Kisah Mbah Ma'shum Lasem, Santri Pengembara yang Tahu Waktu Kematiannya

Minggu, 03 April 2022 - 05:00 WIB
loading...
Kisah Mbah Mashum Lasem, Santri Pengembara yang Tahu Waktu Kematiannya
KH Mashum Lasem.Foto/Gontornews
A A A
KH Ma’shum Ahmad adalah kiai yang sangat disegani banyak kalangan. Kiai dengan nama kecil Muhammadun ini merupakan pendiri Pondok Pesantren Al Hidayah, Lasem, Rembang, Jawa Tengah.

Kiai alim yang populer dengan nama panggilan Mbah Ma'shum ini lahir pada 1868 dari pasangan H. Ahmad dan Qosimah. Sulung dari dua saudarinya, Nyai Zainab dan Nyai Malichah ini memiliki silsilah dan hubungan darah dengan Sultan Minangkabau, bersambung hingga ke Rasulullah SAW.

Baca juga: Cerita Horor Prajurit Kopassus Tersesat 18 Hari di Hutan Papua, Ditemani 3 Makhluk Halus

Mbah Ma’shum merupakan santri pengembara. Sudah belasan pesantren didatanginya untuk menimba ilmu. Dari Jepara hingga ke Makkah Al Mukarromah. Oleh kedua orangtuanya, pertama-tama diserahkan kepada Kiai Nawawi, Jepara, untuk mempelajari ilmu agama. Kemudian pengembaraan ilmunya sampai di Kiai Abdullah, Kiai Abdul Salam, dan Kiai Siroj. Ketiganya merupakan Kiai khos dari Kajen, Pati, Jawa Tengah.

Setelah beberapa tahun berselang, Ma’shum muda sampai di Kudus. Di sana ia belajar kepada Kiai Ma’shum dan Kiai Syarofudin. Lalu kemudian di Sarang Rembang bersama Kiai Umar Harun, Solo bersama Kiai Idris, Termas dengan Kiai Dimyati, Semarang kepada Kiai Ridhwan, Jombang kepada Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari, Bangkalan kepada Kiai Kholil, lalu yang terakhir di Makkah, langsung kepada Kiai Mahfudz At-Turmusi.

Mengutip Islamidina.Id, Mbah Ma’shum adalah kiai yang memiliki julukan “Ayam Jago” yang diperoleh langsung dari sang guru, Mbah Kholil Bangkalan.

Waktu itu, sehari sebelum kedatangan Mbah Ma'shum ke Bangkalan, Mbah Kholil ngutus para santri untuk membuat kurungan ayam. "Tolong aku dibuatkan kurungan ayam jago. Besok akan ada ayam jago dari tanah Jawa yang datang ke sini," kata Mbah Kholil. Lalu keesokan harinya, Mbah Ma'shum pun datang. Saat itu usianya sekitar 20 tahun, dan anehnya Ma’shum muda langsung dimasukkan ke kurungan ayam itu.

Saat nyantri di Bangkalan, bukannya menimba ilmu, Mbah Ma'shum malah diperintah oleh Mbah Kholil untuk mengajar kitab Alfiyah selama 40 hari. Uniknya, pengajian dilakukan oleh Mbah Ma'shum di sebuah kamar tanpa lampu, sedangkan santri-santrinya berada di luar.

Ma’shum muda hanya 3 bulan nyantri di Bangkalan, meski begitu keilmuan dan kealimannya telah diakui oleh sang guru. Ketika hendak pulang, sebuah kejadian menarik dialami oleh Ma’shum muda. Mbah Kholil tiba-tiba memanggilnya, dan tanpa sebab apapun, Ma’shum didoakan dengan do'a sapu jagad. Lalu setelahnya, saat Ma'shum melangkah pergi beberapa meter, beliau dipanggil lagi oleh Mbah Kholil dan dido'akan dengan do'a yang sama. Hal ini terjadi berulang hingga 17 kali.

Tahu Waktu Kematiannya
Seorang sejarawan Denys Lombard, menuliskan Mbah Ma'shum adalah seorang guru atau kiai dari Lasem yang kurang dikenal di tingkat nasional, namun kematiannya pada tahun 1972 menimbulkan guncangan hebat dari satu ujung jaringan ke ujung jaringan lainnya.

Abdullah Hamid, penggiat sejarah di Lasem, memaparkan riwayat Mbah Ma'shum ditulis di buku "Manaqib Mbah Ma'shum," "Biografi Mbah Ma'shum" dan "Sang Guru Sejati".

