabupaten Simalungun Pardomuan Nauli Simanjuntak mengharapkan pemerintah dan legeslatif tidak gegabah dan membahas dan mengesahkan RUU Larangan Minuman Beralkohol.
Ribuan orang Batak, kata dia menggantungkan hidup dari menjual tuak dan mengolahnya di Sumatera Utara.
"Pemerintah dan DPR jangan gegabah,ribuan orang Batak akan kehilangan mata pencarian jika tuak yang merupakan minuman tradisional khas beralkohol dilarang dijual," sebut mantan anggota DPRD Sumatera Utara itu. (BACA JUGA: Minimalisasi Kasus OD, PCNU Dukung RUU Larangan Minol)
Sekadar diketahui tuak adalah minum tradisional beralkohol yang dikelolah etnis Batak, terutama etnis Batak beragama Non-Muslim.
Sebelumnya, Karo Penmas Divisi Humas Polri, Brigjen Pol Awi Setiyono menuturkan ada beberapa kasus di kepolisian yang dilatarbelakangi minuman beralkohol.
"Kalau boleh kami berikan gambaran, memang dalam beberapa kasus tindak pidana memang ada hal-hal yang memang dilatarbelakangi karena alkohol," ujar Awi di Bareskrim Polri, Jakarta, Jumat (13/11/2020).
Berdasarkan catatan kepolisian sejak 2018 hingga 2020, kata Awi, perkara pidana yang dilatarbelakangi minuman keras ada sebanyak 223 kasus. "Jadi kasus ini biasanya misalnya kasus-kasus pemerkosaan, setelah diperiksa tersangkanya positif minum alkohol, kemudian terkait dengan kejahatan," jelasnya.
(vit)