Kisah Karomah Kiai Abbas dan Bakiak yang Hancurkan Tentara Sekutu di Perang 10 November
loading...
A
A
A
Kesaktian bakiak milik Kiai Abbas tidak hanya terjadi di pertempuran 10 November 1945, tapi juga saat Kiai Abbas bertanding silat. Menurut KH Amiruddin Abkari, Buntet itu memiliki aliran sendiri dengan nama Pencak Silat Buntet. Ia menuturkan tentang sosok Mang Kisom, pendekar silat asal Buntet yang juga pernah menjadi gurunya. Dari Mang Kisom inilah diperoleh kisah kehebatan pencak silat Buntet dan bakiak Kiai Abbas.
Menurut Mang Kisom, Kiai Abbas selalu menjajal kemampuan murid-muridnya terkait kemampuan silat. Kiai Abbas sering meminta murid-muridnya untuk mengeroyoknya, untuk menjajal kemampuan silat yang sudah dikuasai. Sebelum memulai, Kiai Abbas selalu mengganti sandalnya dengan bakiak terlebih dahulu.
“Jadi sebelum bertarung, Kiai Abbas meminta diambilkan bakiak miliknya,” ujar Mang Kisom, seperti yang diceritakan oleh KH. Amiruddin Abkari.
Walaupun dikeroyok oleh lima orang, mereka tersungkur tanpa ada yang bisa menempelkan tangan atau kakinya ke badan Kiai Abbas. Menurut Mang Kisom, kaki Kiai Abbas seperti tidak menempel di tanah. Gerakannya sangat cepat dan pukulannya juga mematikan. “Kalau bertarung dengan Kiai Abbas, tidak ada yang pernah berhasil menyentuh badannya,” kata Mang Kisom.
Cerita lain, Kiai Abbas pernah menerima tamu seorang preman antek Belanda yang mengancamnya dengan sebuah belati. Saat ditodong, posisi tangan kanan Kiai Abbas sedang memegang Al-Qur’an dan tangan kirinya dijepit oleh preman tersebut. Sementara ujung belati yang tajam menempel tepat di leher Kiai Abbas.
Melihat kiainya sedang dalam kondisi bahaya, para santri dan masyarakat Buntet langsung mengelilingi Kiai Abbas. Namun beliau meminta semuanya untuk menyingkir. Kiai Abbas tidak memperlihatkan keraguan sedikit pun saat menjadi tawanan preman itu. Dengan gerakan sangat cepat, hanya dengan sebuah gerakan, dengan Al-Qur’an masih dipegang oleh tangan kanannya, Kiai Abbas bisa menjatuhkan preman tersebut. Saat santri dan masyarakat hendak menghakimi preman itu, Kiai Abbas melarangnya. “Jangan dipukuli, dia orang gila,” ujar Kiai Abbas saat itu.
Merasa nyawanya diselamatkan nyawanya dan takjub dengan sikap Kiai Abbas yang tidak memiliki rasa dendam, preman tersebut akhirnya menjadi salah satu murid dan pengawalnya yang setia.
Kiai Abbas lahir pada Jumat 24 Zulhijah 1300 H atau 1879 M di Desa Pekalangan, Cirebon dan putra sulung KH. Abdul Jamil yang merupakan pengasuh Pondok Pesantren Buntet Cirebon. Sedari usia kecil, Kiai Abbas adalah seorang santri yang mengelana dari satu pesanteen ke pesantren lainnya.
Tercatat pernah menjadi santri di pondok pesantren Sukanasari, Plered, Cirebon. Kemudian ke pondok pesantren Salaf Jatisari pimpinan kiai Hasan. Setelah itu nyantri di pesantren Kiai Ubaidah Tegal, Jawa Tengah.
Menurut Mang Kisom, Kiai Abbas selalu menjajal kemampuan murid-muridnya terkait kemampuan silat. Kiai Abbas sering meminta murid-muridnya untuk mengeroyoknya, untuk menjajal kemampuan silat yang sudah dikuasai. Sebelum memulai, Kiai Abbas selalu mengganti sandalnya dengan bakiak terlebih dahulu.
“Jadi sebelum bertarung, Kiai Abbas meminta diambilkan bakiak miliknya,” ujar Mang Kisom, seperti yang diceritakan oleh KH. Amiruddin Abkari.
Walaupun dikeroyok oleh lima orang, mereka tersungkur tanpa ada yang bisa menempelkan tangan atau kakinya ke badan Kiai Abbas. Menurut Mang Kisom, kaki Kiai Abbas seperti tidak menempel di tanah. Gerakannya sangat cepat dan pukulannya juga mematikan. “Kalau bertarung dengan Kiai Abbas, tidak ada yang pernah berhasil menyentuh badannya,” kata Mang Kisom.
Cerita lain, Kiai Abbas pernah menerima tamu seorang preman antek Belanda yang mengancamnya dengan sebuah belati. Saat ditodong, posisi tangan kanan Kiai Abbas sedang memegang Al-Qur’an dan tangan kirinya dijepit oleh preman tersebut. Sementara ujung belati yang tajam menempel tepat di leher Kiai Abbas.
Melihat kiainya sedang dalam kondisi bahaya, para santri dan masyarakat Buntet langsung mengelilingi Kiai Abbas. Namun beliau meminta semuanya untuk menyingkir. Kiai Abbas tidak memperlihatkan keraguan sedikit pun saat menjadi tawanan preman itu. Dengan gerakan sangat cepat, hanya dengan sebuah gerakan, dengan Al-Qur’an masih dipegang oleh tangan kanannya, Kiai Abbas bisa menjatuhkan preman tersebut. Saat santri dan masyarakat hendak menghakimi preman itu, Kiai Abbas melarangnya. “Jangan dipukuli, dia orang gila,” ujar Kiai Abbas saat itu.
Merasa nyawanya diselamatkan nyawanya dan takjub dengan sikap Kiai Abbas yang tidak memiliki rasa dendam, preman tersebut akhirnya menjadi salah satu murid dan pengawalnya yang setia.
Kiai Abbas lahir pada Jumat 24 Zulhijah 1300 H atau 1879 M di Desa Pekalangan, Cirebon dan putra sulung KH. Abdul Jamil yang merupakan pengasuh Pondok Pesantren Buntet Cirebon. Sedari usia kecil, Kiai Abbas adalah seorang santri yang mengelana dari satu pesanteen ke pesantren lainnya.
Tercatat pernah menjadi santri di pondok pesantren Sukanasari, Plered, Cirebon. Kemudian ke pondok pesantren Salaf Jatisari pimpinan kiai Hasan. Setelah itu nyantri di pesantren Kiai Ubaidah Tegal, Jawa Tengah.