Kisah Magis Jenderal Sarwo Edhie, Satu Teriakan Lantang Bikin Ciut Nyali Pasukan Musuh
loading...
A
A
A
Ahmad Yani kemudian mengajak Sarwo Edhie membentuk batalyon baru, ia makin larut dalam kehidupan militer. Jiwa kepemimpinan Sarwo Edhie yang menonjol membuatnya terpilih menjadi Komandan Kompi Batalyon V Brigade IX, Divisi Diponegoro sampai tahun 1951.
Tahun 1949, Sarwo Edhie menikah dengan Sri Sunarti Hadiyah dalam kondisi serba sederhana. Sri baru saja lulus sekolah guru taman kanak-kanak dan belum sempat mencari pekerjaan ketika Sarwo Edhie mengajaknya menikah.
Ani Yudhoyono menuturkan awal pernikahan adalah masa penggojlokan Sri Sunarti sebagai istri prajurit. Alih-alih melewatkan masa bulan madu yang nyaman dan penuh dengan ketenangan, Sri Sunarti sudah diajak Sarwo Edhie mengungsi ke hutan karena situasi politik yang memanas. Pascakemerdekaan, pasukan Belanda masih merajalela dan mengincar prajurit-prajurit pro kemerdekaan.
Komandan Korps Baret Merah periode 1964-1967 termasuk salah satu orang yang menjadi target penangkapan Belanda. Bersama ratusan pengungsi, yang rata-rata adalah prajurit dan anak istrinya, Sarwo Edhie membawa Sri Sunarti menempuh perjalanan puluhan kilometer menuju kawasan hutan di Magelang Timur dengan hanya membawa satu buntalan kain berisi sedikit pakaian. Sebelum mencapai hutan, pengungsi harus menyeberangi kali yang cukup lebar.
Konon hutan itu cukup ditakuti Belanda jadi dinilai aman sebagai tempat persembunyian. Walau begitu Belanda tetap melancarkan aksi pengepungan dan penangkapan terhadap tentara Indonesia. Hutan dengan medan yang sulit itu terus disisir Belanda. Tempat-tempat pengungsian setiap hari diwarnai situasi tegang, karena Belanda bisa muncul tiba-tiba dan menghabisi tentara Indonesia.
Dari tahun 1949 sampai 1950, Ani Yudhoyono menyebut Sarwo Edhie dan Sri Sunarti berpindah-pindah tempat dengan kondisi yang serba darurat dan tidak pernah sepi dari ancaman. Sering kali pasukan Belanda datang tiba-tiba dan menangkapi orang-orang yang dicurigai.
Agar selamat dan tidak ditanya-tanya tentang suami, para ibu muda biasanya langsung menggelung rambut sedemikian rupa sehingga dikira masih gadis. Saat itu memang ada simbol status wanita yang diisyaratkan dengan penataan rambut. Belanda selalu memancing kehadiran tentara dengan menginterogasi istri mereka.
Dalam situasi yang menegangkan itu sebuah peristiwa ajaib pernah terjadi. Ibunya bercerita, dalam sebuah pengungsian, ia dan Sarwo Edhie tinggal dalam sebuah bangunan besar mirip gudang. Tidak ada dinding-dinding di dalamnya, kecuali sekat-sekat kecil.
Puluhan anak buah Sarwo Edhie beserta anak dan istri tinggal di sana. Sri Sunarti tidur bersama mereka beralas tikar. Selama beberapa hari di mana suasana cukup tenteram, tetapi suatu siang mereka dikejutkan oleh bunyi letusan senjata.
Segerombolan pasukan Belanda menemukan tempat itu dan langsung mengobrak-abrik. Mereka langsung mencurigai Sri Sunarti sebagai istri Sarwo Edhie. Dengan sigap Sri Sunarti segera mengonde rambutnya sedemikian rupa agar disangka gadis. Ia melakukannya dengan tangan gemetar karena was-was pasukan Belanda akan mencium keberadaan Sarwo Edhie di dalam rumah.
Tahun 1949, Sarwo Edhie menikah dengan Sri Sunarti Hadiyah dalam kondisi serba sederhana. Sri baru saja lulus sekolah guru taman kanak-kanak dan belum sempat mencari pekerjaan ketika Sarwo Edhie mengajaknya menikah.
Ani Yudhoyono menuturkan awal pernikahan adalah masa penggojlokan Sri Sunarti sebagai istri prajurit. Alih-alih melewatkan masa bulan madu yang nyaman dan penuh dengan ketenangan, Sri Sunarti sudah diajak Sarwo Edhie mengungsi ke hutan karena situasi politik yang memanas. Pascakemerdekaan, pasukan Belanda masih merajalela dan mengincar prajurit-prajurit pro kemerdekaan.
Komandan Korps Baret Merah periode 1964-1967 termasuk salah satu orang yang menjadi target penangkapan Belanda. Bersama ratusan pengungsi, yang rata-rata adalah prajurit dan anak istrinya, Sarwo Edhie membawa Sri Sunarti menempuh perjalanan puluhan kilometer menuju kawasan hutan di Magelang Timur dengan hanya membawa satu buntalan kain berisi sedikit pakaian. Sebelum mencapai hutan, pengungsi harus menyeberangi kali yang cukup lebar.
Konon hutan itu cukup ditakuti Belanda jadi dinilai aman sebagai tempat persembunyian. Walau begitu Belanda tetap melancarkan aksi pengepungan dan penangkapan terhadap tentara Indonesia. Hutan dengan medan yang sulit itu terus disisir Belanda. Tempat-tempat pengungsian setiap hari diwarnai situasi tegang, karena Belanda bisa muncul tiba-tiba dan menghabisi tentara Indonesia.
Dari tahun 1949 sampai 1950, Ani Yudhoyono menyebut Sarwo Edhie dan Sri Sunarti berpindah-pindah tempat dengan kondisi yang serba darurat dan tidak pernah sepi dari ancaman. Sering kali pasukan Belanda datang tiba-tiba dan menangkapi orang-orang yang dicurigai.
Agar selamat dan tidak ditanya-tanya tentang suami, para ibu muda biasanya langsung menggelung rambut sedemikian rupa sehingga dikira masih gadis. Saat itu memang ada simbol status wanita yang diisyaratkan dengan penataan rambut. Belanda selalu memancing kehadiran tentara dengan menginterogasi istri mereka.
Dalam situasi yang menegangkan itu sebuah peristiwa ajaib pernah terjadi. Ibunya bercerita, dalam sebuah pengungsian, ia dan Sarwo Edhie tinggal dalam sebuah bangunan besar mirip gudang. Tidak ada dinding-dinding di dalamnya, kecuali sekat-sekat kecil.
Puluhan anak buah Sarwo Edhie beserta anak dan istri tinggal di sana. Sri Sunarti tidur bersama mereka beralas tikar. Selama beberapa hari di mana suasana cukup tenteram, tetapi suatu siang mereka dikejutkan oleh bunyi letusan senjata.
Segerombolan pasukan Belanda menemukan tempat itu dan langsung mengobrak-abrik. Mereka langsung mencurigai Sri Sunarti sebagai istri Sarwo Edhie. Dengan sigap Sri Sunarti segera mengonde rambutnya sedemikian rupa agar disangka gadis. Ia melakukannya dengan tangan gemetar karena was-was pasukan Belanda akan mencium keberadaan Sarwo Edhie di dalam rumah.