Kisah Magis Jenderal Sarwo Edhie, Satu Teriakan Lantang Bikin Ciut Nyali Pasukan Musuh
loading...
A
A
A
Sebagai salah satu legenda komandan Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) yang kini dikenal dengan Komando Pasukan Khusus (Kopassus) , sepak terjang Letjen TNI Sarwo Edhie Wibowo tak perlu diragukan lagi. Ia juga disebut menjadi salah satu saksi kunci dalam pemberantasan G30S PKI.
Sepak terjang Sarwo Edhie Wibowo selama menjalani karier kemiliteran di TNI kemudian dikisahkan putrinya, Almarhum Kristiani Herrawati atau yang dikenal Ani Yudhoyono, Ibu Negara Republik Indonesia yang merupakan istri dari Presiden ke-6 RI, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Dikutip dari Buku "Ani Yudhoyono, Kepak Sayap Putri Prajurit" yang ditulis Alberthiene Endah, Rabu (11/9/2024), Ani Yudhoyono menceritakan bagaimana keberanian sang ayah di medan tempur.
Lulus dari Sekolah Menengah Pertama pada zaman pemerintah kolonial Belanda Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO), Sarwo Edhie bertekad menjadi tentara. Dia terkesan dengan cerita ketangguhan Jepang melawan Sekutu. Saat kedatangan Jepang pada tahun 1942, digelar pendidikan tentara dan Sarwo Edhie ikut mendaftar menjadi heiho (prajurit).
Orangtua Sarwo Edhie sangat kaget dengan keputusannya, walaupun senang melihat tekad baik putra mereka. Sayang, usia Sarwo Edhie belum cukup untuk menjadi prajurit. la baru saja berusia 15 tahun.
Jepang menetapkan persyaratan usia untuk bergabung dengan heiho minimal 17 tahun. Namun, Sarwo Edhie tidak hilang akal. Ia mengganti tahun kelahiran dua tahun lebih awal, dari 1927 menjadi 1925. Kebetulan tubuh Sarwo Edhie tegap dan cukup tinggi, sehingga Jepang tidak curiga kalau umurnya masih sangat belia.
Sarwo Edhie akhirnya diterima. Dalam usia semuda itu, ia berangkat ke Bogor, tempat para calon heiho akan digembleng. Bogor untuk ukuran orang Jawa Tengah waktu itu adalah sebuah kota yang begitu jauh.
Orangtua Sarwo Edhie melepas anaknya dengan tangis. Mereka sangat mendukung, tapi ada rasa khawatir mengingat usia Sarwo Edhie yang masih sangat muda. Tetapi, ia memang gagah berani.
Selang beberapa bulan kemudian, ia kembali ke Purworejo dengan seragam tentara komplet berikut pedang Jepang. Bukan main bangganya Eyang, kata Ani Yudhoyono bercerita. Papi, begitu Sarwo Edhie dipanggil anak-anaknya, dipeluk dengan tangis haru.
Dengan seragam tentara, Sarwo Edhie seolah mendapatkan "roh" yang diinginkannya. Ia menggeluti dunia prajurit dengan sepenuh hati. Kemudian ia memperdalam pendidikan militer di Magelang. Tahun 1945, di Magelang, ia membentuk batalyon dan menjadi Komandan Pasukan BKR (Barisan Keamanan Rakyat).
Sepak terjang Sarwo Edhie Wibowo selama menjalani karier kemiliteran di TNI kemudian dikisahkan putrinya, Almarhum Kristiani Herrawati atau yang dikenal Ani Yudhoyono, Ibu Negara Republik Indonesia yang merupakan istri dari Presiden ke-6 RI, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Baca Juga
Dikutip dari Buku "Ani Yudhoyono, Kepak Sayap Putri Prajurit" yang ditulis Alberthiene Endah, Rabu (11/9/2024), Ani Yudhoyono menceritakan bagaimana keberanian sang ayah di medan tempur.
Lulus dari Sekolah Menengah Pertama pada zaman pemerintah kolonial Belanda Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO), Sarwo Edhie bertekad menjadi tentara. Dia terkesan dengan cerita ketangguhan Jepang melawan Sekutu. Saat kedatangan Jepang pada tahun 1942, digelar pendidikan tentara dan Sarwo Edhie ikut mendaftar menjadi heiho (prajurit).
Orangtua Sarwo Edhie sangat kaget dengan keputusannya, walaupun senang melihat tekad baik putra mereka. Sayang, usia Sarwo Edhie belum cukup untuk menjadi prajurit. la baru saja berusia 15 tahun.
Jepang menetapkan persyaratan usia untuk bergabung dengan heiho minimal 17 tahun. Namun, Sarwo Edhie tidak hilang akal. Ia mengganti tahun kelahiran dua tahun lebih awal, dari 1927 menjadi 1925. Kebetulan tubuh Sarwo Edhie tegap dan cukup tinggi, sehingga Jepang tidak curiga kalau umurnya masih sangat belia.
Sarwo Edhie akhirnya diterima. Dalam usia semuda itu, ia berangkat ke Bogor, tempat para calon heiho akan digembleng. Bogor untuk ukuran orang Jawa Tengah waktu itu adalah sebuah kota yang begitu jauh.
Orangtua Sarwo Edhie melepas anaknya dengan tangis. Mereka sangat mendukung, tapi ada rasa khawatir mengingat usia Sarwo Edhie yang masih sangat muda. Tetapi, ia memang gagah berani.
Selang beberapa bulan kemudian, ia kembali ke Purworejo dengan seragam tentara komplet berikut pedang Jepang. Bukan main bangganya Eyang, kata Ani Yudhoyono bercerita. Papi, begitu Sarwo Edhie dipanggil anak-anaknya, dipeluk dengan tangis haru.
Dengan seragam tentara, Sarwo Edhie seolah mendapatkan "roh" yang diinginkannya. Ia menggeluti dunia prajurit dengan sepenuh hati. Kemudian ia memperdalam pendidikan militer di Magelang. Tahun 1945, di Magelang, ia membentuk batalyon dan menjadi Komandan Pasukan BKR (Barisan Keamanan Rakyat).