Kisah Pangeran Diponegoro Sebelum Ditangkap, Sempat Guyon Santai dengan Jenderal De Kock
loading...
A
A
A
Basah Hasan Munadi sempat bertanya, “apakah Pangeran lebih suka menyerah atau diberi tahta Yogya sebagai hadiah hiburan?”. Jawab Pangeran Diponegoro: Tidak. Ia tidak akan membiarkan dirinya menyerah karena hal itu memalukan. Begitu juga dengan hadiah hiburan sebagai sultan Yogya. Diponegoro menegaskan, semua pengorbanan yang sudah dilakukan akan sia-sia.
Sejak 11 November 1829 sosok Pangeran Diponegoro tak lagi terlihat di medan pertempuran. Sosoknya seolah ditelan bumi. Belanda pun memutar akal untuk menemukan keberadaannya. Basah Kerto Pangalasan, salah satu komandan prajurit laskar Diponegoro yang menyerah, didatangi.
Basah Kerto Pangalasan berjanji membukakan negosiasi damai dengan cara berkorespondensi. Ditulisnya sepucuk surat kepada Raden Adipati Abdullah Danurejo yang bersembunyi di Begelen Barat, dan menerima balasan pada 2 Desember 1829.
Isinya meminta gencatan senjata selama 14 hari. Namun permintaan itu langsung ditolak Jenderal De Kock. De Kock menegaskan akan mengambil sikap setelah dirinya mendapat jawaban surat langsung dari Pangeran Diponegoro yang intinya rela berunding.
Basah Kerto Pangalasan yang sebelumnya pernah berdiskusi dengan Pangeran Diponegoro dan memahami jalan pikiran pangeran Jawa itu, lantas diam-diam membuat surat lagi yang seolah-olah jawaban dari Diponegoro. Pangalasan menawarkan Belanda empat opsi yang itu seolah datang langsung dari Pangeran Diponegoro.
Pertama, jika ingin tetap tinggal di Tanah Jawa sebagai tentara bayaran untuk orang Jawa, mereka diizinkan untuk tetap pada jabatan dan gaji mereka masing-masing, asalkan mau menjadi pedang agama.
Kedua, jika mereka merasa betah di Jawa dan tinggal sebagai saudagar, mereka diizinkan beroperasi di kawasan khusus yang telah ditentukan di Pantai Utara. Ketiga, jika ingin pulang kampung ke Belanda akan tetap dianggap sebagai saudara selamanya satu sama lain.
“Keempat, jika orang Belanda mau memeluk iman yang benar dan menjadi muslim, maka kesejahteraan hidup dan kedudukan mereka tentu akan meningkat,” tulis Peter Carey.
Baca Juga
Sejak 11 November 1829 sosok Pangeran Diponegoro tak lagi terlihat di medan pertempuran. Sosoknya seolah ditelan bumi. Belanda pun memutar akal untuk menemukan keberadaannya. Basah Kerto Pangalasan, salah satu komandan prajurit laskar Diponegoro yang menyerah, didatangi.
Basah Kerto Pangalasan berjanji membukakan negosiasi damai dengan cara berkorespondensi. Ditulisnya sepucuk surat kepada Raden Adipati Abdullah Danurejo yang bersembunyi di Begelen Barat, dan menerima balasan pada 2 Desember 1829.
Isinya meminta gencatan senjata selama 14 hari. Namun permintaan itu langsung ditolak Jenderal De Kock. De Kock menegaskan akan mengambil sikap setelah dirinya mendapat jawaban surat langsung dari Pangeran Diponegoro yang intinya rela berunding.
Basah Kerto Pangalasan yang sebelumnya pernah berdiskusi dengan Pangeran Diponegoro dan memahami jalan pikiran pangeran Jawa itu, lantas diam-diam membuat surat lagi yang seolah-olah jawaban dari Diponegoro. Pangalasan menawarkan Belanda empat opsi yang itu seolah datang langsung dari Pangeran Diponegoro.
Pertama, jika ingin tetap tinggal di Tanah Jawa sebagai tentara bayaran untuk orang Jawa, mereka diizinkan untuk tetap pada jabatan dan gaji mereka masing-masing, asalkan mau menjadi pedang agama.
Kedua, jika mereka merasa betah di Jawa dan tinggal sebagai saudagar, mereka diizinkan beroperasi di kawasan khusus yang telah ditentukan di Pantai Utara. Ketiga, jika ingin pulang kampung ke Belanda akan tetap dianggap sebagai saudara selamanya satu sama lain.
“Keempat, jika orang Belanda mau memeluk iman yang benar dan menjadi muslim, maka kesejahteraan hidup dan kedudukan mereka tentu akan meningkat,” tulis Peter Carey.