Kisah Putri Mandalika, Berwajah Cantik Jelita Rela Berkorban jadi Cacing Laut Demi Kedamaian Abadi

Senin, 08 Agustus 2022 - 05:00 WIB
loading...
Kisah Putri Mandalika, Berwajah Cantik Jelita Rela Berkorban jadi Cacing Laut Demi Kedamaian Abadi
Putri Mandalika. Foto/Dok. warisanbudaya.kemdikbud.go.id
A A A
Nama Mandalika, langsung mendunia usai sukses menjadi gelaran kejuaraan dunia Superbike musim 2021, dan MotoGP musim 2022. Mandalika disematkan menjadi nama sirkuit balap internasional di pesisir selatan Kuta, Kabupaten Lombok Tengah, NTB.



Siapa sangka, Mandalika merupakan nama putri cantik jelita yang melegenda di tanah Lombok. Kisah kecantikan Putri Mandalika ini, salah satunya dikisahkan oleh Ache Nuhi dalam bukunya "Cerita Rakyat: Putri Mandalika Asal Mula Upacara Bau Nyale".



Dalam buku terbitan ALPRIN Semarang, tahun 2008 tersebut, dikisahkan di pantai selatan Pulau Lombok, terdapat sebuah kerajaan yang bernama Tonjang Beru. Kerajaan ini diperintah oleh seorang saja yang arif dan bijaksana, bernama Raja Tonjang Beru, dan seorang permaisuri yang bernama, Dewi Seranting.



Pasangan raja dan ratu yang sangat dicintai rakyatnya tersebut, dikaruniai seorang putri bernama Putri Mandalika. Raja dan ratu sangat menyayangi putrinya. Ketika beranjak dewasa, Putri Mandalika tumbuh menjadi putri yang cantik jelita.

Bahkan, kecantikan Putri Mandalika tersohor hingga ke Kerajaan Johor, Lipur, Pane, Kuripan, dan Daha. Hal ini membuat para pangeran dari berbagai kerajaan, berdatangan layaknya kumbang berterbangan di antara wangi bunga. Mereka ingin mempersunting putri yang cantik jelita dan baik hati, serta luhur budinya itu.

Datangnya kumbang-kumbang dari berbagai kerajaan ini, membuat Putri Mandalika gusar. Putri cantik jelita itu cemas, apabila memilih salah satu pangeran maka akan terjari peperangan di antara mereka, sehingga kedamaian di Bumi Sasak menjadi terganggu.

Di tengah kegusarannya, Putri Mandalika memutuskan mengundang seluruh pangeran beserta rakyat mereka untuk bertemu di Pantai Seger, Kuta, Lombok pada tanggal 20 bulan ke 10 menurut perhitungan bulan Sasak.

Para pangeran itu, harus datang ke Pantai Seger, sebelum subuh tiba. Undangan dari Putri Mandalika ini, langsung disambut hingar-bingar oleh para pangeran beserta rakyatnya. Mereka berduyun-duyun mendatangi pantai untuk memenuhi undangan Putri Mandalika.



Di tengah penantian itu, para pangeran dan rakyat yang telah memenuhi pesisir pantai, dibuat terpesona oleh kehadiran Putri Mandalika. Putri cantik jelita ini, datang dengan diusung oleh para prajurit.

Putri Mandalika berhenti di sebuah batu besar di tepi pantai. Dia berdiri di batu tersebut, dan menyatakan niatnya menerima seluruh pangeran dan rakyat yang telah datang memenuhi undangannya.

Usai menyatakan menerima seluruh pangeran dan rakyat yang datang, Putri Mandalika yang tak menginginkan adanya pertumpahan darah, langsung melompat ke laut. Para pangeran dan rakyat yang telah datang, langsung mengejar putri tersebut ke dalam laut, namun tak pernah menemukan Putri Mandalika.

Di tengah kesedihan dan kebingungan para pangeran dan rakyat di pesisir pantai itu, tiba-tiba datang sekumpulan cacing berwarna-warni. Cacing laut penuh warna itu, dalam Bahasa Sasak disebut Nyale, dan dipercaya oleh masyarakat sebagai jelmaan Putri Mandalika.

