Kisah Mbah Ma'shum Lasem, Santri Pengembara yang Tahu Waktu Kematiannya
loading...
A
A
A
Abdullah Hamid, penggiat sejarah di Lasem, memaparkan riwayat Mbah Ma'shum ditulis di buku "Manaqib Mbah Ma'shum," "Biografi Mbah Ma'shum" dan "Sang Guru Sejati".
Mbah Ma'shum memiliki nama asli Muhammadun, diperkirakan lahir sekitar tahun 1870. Ayahnya bernama Ahmad, seorang saudagar. Dari jalur ayahnya, beliau masih punya hubungan darah dengan Sultan Minangkabau, dan silsilahnya bersambung hingga ke Rasulullah. Ibunya bernama Nyai Qosimah. Mbah Ma’shum punya dua saudara, yakni Nyai Zainab dan Nyai Malichah.
Mengutip Okezone, Mbah Ma’shum menikah dua kali –nama istri pertama ada beberapa versi, sedangkan istri kedua adalah Nyai Nuriyah. Putra pertama Mbah Ma’shum, adalah Kiai Ali Ma’shum, kelak menjadi pemimpin Pesantren Munawwir Krapyak, Yogyakarta, dan menjadi salah satu tokoh NU yang terkenal di tingkat nasional.
Abdullah menceritakan, sejak muda Mbah Ma’shum sudah hidup zuhud, sempat menjadi pedagang baju hasil jahitan Nyai Nuri, juga berjualan nasi pecel, lampu petromak, sendok, garpu, konde dan peniti.
Sembari berdagang, ia juga menyempatkan mengajar umat dan secara rutin berkunjung ke Tebuireng untuk mengaji kepada Kiai Hasyim Asy’ari, walau dari segi usia Mbah Ma’shum lebih tua.
"Mbah Ma’shum berhenti berdagang setelah bermimpi bertemu Rasulullah beberapa kali, di mana Kanjeng Rasul menasihatinya agar meninggalkan perdagangan dan beralih menjadi pengajar umat," katanya.
Mimpi itu terjadi di beberapa tempat –di stasiun Bojonegoro, saat antara tidur dan terjaga, beliau berjumpa Kanjeng Rasul yang memberinya nasihat La khayra illa fi nasyr al-ilmi (tiada kebaikan kecuali menyebarkan ilmu).
"Beliau juga bermimpi bersalaman dengan Kanjeng Rasul, dan setelah bangun tangannya masih berbau wangi,"ucapnya.
Ia juga bermimpi bertemu nabi sedang membawa daftar sumbangan untuk pembangunan pesantren, dan dalam mimpi itu Kanjeng Nabi berpesan kepada Mbah Ma’shum, “Mengajarlah … dan segala kebutuhanmu Insya Allah akan dipenuhi semuanya oleh Allah”.
Ketika dikonsultasikan dengan Kiai Hasyim Asy’ari, yang biasa memanggil Mbah Ma’shum dengan sebutan Kang Mas Ma’shum karena sudah amat akrab, mengatakan mimpi itu sudah jelas dan tak perlu lagi ditafsirkan. Setelah mimpi-mimpinya itulah beliau menetap di Lasem dan istiqamah mengajar.
Mbah Ma'shum memiliki nama asli Muhammadun, diperkirakan lahir sekitar tahun 1870. Ayahnya bernama Ahmad, seorang saudagar. Dari jalur ayahnya, beliau masih punya hubungan darah dengan Sultan Minangkabau, dan silsilahnya bersambung hingga ke Rasulullah. Ibunya bernama Nyai Qosimah. Mbah Ma’shum punya dua saudara, yakni Nyai Zainab dan Nyai Malichah.
Mengutip Okezone, Mbah Ma’shum menikah dua kali –nama istri pertama ada beberapa versi, sedangkan istri kedua adalah Nyai Nuriyah. Putra pertama Mbah Ma’shum, adalah Kiai Ali Ma’shum, kelak menjadi pemimpin Pesantren Munawwir Krapyak, Yogyakarta, dan menjadi salah satu tokoh NU yang terkenal di tingkat nasional.
Abdullah menceritakan, sejak muda Mbah Ma’shum sudah hidup zuhud, sempat menjadi pedagang baju hasil jahitan Nyai Nuri, juga berjualan nasi pecel, lampu petromak, sendok, garpu, konde dan peniti.
Sembari berdagang, ia juga menyempatkan mengajar umat dan secara rutin berkunjung ke Tebuireng untuk mengaji kepada Kiai Hasyim Asy’ari, walau dari segi usia Mbah Ma’shum lebih tua.
"Mbah Ma’shum berhenti berdagang setelah bermimpi bertemu Rasulullah beberapa kali, di mana Kanjeng Rasul menasihatinya agar meninggalkan perdagangan dan beralih menjadi pengajar umat," katanya.
Mimpi itu terjadi di beberapa tempat –di stasiun Bojonegoro, saat antara tidur dan terjaga, beliau berjumpa Kanjeng Rasul yang memberinya nasihat La khayra illa fi nasyr al-ilmi (tiada kebaikan kecuali menyebarkan ilmu).
"Beliau juga bermimpi bersalaman dengan Kanjeng Rasul, dan setelah bangun tangannya masih berbau wangi,"ucapnya.
Ia juga bermimpi bertemu nabi sedang membawa daftar sumbangan untuk pembangunan pesantren, dan dalam mimpi itu Kanjeng Nabi berpesan kepada Mbah Ma’shum, “Mengajarlah … dan segala kebutuhanmu Insya Allah akan dipenuhi semuanya oleh Allah”.
Ketika dikonsultasikan dengan Kiai Hasyim Asy’ari, yang biasa memanggil Mbah Ma’shum dengan sebutan Kang Mas Ma’shum karena sudah amat akrab, mengatakan mimpi itu sudah jelas dan tak perlu lagi ditafsirkan. Setelah mimpi-mimpinya itulah beliau menetap di Lasem dan istiqamah mengajar.