Kisah Pangeran Diponegoro Sebelum Ditangkap, Sempat Guyon Santai dengan Jenderal De Kock
loading...
A
A
A
Perang Diponegoro atau Perang Jawa (1825-1830) yang dimulai bulan Juli 1825 dan berlangsung sengit itu, pada akhirnya menempatkan pihak Kompeni Belanda pada posisi di atas angin.
Strategi membangun benteng-benteng darurat, ditambah melipatgandakan pasukan gerak cepat berhasil membuat posisi Pangeran Diponegoro semakin terjepit. Pada September 1829, Diponegoro terkurung di lembah sempit di antara Kali Progo dan Kali Bogowonto.
Bayangan datangnya kekalahan semakin dekat di depan mata. Di bulan yang sama itu, satu persatu orang-orang kepercayaan Diponegoro terbunuh yang membuat sang pangeran sangat berduka sekaligus menjadikannya merasa hidup sebatang kara.
“Pada tanggal 21 September pamannya Pangeran Ngabehi, dan dua putranya tewas secara mengenaskan di pegunungan Kelir,” tulis Peter Carey dalam buku Takdir, Riwayat Pangeran Diponegoro (1785-1855).
Pada bulan berikutnya di tahun yang sama (1829), situasi semakin memburuk. Sentot Ali Basah Prawirodirjo yang menjadi salah satu senopati andalan Pangeran Dipongeoro, membuka perundingan dengan Belanda. Sentot menyerah. Di akhir bulan, Raden Ayu Mangkorowati, ibunya dan Raden Ayu Gusti, putrinya telah ditawan Belanda.
Namun situasi yang sudah tidak menguntungkan itu tidak juga mengubah sikap Diponegoro untuk tetap mengobarkan peperangan. Kendati demikian posisinya tak lebih dari seorang pelarian yang diburu ke sana – sini. Apalagi kompeni Belanda juga membuka sayembara 20.000 golden untuk siapa saja yang bisa menyerahkan kepalanya.
Mulai November 1829 hingga dua bulan berikutnya, Diponegoro nyaris berjuang seorang diri. Kondisinya mengenaskan. Ia bersembunyi di hutan wilayah Begelen Barat, Purworejo dengan hanya ditemani dua pengawal setia, dan mengalami sakit malaria tropika.
“Mayoritas komandan tentaranya telah menyerah karena frustasi dan kelelahan,” kata Saleh Djamhari seperti dikutip dalam Takdir, Riwayat Pangeran Diponegoro (1785-1855).
Basah Hasan Munadi, seorang keturunan Arab-Jawa, pemimpin resimen kawal pribadi Barjumungah Diponegoro, menyarankan Pangeran Diponegoro pergi ke kawasan pegunungan Remo, yakni antara Begelen dan Banyumas. Di sana, masih ada Basah Ngabdulmahmud Gondokusumo, komandan prajurit yang masih memegang kendali.
Strategi membangun benteng-benteng darurat, ditambah melipatgandakan pasukan gerak cepat berhasil membuat posisi Pangeran Diponegoro semakin terjepit. Pada September 1829, Diponegoro terkurung di lembah sempit di antara Kali Progo dan Kali Bogowonto.
Bayangan datangnya kekalahan semakin dekat di depan mata. Di bulan yang sama itu, satu persatu orang-orang kepercayaan Diponegoro terbunuh yang membuat sang pangeran sangat berduka sekaligus menjadikannya merasa hidup sebatang kara.
“Pada tanggal 21 September pamannya Pangeran Ngabehi, dan dua putranya tewas secara mengenaskan di pegunungan Kelir,” tulis Peter Carey dalam buku Takdir, Riwayat Pangeran Diponegoro (1785-1855).
Pada bulan berikutnya di tahun yang sama (1829), situasi semakin memburuk. Sentot Ali Basah Prawirodirjo yang menjadi salah satu senopati andalan Pangeran Dipongeoro, membuka perundingan dengan Belanda. Sentot menyerah. Di akhir bulan, Raden Ayu Mangkorowati, ibunya dan Raden Ayu Gusti, putrinya telah ditawan Belanda.
Namun situasi yang sudah tidak menguntungkan itu tidak juga mengubah sikap Diponegoro untuk tetap mengobarkan peperangan. Kendati demikian posisinya tak lebih dari seorang pelarian yang diburu ke sana – sini. Apalagi kompeni Belanda juga membuka sayembara 20.000 golden untuk siapa saja yang bisa menyerahkan kepalanya.
Mulai November 1829 hingga dua bulan berikutnya, Diponegoro nyaris berjuang seorang diri. Kondisinya mengenaskan. Ia bersembunyi di hutan wilayah Begelen Barat, Purworejo dengan hanya ditemani dua pengawal setia, dan mengalami sakit malaria tropika.
“Mayoritas komandan tentaranya telah menyerah karena frustasi dan kelelahan,” kata Saleh Djamhari seperti dikutip dalam Takdir, Riwayat Pangeran Diponegoro (1785-1855).
Basah Hasan Munadi, seorang keturunan Arab-Jawa, pemimpin resimen kawal pribadi Barjumungah Diponegoro, menyarankan Pangeran Diponegoro pergi ke kawasan pegunungan Remo, yakni antara Begelen dan Banyumas. Di sana, masih ada Basah Ngabdulmahmud Gondokusumo, komandan prajurit yang masih memegang kendali.