Cacing warna-warni yang disebut Nyale ini, hanya muncul sekali dalam setahun di Pantai Seger, Kuta, Kabupaten Lombok Tengah. Bahkan, setiap tahun masyarakat Lombok akan menyerbu Pantai Kuta, untuk mencari Nyale.



Dilansir dari laman disbudpar.ntbprov.go.id, tradisi menangkap cacing berwarna-warni di Pantai Kuta Lombok Tengah tersebut, dikenal dengan sebutan Bau Nyale. Kegiatan adat Bau Nyale ini, berasal dari Bahasa Sasak, di mana Bau berarti menangkap, dan Nyale adalah Cacing Laut. Bau Nyale berarti menangkap cacing laut yang berwarna-warni.

Bau Nyale, merupakan budaya penuh nilai yang diwariskan oleh Putri Mandalika, karena berani mengorbankan dirinya untuk kedamaian negaranya. Keberanian inilah yang selalu menjadi teladan bagi warga Lombok. Masyarakat Lombok, masih sangat meyakini bahwa siapapun yang dapat menangkap Nyale, akan beruntung.

Pemprov NTB, bersama Kemenparekraf, selalu menggelar Festival Pesona Bau Nyale di kawasan Pantai Kuta Mandalika, Kabupaten Lombok Tengah, yang diharapkan dapat mendongkrak angka kunjungan wisatawan ke Lombok, dan Sumbawa.

Dalam laman warisanbudaya.kemdikbud.go.id, disebutkan tradisi Bau Nyale merupakan salah satu tradisi turun-temurun yang dilakukan oleh masyarakat Lombok Tengah, sejak ratusan tahun silam.

Awal mula tradisi ini tidak ada yang mengetahui secara pasti. Namun berdasarkan isi Babad Sasak yang dipercaya oleh masyarakat, tradisi ini berlangsung sejak sebelum 16 abad silam.



Tradisi ini dilangsungkan setiap tanggal 20 bulan 10 menurut perhitungan penanggalan tradisional Sasak, atau sekitar bulan Februari bertempat di Pantai Seger, Kuta, Lombok Tengah.

Prosesi Tradisi Bau Nyale diawali dengan diadakannya sangkep wariga, yaitu pertemuan para tokoh adat untuk menentukan hari baik, mengenai kapan saat Nyale ini ke luar. Dilanjutkan dengan mepaosan, yaitu pembacaan lontar yang dilakukan oleh para mamik atau tokoh adat.

Pembacaan lontar ini, dilakukan sehari sebelum pelaksanaan Tradisi Bau Nyale, bertempat di bangunan tradisional dengan tiang empat yang disebut dengan Bale Saka Pat. Pembacaan lontar ini, dengan menembangkan beberapa pupuh atau nyayian tradisional.

Urutan pupuh atau nyanyian tradisional yang dilakukan dalam pembacaan lontar, yakni Pupuh Smarandana, Pupuh Sinom, Pupuh Maskumambang dan Pupuh Ginada. Beberapa piranti yang dipakai dalam prosesi ini antara lain daun sirih, kapur, kembang setaman dengan sembilan jenis bunga, dua buah gunungan yang berisi jajan tradisional khas Sasak, serta buah-buahan lokal.



Upacara Bau Nyale akan digelar dini hari sebelum subuh, seperti undangan yang disampaikan Putri Mandalika kepada para pangeran dan seluruh rakyatnya. Sebelum masyarakat turun ke laut, para tokoh adat menggelar sebuah upacara adat Nede Rahayu Ayuning Jagad.

Dalam prosesi adat Nede Rahayu Ayuning Jagad ini, para Tetua Adat Lombok berkumpul dengan posisi melingkar, di tengah-tengah mereka diletakkan dua buah gunungan berisi jajanan tradisional Sasak, serta buah-buahan lokal. Setelah itu, masyarakat akan berhamburan ke pesisir pantai, berburu Nyale, simbol pengorbanan Putri Mandalika, untuk kedamaian abadi.
(eyt)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1572 seconds (0.1#10.140)