Mbah Ma'shum memiliki nama asli Muhammadun, diperkirakan lahir sekitar tahun 1870. Ayahnya bernama Ahmad, seorang saudagar. Dari jalur ayahnya, beliau masih punya hubungan darah dengan Sultan Minangkabau, dan silsilahnya bersambung hingga ke Rasulullah. Ibunya bernama Nyai Qosimah. Mbah Ma’shum punya dua saudara, yakni Nyai Zainab dan Nyai Malichah.

Mengutip Okezone, Mbah Ma’shum menikah dua kali –nama istri pertama ada beberapa versi, sedangkan istri kedua adalah Nyai Nuriyah. Putra pertama Mbah Ma’shum, adalah Kiai Ali Ma’shum, kelak menjadi pemimpin Pesantren Munawwir Krapyak, Yogyakarta, dan menjadi salah satu tokoh NU yang terkenal di tingkat nasional.

Abdullah menceritakan, sejak muda Mbah Ma’shum sudah hidup zuhud, sempat menjadi pedagang baju hasil jahitan Nyai Nuri, juga berjualan nasi pecel, lampu petromak, sendok, garpu, konde dan peniti.

Sembari berdagang, ia juga menyempatkan mengajar umat dan secara rutin berkunjung ke Tebuireng untuk mengaji kepada Kiai Hasyim Asy’ari, walau dari segi usia Mbah Ma’shum lebih tua.

"Mbah Ma’shum berhenti berdagang setelah bermimpi bertemu Rasulullah beberapa kali, di mana Kanjeng Rasul menasihatinya agar meninggalkan perdagangan dan beralih menjadi pengajar umat," katanya.

Mimpi itu terjadi di beberapa tempat –di stasiun Bojonegoro, saat antara tidur dan terjaga, beliau berjumpa Kanjeng Rasul yang memberinya nasihat La khayra illa fi nasyr al-ilmi (tiada kebaikan kecuali menyebarkan ilmu).

"Beliau juga bermimpi bersalaman dengan Kanjeng Rasul, dan setelah bangun tangannya masih berbau wangi,"ucapnya.

Ia juga bermimpi bertemu nabi sedang membawa daftar sumbangan untuk pembangunan pesantren, dan dalam mimpi itu Kanjeng Nabi berpesan kepada Mbah Ma’shum, “Mengajarlah … dan segala kebutuhanmu Insya Allah akan dipenuhi semuanya oleh Allah”.

Ketika dikonsultasikan dengan Kiai Hasyim Asy’ari, yang biasa memanggil Mbah Ma’shum dengan sebutan Kang Mas Ma’shum karena sudah amat akrab, mengatakan mimpi itu sudah jelas dan tak perlu lagi ditafsirkan. Setelah mimpi-mimpinya itulah beliau menetap di Lasem dan istiqamah mengajar.

Sebelum mendirikan pesantren, beliau berziarah dulu ke beberapa makam Wali Allah, seperti makam Habib Ahmad ibn Abdullah ibn Tholib Alatas, Sapuro, Pekalongan.

Saat berziarah pada malam Jum’at, Habib Ahmad Alatas menemuinya dan memimpin doa bersama. Setelah itu Mbah Ma’shum keliling kota meminta sumbangan, dan berhasil mendapatkan sejumlah uang yang dibutuhkan untuk membangun pesantren.

Selain ke makam Habib Ahmad, beliau juga sering mendatangi haul Habib Ali Kwitang, Jakarta, dan ke makam Mbah Jejeruk (Sultan Mahmud) di Binangun Lasem.

"Setiap kali berziarah ke makam Mbah Jejeruk ini Mbah Ma’shum selalu membaca Shalawat Nariyah 4444 kali dalam sekali duduk. Mbah Ma’shum juga istiqamah mengamalkan doa Nurun Nubuwwah selepas shalat Subuh dan Ashar," ungkapnya. Ia kemudian mendirikan pesantren, dinamakan Pesantren Al-Hidayat.

Mbah Ma’shum wafat pada 28 April 1972 (14 Robiul Awal 1392 H) pukul 14.00 setelah shalat Jum’at. Upacara pemakamannya dibanjiri massa yang ingin memberikan penghormatan.

Terkait meninggalnya, ternyata ia telah mengetahui waktu dirinya akan meninggal. Ketika Kiai Baidhowi wafat pada 11 Desember 1970, Mbah Ma’shum menyatakan bahwa 2 tahun lagi dirinya akan wafat – pernyataan ini menjadi kenyataan.

Menurut seorang saksi, Mbah Ma’shum ketika di depan jenazah Mbah Baidhowi, beliau seperti berbicara dengan almarhum, dan berkata, “Ya, 2 tahun lagi saya akan menyusul”. (Diolah dari berbagai sumber)
(msd)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2370 seconds (0.1#10.140)